Home » Ghazwul Fikri » Toleransi Palsu, Buah Dari Racun Pluralisme

Toleransi Palsu, Buah Dari Racun Pluralisme

Blog Stats

  • 2,305,417

PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Lisensi Creative Commons

Adab Merujuk:
Boleh menyebarluaskan isi blog ini dengan menyebutkan alamat sumber, dan tidak mengubah makna isi serta tidak untuk tujuan komersial kecuali dengan seizin penulis.
=====
Plagiarisme adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan intelektual kita bersama.

Follow me on Twitter

Bila Anda merasa blog ini bermanfaat, silakan masukkan alamat email Anda untuk selalu mendapat artikel terbaru yang dikirim melalui email.

Join 6,365 other subscribers
Bismillah …

Toleransi antar umat beragama merupakan slogan yang indah karena memuat pesan-pesan berharga yang diinginkan umat manusia yaitu saling memahami, saling menghargai dan menghormati, serta tidak memaksakan kehendak.

Sesungguhnya Islam adalah agama yang toleran. Karena itu, Islam tidak memaksakan urusan memilih agama kepada umat manusia, sesuai dengan firman-Nya: “Tiada paksaan untuk masuk ke dalam agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” [QS. Al-Baqarah: 256]

Anehnya, ada kelompok yang mengaku muslim moderat dan terpelajar mempropagandakan konsep toleransi yang jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka kemas konsep tersebut dalam satu paket proyek pluralisme di Indonesia.

Prinsip toleransi yang ditawarkan Islam dan yang ditawarkan pengasong pluralisme sungguh sangat jauh berbeda. Mari cermati perbedaannya di bawah ini.

Bentuk toleransi yang ditawarkan Islam itu sudah berjalan ratusan tahun di masyarakat kita di Indonesia. Contoh sederhananya adalah sebagai berikut:

  • Yang Muslim mempersilakan yang Kristen menjalankan misa natal di gereja.
  • Yang Kristen mempersilakan yang Muslim sholat dengan tenang di masjid.
  • Yang Muslim membiarkan umat lain beribadah dan berhari-raya tanpa mengusik mereka.
  • Pas yang Kristen merayakan Natal, kawannya yang muslim say hello kepadanya dengan bertanya “Bagaimana perayaan Natalmu?” atau “Nanti malam kebaktian Natal dimana?” atau “Salam ya buat keluargamu yang kini berkumpul merayakan Natal”, dan sebagainya sebagai bentuk perhatian dan penghormatan, meski tidak mengucapkan selamat natal.
  • Saat Muslim belajar di Jepang, temannya yang beragama Buddha mencarikan kedai yang halal bagi temannya yang muslim.
  • Yang Muslim dan Kristen joging bareng di hari Minggu, selesainya pas si Kristen mau ke gereja, yang Muslim mempersilakan.
  • Kyai dan Pendeta ajak umat bekerja sama memerangi penyakit HIV/AIDS.
  • Yang Muslim buka bisnis, kemudian kawannya yang Kristen berinvestasi.
  • Muslim: “Yuk bisnis bareng, tapi kalo kita meeting jangan Jumat siang”
    Kristen: “Okey, juga jangan pas Minggu pagi”
    Muslim: “Siip!”
  • Sehabis sholat Jumat, yang Muslim meeting membahas strategi pemasaran bersama rekan bisnisnya yang Kristen.
  • Yang Muslim pergi ke Rumah Sakit, eh gak ada sepeda motor, kemudian dipinjami motor sama tetangga yang Kristen.
  • Banyak warga melakukan kerja bakti mempercantik kampungnya, pas waktu sholat Dzuhur mereka berhenti.
  • Si pengusaha muslim memberikan penghargaan kepada karyawan teladan, termasuk mereka yang beragama Kristen.
  • Dipaksa berbuat syirik oleh orang tua, anaknya yang muslim menolak, namun tetap berbuat baik pada orang tua. (Lihat QS Lukman ayat 15).

