Home » Komunisme » G30S PKI Bukan Soal Pelanggaran HAM Berat, tapi Makar

G30S PKI Bukan Soal Pelanggaran HAM Berat, tapi Makar

Blog Stats

  • 2,305,418

PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Lisensi Creative Commons

Adab Merujuk:
Boleh menyebarluaskan isi blog ini dengan menyebutkan alamat sumber, dan tidak mengubah makna isi serta tidak untuk tujuan komersial kecuali dengan seizin penulis.
=====
Plagiarisme adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan intelektual kita bersama.

Follow me on Twitter

Bila Anda merasa blog ini bermanfaat, silakan masukkan alamat email Anda untuk selalu mendapat artikel terbaru yang dikirim melalui email.

Join 6,365 other subscribers
Bismillah …

Guru Besar (Em) Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof Dr Romli Atmasastima, LLM., menulis jawaban atas hasil keputusan final pengadilan dagelan[1] International People Tribunal (IPT) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda dan dihadiri sejumlah sosok liberal Indonesia seperti Nursyahbani Katjasungkana, Todung Mulya Lubis, dkk.

Menurut Prof Romli, peristiwa G30S PKI itu bukanlah soal pelanggaran HAM melainkan perbuatan makar. Berikut artikel utuh mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM RI yang dimuat dalam rubrik OPINI Koran Sindo edisi Selasa, 26 Juli 2016[2]:

G30S PKI Bukan Pelanggaran HAM Berat, tapi Makar
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Em) Hukum Pidana Internasional Unpad

Berita Koran Kompas dan Tempo, tanggal 21 Juni 2016, merujuk hasil “peradilan HAM untuk Peristiwa G30S PKI” yang diselenggarakan di Den Haag dihadiri oleh Nursyahbani, Todung Mulya Lubis dkk, dan menyatakan bahwa peristiwa G30S PKI telah mengakibatkan enam jenis pelanggaran HAM. Beberapa di antaranya adalah genosida dan kejahatan kemanusiaan.

Prinsip kedaulatan negara diakui secara universal termasuk di dalam Mukadimah Perserikatan Bangsa-Bangsa (1946), Universal Declaration of Human Rights (1948), dan ketentuan konvensi terkait perlindungan HAM kecuali Statuta Roma (ICC) tahun 1998. Pernyataan hakim Peradilan Semu (Moot Court) tentang peristiwa G30S PKI di Belanda adalah keliru dan menyesatkan karena telah menempatkan peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 dari perspektif ketentuan internasional HAM. Padahal, ketentuan pemuliaan dan perlindungan HAM di Indonesia baru diberlakukan pada tahun 1999 dengan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan larangan pelanggaran HAM menjadi tindak pidana sejak diberlakukan UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan pembentukan Komnas HAM pasca tahun 1999.

Intinya tidak tepat memasukkan peristiwa makar G30S PKI dan segala akibatnya sebagai pelanggaran HAM Berat. Bahkan, Konstitusi UUD 1945 memasukkan ketentuan mengenai perlindungan HAM (BAB XA SD J) pada perubahan Kedua sekitar tahun 1999-2002. Peristiwa G30S PKI jelas perbuatan MAKAR dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah (Pasal 107 KUHP).

Terkait kenyataan ini maka pandangan para ahli hukum dalam Peradilan Semu tersebut di Belanda tersebut melupakan atau bahkan mengabaikan eksistensi ketentuan mengenai asas legalitas yang telah diakui secara universal, termasuk dalam sistem hukum pidana Belanda. Asas ini melarang pemberlakuan retroaktif (non-retroaktif), dan tidak mengakui kebiasaan atau hukum tidak tertulis termasuk kebiasaan dalam konteks hukum internasional.

Pada tempus delicti makar PKI tahun 1965 yang diberlakukan adalah hukum positif yang sah, yaitu ketentuan tentang makar yang diatur dalam Buku Kedua Bab I KUHP tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara dan Pnps No 11 tahun 1963 tentang Subversi yang juga masih berlaku secara sah di dalam wilayah NKRI ketika itu. Proses peradilan terhadap mereka yang melakukan, turut melakukan dan pembantuan dalam makar tersebut telah diadili dan dijatuhi hukuman serta eksekusi telah selesai dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Banyak mereka yang terlibat dalam makar telah meninggal dunia sehingga dalam konteks hukum pidana, jikapun ada pendapat bahwa ada orang yang dipersalahkan, tentunya dari hukum pidana termasuk hal-hal yang menghapuskan penuntutan (Pasal 77 KUHP).

