Home » Puisi Perlawanan
Category Archives: Puisi Perlawanan
Film “Temani Aku Bunda”, Potret Buram Sistem Pendidikan di Indonesia
“Bunda, saya tidak mau ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Kalau pemimpinnya orang bodoh, nanti Indonesia bisa roboh” (Abrar)
.
(more…)
Takhayul Pembangunan (WS Rendra dkk)
WS Rendra
Kabut fajar menyusup dengan perlahan
Bunga Bintaro berguguran di halaman perpustakaan
Di tepi kolam, di dekat rumpun keladi
aku duduk diatas batu melelehkan airmata
Cucu – cucuku,
zaman macam apa,
peradaban macam apa
yang akan kami wariskan kepada kalian.
Jiwaku menyanyikan lagu maskumambang
kami adalah angkatan pongah
besar pasak dari tiang.
Kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan,
karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu
dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini,
maka rencana masa depan hanyalah spekulasi keinginan dan angan-angan
Cucu – cucuku,
negara terlanda gelombang zaman edan
cita-cita kebajikan terhempas batu
lesu dipangku batu
tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa
biarpun tercampak diselokan zaman
Bangsa kita kini
seperti dadu terperangkap di dalam kaleng hutang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adi kuasa
tanpa kita bisa melawannya.
Semuanya ini terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan di jaman penjajahan.
Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum
juga mencontoh tatanan penjajahan
menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan.
Yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik
Oo… comberan peradaban,
Oo… martabat bangsa yang kini compang-camping.
Negara gaduh, bangsa rapuh.
Kekuasaan kekerasan meraja lela.
Pasar dibakar, kampung dibakar,
gubuk-gubuk gelandangan dibongkar
tanpa ada gantinya
semua atas nama tahayul pembangunan.
Restoran dibakar, toko dibakar, gereja dibakar,
atas nama semangat agama yang berkobar.
Apabila agama menjadi lencana politik
maka erosi agama pasti terjadi
karena politik tidak punya kepala,
tidak punya telinga, tidak punya hati,
politik hanya mengenal kalah dan menang,
kawan dan lawan,
peradaban yang dangkal.
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik
tidak boleh menjamah kemerdekaan iman dan akal
di dalam daulat manusia.
Namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat
dan daulat hukum akal sehat.
Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon dinding,
udara yang ramah menyapa tubuhku
menyebarkan bau bawang yang digoreng di dapur
berdengung sepasang kumbang yang bersenggama di udara.
“Mas Willy”, istriku datang menyapaku
Dia melihat pipiku basah oleh air mata
Aku bangkit tidak berkata
“Ssttt… diam istriku, jangan menangis,
tulis saja, jangan bicara
— 0oo000oo0 —
Maskumambang merupakan jenis tembang yang mempunyai arti filosofi “jabang bayi / janin yang masih berada di dalam kandungan ibunya, sehingga belum ketahuan jenis kelaminnya, belum ketahuan kapan si jabang bayi itu akan lahir. Kalau kita mau perdalam lagi Maskumambang terdiri dari dua suku kata Mas (Emas) yang berarti barang mulia yang sangat mahal harganya dan tidak semua orang bisa memilikinya, hanya orang – orang “pilihan” yang bisa mendapatkannya. Sementara Kumambang berarti terapung, jadi kalau disimpulkan maskumambang adalah emas yang masih yang masih terapung. Emas yang masih belum berbentuk, perlu kesabaran, dan perawatan untuk mendapatkannya. Sumber: kidungwengi.blogdetik.
Maskumambang miturut Wikipedia Jawa:
Maskumambang iku tembang macapat kang dadi pralambang jaman wong lanang lagi mrambat diwasa, ing mangsa nalika seka bocah nuju dadi manungsa kang katon ing tengahing bebrayan. Tembung maskumambang iku sesambungan antarané emas lan kumambang. Ana kang nganggep yèn Maskumambang iku tembangé wong lanang, déné yèn wadon iku Kinanthi. Watak tembang iki, umumé isiné kaya wong kang lagi sambat lara, ketula-tula, lan sengsara.
Di bawah ini ada lagu “Takhayul Pembangunan” yang merupakan hasil remix Kassaf a.k.a. Kassaf Mashup. Komposisinya menggabungkan lagu “Bongkar” (Iwan Fals & Swami), puisi “Maskumambang” (WS. Rendra) dan hiphop “The Revolutionist” (Guru).
Keduanya, puisi dan lagu, cukup membangkitkan semangat perlawanan melawan penjajahan ekonomi.
Salam hangat dan tetap semangat,
Iwan Yuliyanto
—————————-
Dari blog lamaku: fightforfreedom.multiply.com/music/item/441