Begitulah … indah dan damai, khan?!
Toleransi itu.. ya yang tiap hari kita jalankan seperti contoh di atas. Tentunya ada ribuan contoh lainnya yang berjalan natural, bukan seremonial. Bukan bentuk toleransi palsu, yang selalu dipropagandakan para pengasong pluralisme dari kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), yang contohnya seperti berikut ini…

  • Karyawati berjilbab di bagian frontline diminta rela memakai topi santa.
  • Mengajak umat Islam turut serta dan berucap selamat hari kelahiran tuhannya non muslim.
  • Pendeta berdoa di masjid.
  • Kyai ceramah di gereja atau mengadakan pagelaran shalawatan di gereja.
  • Muslim sholat di rumah ibadah selain masjid / mushola.
  • Muslim menjadi pengurus gereja atau persekutuan doa.
  • Membiarkan (dan membela) penganut aliran sesat menghina dan melaknat istri Rasulullah dan para Sahabat Rasulullah dalam ritual ibadahnya.
  • Membiarkan (dan membela) penganut aliran sesat berdakwah dan memperkenalkan nabi palsunya.
  • … dan lain-lain yang menunjukkan kerapuhan akidah.


Kenapa ya pengasong pluralisme itu mendefinisikan indahnya toleransi pada sesuatu yang seremonial berbau campur aduk agama?
Toleransi kok didefinisikan pada hal-hal sempit urusan agama, sampai mereka sebut “intoleran” bagi yang menolak definisinya.
Makna toleransi kini telah coba digeser bahwa keyakinan kita harus campur aduk. Masyarakat dibodohi dengan definisi toleransi pada bidang-bidang berbau campur aduk agama. Masyarakat dibodohi bahwa toleransi itu “semakin campur aduk semakin toleransi”, sehingga puncak toleransi adalah “meyakini bahwa semua agama benar”.

Dulu … konsep toleransi dengan mencampur adukkan agama telah diusung kaum kafir Quraisy, dimana mereka pernah berkata pada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” [Tafsir Al Qurthubi, 14: 425].

Begitulah tipu daya kaum kafir Quraisy yang kini dipraktekkan para pengasong pluralisme.

Aneh Sekali …

Aneh sekali bila menyatakan “hanya Islam yang benar” itu disebut sebagai sikap takabur, arogan dan intoleran. Padahal pernyataan bunyi syahadat adalah tiada ilah selain Allah, juga bermakna tidak ada kebenaran selain kebenaran-Nya. Jadi aneh bila menyatakan Allah satu-satunya ilah adalah kebenaran tapi juga membenarkan konsep penuhanan seorang manusia.

Orang Kristen bilang mereka diluar jemaatnya adalah domba-domba tersesat. Orang Yahudi bilang kita ini ghoyim. Mereka meyakini kebenaran ajaran agamanya sendiri, tidak mau disamakan dengan kita. Lha kok pengasong pluralisme itu bersikap inferior minta umat Islam meyakini semua agama benar. Sudah jelas lakum dinukum waliyadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Yang terkena virus pengasong itu kini tampak linglung tidak bisa membedakan mana benar mana salah.
Sadarlah bahwa penyeru toleransi palsu itu hanya menciptakan toleransi formalistik, mencampur adukkan konsep agama, tapi dalam praktek ingin merusak Islam dari dalam, dan menghabisi umat beragama.
Bibir mereka bilang: “semua agama benar”, tapi dalam prakteknya Islam disingkirkan. Toleransinya basa basi, justru inilah intoleran yang sebenarnya. Beda banget dengan konsep Islam.

Toleransi dalam konsep Islam berangkat dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:



“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [QS. Al Mumtahanah: 8-9]

Berangkat dari ayat tersebut …

Toleransi dalam Islam itu … ada pada praktek kehidupan sehari-hari dalam hubungan antar umat manusia, dalam berbagai bidang seperti bidang politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Ya seperti dalam contoh-contoh di awal paragraf ini. NAMUN dalam soal agama tidak usah dicampur-adukkan. Mari hidup saling menghargai antar umat beragama, tapi tetap dengan keyakinan yang utuh terhadap agamanya masing-masing.