***

Turut campurnya pemerintah Belanda secara tidak langsung melalui moot court tentang peristiwa G30S PKI telah melanggar ketentuan Pasal 2 para 7 Piagam PBB (1945) yang menyatakan: “Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matter which ara essentially within the domestic jurisdiction of any State …”.

Aksi itu juga merupakan pelanggaran atas Pasal 2 para 4: “ll Member shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the territorial integerity or political independence of any State, or in any other manner inconsistet with the Purpose of the United Nations”.

Sepatutnya “warga negara Indonesia” yang ikut di Belanda menyelenggarakan peradilan semu tersebut juga menuntut hak korban peristiwa Sulawesi Selatan oleh Westerling.

Perlu dipahami oleh seluruh generasi muda bangsa Indonesia bahwa, situasi tempus delicti makar tahun 1965 telah dipersiapkan jauh sebelumnya oleh PKI dengan memanfaatkan kedekatan dengan Presiden Soekarno ketika itu. Sehingga terjadinya makar dengan segala akibatnya merupakan konsekuensi logis baik secara hukum, sosial, politik, dan ekonomi.

Agar diketahui bahwa PKI adalah termasuk recidivist dalam sejarah perjuangan RI. Langkah pemerintah menumpas gerakan makar oleh PKI sudah benar menurut sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 4 ICCPR yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005-jika mau dihubungkan dengan HAM, yang menyatakan: “In time of public emergency which threaten the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the State Parties to the present Convention may take such measures derogating from their obligations under the Convenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their obligation under international law and do not involve discrimination solely of race, color, sex, language, religion or social origin”.

Jelas ketentuan ICCPR memberikan mandat kepada negara dalam situasi darurat dan ancaman terhadap eksistensi negara untuk tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dihalalkan oleh ketentuan konvensi tersebut. Jelas pula bahwa pemuliaan dan perlindungan atas hak asasi manusia tidak bersifat absolut; dan ketentuan ini pula yang kemudian telah diakomodasi di dalam Pasal 28J UUD 1945.

Begitu pula ketentuan Pasal 4 ICCPR telah diadopsi ke dalam Pasal 15 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights) mengenai ketentuan tentang “public emergency” yang merupakan pencegahan terhadap pelanggaran prinsip ancaman (principle of threats) dengan empat karakteristik:
(a) it must be actual or imminent ;
(b) its effects must involve the whole nation;
(c) the continuance of the organized life of the community must be threatened; dan
(d) the crisis or danger must be exceptional, in that the normal measures or restrictions, permitted by the Conventionfor the maintenance of public safety, health and order, are plainly inadequate”
.

Dasar hukum Pnps Nomor 11 Tahun 1963 tentang Subversi dan ketentuan Makar dalam KUHP untuk mengatasi peristiwa makar PKI ketika itu, serta pernyataan keadaan darurat melalui Surat Perintah 11 Maret tahun 1966 telah sejalan dengan konvensi internasional tersebut. Dengan itu membuktikan bahwa langkah pemerintah Soekarno adalah sah yang kemudian dilaksanakan oleh Jenderal Soeharto merupakan langkah yang dibenarkan dan sah, baik dari sudut hukum nasional maupun hukum internasional.

Peradilan semu oleh segelintir orang asing tersebut di Belanda menunjukkan bahwa mereka tidak memahami secara benar ketentuan hukum Indonesia dan hukum internasional tentang HAM dan tentang Konvensi Jenewa Tahun 1949. Jadi, mereka benar-benar “orang asing” dari sudut kebangsaan maupun dari sudut hukum Indonesia.

Peradilan semu di Belanda tersebut merupakan cara untuk memperoleh perhatian masyarakat internasional terhadap masalah dalam negeri Indonesia tahun 1965. Jikapun benar memerlukan perhatian masyarakat internasional tentu sudah sejak lama DK PBB Mengeluarkan Resolusi dan mengusulkan pembentukan Komisi Ahli untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa makar oleh PKI dan korban-korban akibat peristiwa tersebut. Sampai saat tulisan ini dibuat dan sepengetahuan penulis tidak ada tanda-tanda ke arah hal tersebut, kecuali pada peristiwa dugaan pelanggaran HAM di Timor Timur.

