Home » Media & Journalism » Melawan Penyesatan Opini Media [Part #1]

Melawan Penyesatan Opini Media [Part #1]

Blog Stats

  • 2,305,384

PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Lisensi Creative Commons

Adab Merujuk:
Boleh menyebarluaskan isi blog ini dengan menyebutkan alamat sumber, dan tidak mengubah makna isi serta tidak untuk tujuan komersial kecuali dengan seizin penulis.
=====
Plagiarisme adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan intelektual kita bersama.

Follow me on Twitter

Bila Anda merasa blog ini bermanfaat, silakan masukkan alamat email Anda untuk selalu mendapat artikel terbaru yang dikirim melalui email.

Join 6,365 other subscribers

Masih melanjutkan pembahasan tentang media di Indonesia dari jurnal sebelumnya: Film “Di Balik Frekuensi” – Manipulasi Media di Indonesia. Pembahasan kali ini lebih menitik beratkan pada contoh kasus penyesatan opini oleh media dan bagaimana publik meresponnya untuk mendapatkan haknya berupa informasi yang valid.

Bagi umat Muslim sudah jelas petunjuknya, QS. Al-Hujuraat ayat 6 menjadi salah satu referensi penting dalam menghadapi ‘badai informasi’. Ayat tersebut menetapkan bahwa kita jangan menelan bulat-bulat informasi / berita yang masuk begitu saja, melainkan harus diperiksa terlebih dahulu. Tentu saja, prinsip ini didahului dengan asumsi bahwa berita tersebut dianggap cukup penting. Bukan berita ghibah (gosip) yang justru menjebak Anda dalam kebangkrutan di akherat, atau berita ramalan yang hanya Allah Yang Maha Mengetahuinya.

Media massa kita sebagian besar sudah dikendalikan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi. Sebagian lagi media massa ikut-ikutan arus media mainstream. Kemana opini bergerak, media massa tersebut ikut, sehingga sadar tidak sadar sudah masuk ke dalam arus. Sebagian lagi media mengikuti skenario opini karena “kesamaan kepentingan”.

Berikut ini ada 2 contoh dari sekian banyak kasus, ketika media melakukan penyesatan opini, yang kemudian direspon dengan baik oleh publik.

–: KASUS 1 :–

Kemaren (21/2/2013) saya membaca sebuah artikel di blog Berita Protes, yang berjudul Masihkah TEMPO Layak Baca?. Menarik sekali. Topik utama dalam tulisan tersebut adalah tentang upaya alumnus Pesantren Krapyak Yogyakarta dan Jamaah Nahdliyin yang meminta verifikasi redaksi Koran TEMPO mengenai gambar ilustrasi di halaman depan koran tersebut pada tanggal 6 Juni 2012.

Cover majalah pada edisi tersebut menggambarkan bahwa Athiyah Laila Attabik yang tak lain adalah anak dari pemimpin Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, K.H. Attabik Ali mengenakan baju ketat bagaikan ratu di istana sedang duduk santai dengan sepeti koin emas dan dikedua jarinya masih mengapit sebuah koin emas. Dengan judul berita “PT DUTASARI DIDUGA ALIRKAN FEE HAMBALANG 100 M”. Dari gambar ilustrasi tersebut Koran TEMPO seakan akan telah membenarkan dengan mengarahkan opini publik bahwa Athiyah telah melakukan perbuatan krimininal yaitu menerima dan mengatur aliran fee proyek Hambalang. Namun kenyataannya antara ilustrasi dan berita justru tidak ada kaitan.

Kemudian terjadi pembicaraan panjang antara kedua belah pihak. Dan akhir dari klarifikasi adalah pihak Koran TEMPO mengakui kesalahannya dan minta maaf, namun tidak jelas apakah juga dilanjut dengan minta maaf ke ibu Athiyah secara personal. Sedangkan ibu Athiyah hanya bilang dengan santun, “Gusti Allah mboten sare” (Allah tidak tidur). Kronologi lengkapnya bisa Anda baca pada link tersebut.