Toleransi dalam Islam itu … mengakui eksistensi agama lain dan menghargainya, bahkan melindunginya, memberikan mereka jaminan kebebasan menjalankan ibadahnya. NAMUN tidak memberikan legislasi kebenarannya. Islam menyalahkan konsep agama lain, tapi kepada pemeluk agama lain ini, muslim diperintahkan berbuat baik dan adil.

Toleransi dalam Islam itu … memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk berkeyakinan apa saja, hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berhak memberikan hukuman atas kekafiran. Buktinya, umat Islam di Indonesia telah memberikan kebebasan umat lain beribadah, mendirikan rumah ibadah di lingkungan mereka, merayakan hari besarnya.

Toleransi dalam Islam itu … saling menghargai dalam perbedaan. NAMUN tidak perlu berprinsip semua agama benar.

Toleransi dalam Islam itu … memandang wajib memberikan keadilan dalam hukum pada mereka yang di luar Islam (kafir).

Toleransi yang ditawarkan Islam itu memperluas interaksi di luar soal agama, bukan didefinisikan pada hal-hal sempit urusan agama. Toleransi itu justru ada pada domain di ruang yang sangat besar dan luas di luar tempat ibadah. Mari kita manfaatkan seluas-luasnya! Kalau di dalam tempat ibadah ya masing-masing sajalah, tidak perlu ikut campur. Inilah konsep toleransi yang sejati, yang sudah sempurna aturannya di dalam Al Qur’an

Setelah memahami di atas, yuk kita buang sampah Pluralisme!

Da’wah atau amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam itu diawali dengan pengetahuan mana yang ma’ruf dan mana yang munkar, halal dan haram, benar dan salah. Yang sudah baik dan benar didorong untuk istiqamah dan semakin meningkatkan kebaikannya. Yang salah diingatkan bahwa dia salah dan agar berhenti dari salahnya untuk berubah menjadi benar.

Lha bagaimana bisa melakukan da’wah kalau berpikir bahwa benar dan salah itu relatif?
Bagaimana melakukan da’wah kalau berpikir bahwa menyatakan sesuatu salah itu tabu?
Kalo saya menganggap orang non muslim itu kafir ya karena memang begitulah yang tertulis di dalam Al-Quran, apakah salah?
Surat Al Kaafiruun memang diakhiri dengan kalimat “lakum dinukum waliyadiin”, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Tapi jangan lupa, surat Al-Kaafiruun diawali dengan panggilan yang jelas: “Yaa Ayyuhal Kaafiruun” (Hai orang-orang kafir!). Jadi di dalam Al-Quran itu biasa saja menggunakan terminologi kafir untuk yang bukan muslim. Meyakini Al-Quran yang menyebut orang-orang yang tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya ilah sebagai kafir kok dibilang intoleran. Jadi kitab suci apa yang dibaca para pengasong JIL itu?

Al-Quran jelas memerintahkan harus berbuat baik terhadap mereka yang kafir, melarang berbuat zalim, adil dalam hukum, dan melindungi mereka. Gak ada satupun ayat yang menyuruh memukuli mereka tanpa sebab. Coba bandingkan dengan ghoyim dalam terminologi Yahudi.

Islam yang dipimpin Nabi Muhammad sallallahu ‘alahi wa sallam mengayomi seluruh agama tanpa sedikitpun perlu kosa kata pluralisme. Pluralisme gak pernah dikenal dalam terminologi Islam. Gak ada padanannya pun dalam bahasa arab.

Dengan Islam kita sudah dapat hidup berkoeksistensi dengan damai, tanpa harus menelan bulat-bulat pluralisme. Islam gak butuh pluralisme.

Wallahu ‘alam bishowab.