Tidak ada ketentuan hukum internasional tentang pemaafan terhadap “korban” langkah pemerintah menumpas pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Begitu pula terhadap korban perang sesuai dengan Konvensi Jenewa Tahun 1949, kecuali kewajiban melindungi masyarakat sipil dan tentara yang luka atau sakit dalam peperangan.

Sepengetahuan penulis, tidak ada informasi bahwa bangsa Jepang meminta pemerintah AS meminta maaf atas korban jutaan jiwa penduduk Jepang; tidak ada juga permintaan maaf korban PD I dan PD II terhadap negara pemenang perang tersebut; juga tidak ada pemaafan dari pemerintah Belanda kepada jutaan jiwa rakyat Indonesia yang meninggal dunia karena kekerasan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda (peristiwa pembunuhan massal di Sulsel oleh Westerling).

Patut diingatkan kepada mereka yang pro terhadap makar PKI dan bersimpati terhadap ajaran/paham komunisme-marxisme-leninisme tentang ancaman pidana di dalam KUHP Pasal 107 a-f, larangan ajaran/paham komunisme-marxisme-leninisme dan ancaman pidananya. Dan beruntunglah mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan peradilan semu di Belanda dan setelahnya, tidak ada langkah hukum pemerintahan Joko Widodo terhadap pelanggaran pasal-pasal tersebut.

Ketentuan pasal-pasal tersebut diberlakukan dengan UU RI Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP terkait Kejahatan terhadap Keamanan Negara, antara lain dengan pertimbangan huruf c. “Bahwa paham dan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam praktik kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia”.
[end]
====================

Catatan:

[1] “Pengadilan dagelan” adalah istilah dari Prof. Moh. Mahfud MD lewat akun twitternya.
IPT 1965Menanggapi komentar followernya yang mengatakan bahwa banyak yang menganggap pengadilan IPT adalah sangat serius, beliau menjawab, “yang menanggapi serius karena menganggap itu pengadilan beneran. Di Fakultas Hukum yang seperti itu hanya latihan sidang untuk mahasiswa Tk.II”. Lebih lanjut beliau mengatakan, “Hukum positif atau hukum negatif tak mengenal pengadilan IPT. Yang ada adalah pengadilan pidana nasional dan Pengadilan pidana internasional (International Criminal Court/ICC). Pengadilan internasional yang dibawah PBB itu ICC. 100 IPT tak ada gunanya”.

[2] Screenshoot edisi cetak Koran Sindo, 26 Juli 2016.
G30S PKI Romli


9 Comments

  1. Bahasan ini setiap tahun selalu rame ya mas, kayak tak penah ada habisnya. Menarik sih bagi saya selaku pembaca dan pendengar.

  2. the crisis or danger must be exceptional, in that the normal measures or restrictions, permitted by the Conventionfor the maintenance of public safety, health and order, are plainly inadequate

  3. HP Lenovo says:

    Ketentuan pasal-pasal tersebut diberlakukan dengan UU RI Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP terkait Kejahatan terhadap Keamanan Negara, antara lain dengan pertimbangan huruf c. “Bahwa paham dan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam praktik kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia”.

  4. mungkin kurangnya saksi atau bukti sehingga pengadilan tidak serius memprosesnya. yang jelas PKI itu harus dimusnahkan dari Indonesia

  5. Lukas says:

    Yang dijadikan masalah di sini adalah pembantaian masyarakat yang diduga komunis pada saat itu tanpa proses pengadilan, bukan pembunuhan 7 Jenderal itu. Ini yang sampai saat ini belum diakui pemerintah dan keluarga korban menuntut haknya dikembalikan atau negara meminta maaf secara resmi.

    Semoga jelas.

  6. Apapun itu, NKRI dan Pancasila adalh paten boleh tergoyahkan kmbli..

  7. Dyah Sujiati says:

    Nih lho ya. Kita yg mengingatkan bahaya ajaran marx dkk -yg ternyata dilarang undang-undang (baru tahu)-, dulu dituduh melanggar kebebasan. Kalo sekarang akan dituduh/dijudge SARA atau penebar kebencian. Asyik kan? 😀

  8. kang nur says:

    upaya pemutarbalikan fakta, ketika saksi hidup mulai menghilang

Mari Berdiskusi dan Berbagi Inspirasi. Terimakasih.

Let me share my passion

””

My passion is to pursue and share the knowledge of how we work better with our strengthen.
The passion is so strong it can do so much wonder for Indonesia.

Fight For Freedom!
Iwan Yuliyanto

Kantor Berita Umat