Salam hangat tetap semangat,
Iwan Yuliyanto
23.12.2014


27 Comments

  1. anotherorion says:

    aku wingi bar diskusi karo koncoku tentang hadharah dan madaniyah, mungkin isa dinggo tambahan mas http://www.danisiregar.com/2014/02/apa-hadharah-madaniyah-arti-.html

    sebenernya agak geli juga klo ada yang teriak toleransi, tapi hanya menoleransi orang2 yang seragam pemikirannya, sementara yang tidak sama konsep berpikirnya dijudging tidak menghormati keberagaman. Ini fakta yang sering terabaikan waktu pluralis dan sekuleris menyatakan pandangan pada yang gak setuju dengan konsep mereka.

    aku dewe posisinya masih ragu dengan pengucapan selamat hari raya agama lain, jadi emang aku dewe njaga ora ngucapke, bukan karena tidak mau, tetapi ngasi saiki belum ngerasa yakin dengan dasar hukumnya. 🙂

    nek soal kiai ceramah neng gereja pas natal dan pendeta ceramah pas sholat ied ngaranku ya sudah diluar konteks keberagaman, harusnya kedua belah pihak bisa ngerti domain 2 itu sudah ada di ranah keyakinan masing2 yang emang berbeda, bukan muamalah meneh. Dadi menurutku bukan perwujudan toleransi, ning nggebyah uyah ora ndelok papan n timing yang tepat.

    aku meyakini semua agama BAIK karena mengajarkan KEBAIKAN, tapi klo soal KEBENARAN, aku gak iso muni semua agama BENAR, karena toh kita memilih memeluk salah satu agama karena meyakini kebenaran di dalamnya.

  2. Rina says:

    Reblogged this on My Coffee Break and commented:
    Kita memang diajarkan untuk toleransi dengan umat beragama lain. Tapi, jangan sampai atas nama toleransi justru menabrak prinsip-prinsip dalam Islam.

  3. Rina says:

    Ulasannya membuat jelas beda antara pluralisme dan toleransi.

  4. itsmearni says:

    Saya suka tulisan ini mas Iwan
    Menulis dengan damai tanpa tanpa amarah didalamnya. Sebagai “orang luar” jujur rasanya sejuk aja baca yang beginian, seandainya semua punya pemahaman sama pastinya damai sekali
    Masalahnya adalah sebagian orang menyampaikan hal sensitif seperti ini dengan menyelipkan “kemarahan” didalamnya. Alih-alih mengajak kearah yang lebih baik malah jadinya menyulut emosi yang baca karena merasa diintimidasi, tersudut atau merasa disalah-salahkan sejak awal. Ini berlaku untuk semua, baik yang (maaf) garis keras, liberal maupun ‘orang luar’ yang tergolong minoritas itu

    Bahasa tulisan itu sungguh harus berhati-hati menyampaikannya, karena ya gak semua orang punya pemahaman sama terhadap sebuah untaian kalimat, kecuali klo nulisnya sebagus mas Iwan kayak gini saya rasa gak bakalan ada yang punya makna ambigu. Sepakat mas 🙂

  5. azfiamandiri says:

    Kalau mau jujur, maka toleransi hanya ada dimana umat muslim menjadi mayoritas (jumlah & pengaruhnya), dan non muslim minoritas..dan tidak sebaliknya.
    Sejarah tak kan pernah lupa bagaimana ketika pasukan muslim merebut yerussalem ( 1187), mereka yang memilih damai maka kehidupannya dilindungi.
    Namun sebaliknya, ketika Pasukan Salib menduduki yerussalem, 88 tahun sebelum mereka, 3000 lebih kaum muslim dibantai tanpa

    Mereka bicara toleransi, tapi berapa korban rakyat Palestina saat ini
    Mereka bicara toleransi, tapi berapa jumlah pengungsi Rohingya hingga kini
    Mereka bicara toleransi, tapi bagaimana dengan kasus Poso, Kalimantan, Bekasi, atau Nigeria, Sudan, dan yang lainya.. dimana yang terendah dari semua itu adalah larangan berjilbab dan menjalankan shalat di waktu kerja..

    Mereka bicara toleransi, tapi pada kenyataan, lain di mulut lain di hati

  6. muniagaclan says:

    Wuihhh… baru ini ane baca artikel yg pas n menyelurruh bahasannnya.. top pak de.. lanjutt

  7. setuju, Mas. Kadang saya suka heran, sih. Hanya karena tidak mengucapkan trus dianggap tidak bertoleransi

    • Betul, padahal setiap hari berinteraksi dengan baik penuh kedamaian, tapi anehnya pengasong pluralisme ini menitikberakan pada sesuatu yg sifatnya seremonial.

  8. Toleransi itu, saat jemaat Kristen merayakan natal di gereja, namun tempat parkir tidak mencukupi, kemudian ada himbauan dari pengurus masjid Istiqlal agar memarkir mobil jemaat di halaman Masjid Istiqlal.
    [Photo Zacky Madridista]

  9. “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu ucapan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat”. [Hadits Muslim]

  10. jampang says:

    membiarkan, itu yang namanya toleran
    kalau ikut-ikutan, ya udah kebablasan

  11. katacamar says:

    Assalaamu’alaikum, Pak Iwan..
    ijin reblog…
    memang banyak yang keblinger…berdalih ‘kebenaran’..sehingga..tidak ada lagi batas-batas..bahwa kita dan mereka jelas berbeda.. Padahal jelas sekali kita berbeda dengan mereka, kita bertauhid dan mereka musyrik. Tapi memutar-mutar lidah mereka (Kafir, JIL, musyrik) yang menyebabkan saudara kita terpedaya. Naudzubillah…

    Makasih….ilmunya

  12. katacamar says:

    Reblogged this on katacamar and commented:
    Semoga kita bisa mengambil pelajaran

  13. Rini says:

    Nah, kadang saya menemukan “lakum dinukum waliyadiin” ini digunakan kepada sesama muslim, jika yang satunya mengoreksi kesalahan yg lainnya sesama muslim. Padahal, jelas ini untuk yang kafir. Sejak kos saya memiliki teman non muslim, ketika dia ke gereja, dan kami mau pergi bareng, kami tunggu teman ini selesai ke gereja baru berangkat, atas dalih toleransi bukan berarti ikut ke gereja kan?

    • Sedih rasanya bila ayat itu ditujukan kepada sesama muslim. Berarti target proyek JIL tercapai yaitu pelemahan umat Islam di Indonesia. Mereka memecah belah umat Islam dg wacana-wacana yg digulirkan.
      Kelak akan saya kupas di blog apa yg sudah diberikan JIL bagi bangsa ini.

      Dulu kita adem ayem bertoleransi antar pemeluk agama. Kemudian lahir kaum liberalis dg menciptakan wacana pluralisme. Ulama merespon, masyarakat membantu menyebarluaskan penyadaran dari para ulama.
      Bebek2 liberalis tidak berhenti berwacana, muslim yg peka juga tidak berhenti men-counter mereka. Yang anehnya bebek liberalis itu berkomentar: “Hari gini masih ngeributin natal ..”, “Hari gini masih ngeributin soal halal-haram …”, dll.
      Lah, sejatinya siapa yg memicu api duluan shg masyarakat berpolemik?

      ***
      Betul, toleransi itu di luar urusan agama, bukan mencampur adukkan. Sedih rasanya melihat fakta ada seorang yg disebut kyai / gus ceramah di gereja.

  14. pemikirulung says:

    terus berjuang ya pak, makin ke sini makin pusing lihat socmed. isunya diarahkan ke pluralism yang salah pemaknaan ini

  15. aminocte says:

    Memang paham seperti ini yang meresahkan, Pak, juga di kalangan anak muda. Alhamdulillah, dengan tulisan ini, saya semakin yakin bahwa pluralisme dan toleransi adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Semoga kita terhindar dari racun pluralisme, aamiin…

    Izin share, ya, Pak 🙂

  16. […] pada blog saya kosong melompong, maka akan saya isi dengan komen saya pada tulisan pak iwan. Hehe. Nggak kreatif banget yak? […]

  17. Dyah Sujiati says:

    Sebetulnya, Plural itu artinya majemuk, tidak tunggal. Sedang Pluralitas adalah kemajemukan. Seharusnya orang yang mengaku sebagai Pluralis adalah orang yang menghargai Pluralitas dan membina supaya Pluralitas itu indah.
    Lha itu orang JIL ngaku Pluralis tapi malah menyuruh orang mengakui semua agama sama. Lantas di mana kemajemukannya? Hadeh tong tong!

    Mereka ini lucu banget.
    Mengusung paham kebebasan dan kebenaran relatif tapi menyalahkan pendapat yang menganggap Islam agama paling benar. Harusnya terserah donk orang mau berpendapat apa. Huahaha.

    Terus juga ya mereka maunya menganggap semua agama benar. Tapi kok menyalahkan Islam yang menyalahkan agama lain? Jiahahha!

    Mereka juga bilang bahwa agama itu merasuk dalam tingkah laku dan kepribadian sehari hari. Jadi agama itu tidak bisa diukur dari panjang jilbab, jumlah hafalan, jidat hitam, atau yang sejenisnya. Sehingga agama bukanlah kriteria utama memilih jodoh. || Lha tadi katanya agama itu merasuk kok malah nggak jadi kriteria utama?
    *Gubrak XD

    Terakhir nih mereka suka menuduh orang yang biasa aja sebagai orang yang tidak pengertian.

    A : Oi, loe tu jangan menilai orang dengan persepsi diri sendiri loe! Nilailah orang berdasar persepsinya.
    B : Ya elu juga mesti menilai gue dengan persepsi gue donk kalau gitu!

    XD XD XD

  18. Assalaamu’alaykum, Pak Iwan.. pas banget dengan apa yang saya baca dan diskusikan dengan teman soal ini. Tentang pendapat seorang ulama yang menyatakan soal ‘dibolehnya ucapan natal oleh kaum muslim’. Berikut link tulisan beliau, Pak: Membumikan Al-Quran – http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Natal.html

    Terima kasih sudah meluruskan makna toleransi, yaa, Pak Iwan..

    • Wa’alaykumsalam, mbak An.
      Lewat tulisan tsb Pak QS mencoba mencari titik temu antara Islam dan Kristen, ya jelas sulit, sebab konsep ketuhanan masing2 jauh berbeda. Yang pada akhirnya titik temu tsb tampak dipaksakan demi yang namanya toleransi. Padahal seperti yg saya jelaskan di atas, prinsip toleransi itu tidak dibangun dengan membenturkan akidah. Toleransi itu ada dalam hubungan yg sangat besar dan luas di luar aspek agama.

      Ini pemisalan:
      Pada suatu hari kaum Samiri membuat patung sapi dari emas. Patung itu dibuat untuk dijadikan tuhan yg mereka sembah. Hari dimana patung itu dibuat mereka jadikan sbg Hari Besar / Hari Raya.
      Apakah kemudian umat Islam agar dikatakan sbg umat yg toleran mengucapkan Selamat Hari Raya kepada kaum Samiri? Itu sama dg melegitimasi / membenarkan konsep ketuhanan mereka.

      Saya lebih memilih mengikuti fatwa MUI, karena MUI adalah representasi dari seluruh ulama di tanah air, maka fatwanya mengikat secara pribadi bagi yang meyakini. Kita sami’na wa ata’na saja. Nyatanya berpuluh-puluh tahun lamanya, kawan-kawan saya yg Kristen & Katolik tidak mempermasalahkannya.

      Pada saat hari Natal, toleransi yang sesungguhnya adalah dengan tidak mengganggu saudara-saudara kita yang beribadah merayakan Natal, serta ikut memberikan suasana tenang, aman, dan damai kepada mereka. Ada cara yg baik sbg bentuk perhatian (secara komunikasi verbal) dan penghormatan, seperti yg saya contohkan di awal paragraf jurnal ini.

Mari Berdiskusi dan Berbagi Inspirasi. Terimakasih.

Let me share my passion

””

My passion is to pursue and share the knowledge of how we work better with our strengthen.
The passion is so strong it can do so much wonder for Indonesia.

Fight For Freedom!
Iwan Yuliyanto

Kantor Berita Umat