–: KASUS 2 :–

Dalam program Metro Siang di segmen kemaren (MetroTV, 21/02/2013) membahas tentang hasil survei terkait elektabilitas cagub/cawagub Jawa Barat. Dalam liputan tersebut, MetroTV mengangkat hasil dari 4 lembaga survei, termasuk INSTRAT (Indonesia Strategic Institute) yang dibawakan oleh Prabu Revolusi.

Sayangnya, hasil survei dari INSTRAT yang disampaikan itu tidak sesuai dengan rilis yang mereka berikan sebelumnya. Data yang INSTRAT rilis sebenarnya adalah: Aher-Demiz (37,69%), Dede-Lex (30,2%), Rieke-Teten (15.48%), Yance-Tatang (12.44%), Dekdik-Toyib (4,19%). Sehingga menurut survei, pasangan Aher-Demiz menempati urutan pertama, sedangkan Dede-Lex menempati urutan kedua. Namun, dalam acara Metro Siang kemaren disampaikan bahwa menurut INSTRAT Dede-Lex lah yang berada di urutan 1. Bahkan persentase hasil survei INSTRAT yang ditayangkan di Metro Siang jauh berbeda dari yang sebenarnya. Sulit dipercaya kalau ini ada unsur ketidaksengajaan atau kesalahan proses produksi media tersebut dalam mengolah data.

Atas penyesatan informasi tersebut, kemudian INSTRAT melakukan konfirmasi dan menuntut Metro TV segera melakukan ralat untuk memenuhi hak publik akan informasi yang valid. Sikap INSTRAT terhadap pemberitaan MetroTV disampaikan oleh Direktur Jaringan Ridwansyah Yusuf Ahmad melalui akun twitternya @udayusuf dan @info_instrat.

Berikut isi pesannya yang sudah dirangkum di chirpstory:

Kami akan me-Retweet dari Direktur Jaringan Instrat: @udayusuf | terkait sikap kami akan berita tidak benar di @metrosiang dan @wideshotmetrotv. Bisa jadi banyak diantara teman-teman yang tidak peduli hasil survey, tapi ketika hasil survey itu diberitakan dengan tidak benar, itu yang jadi masalah.

Itulah yang terjadi pada lembaga kami @info_instrat, data yang telah diolah dan analisa disampaikan dengan tidak benar oleh salah satu televisi. Hasil analisa dan olah data ini adalah sesuatu yang ilmiah, dan bila di sampaikan dengan tidak benar, maka kebohongan publik terjadi. Ini menurut saya lebih parah dari plagiarisme, karena ini bisa jadi tindakan pelanggaran hak intelektual. Untuk itu perlu di perjuangkan.

Concern saya bukan pada siapa yang menang pilkada Jabar. Saya dan rekan-rekan @info_instrat tidak peduli dengan itu. Tapi tentang data yang dipalsukan.

Bisa jadi karena institusi kami, @info_instrat belum sebesar nama nama JSI, LSI, polmark dll, tapi bukan berarti kita bisa diremehkan.

Sebagai seorang yang berada di dalamnya, saya tahu betul usaha dan kerja keras, serta tanggung jawab intelektualitas tim @info_instrat. Kami hanya mencoba menyampaikan hasil studi lapangan mengenai preferensi pemilih dalam pilkada Jawa Barat. Data tanpa intervensi

Sejauh ini kami sudah melakukan konfirmasi via twitter kepada akun @Metro_TV @MetroSiang @wideshotmetrotv @praburevolusi @PutraNababan. Tetapi hingga sekarang belum ada penjelasan apa pun secara langsung kepada kami. Maka malam ini kami akan menetukan sikap selanjutnya. Karena secara hukum jelas kami sebagai pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan tersebut memiliki hak jawab dan hak koreksi.

Bagi yang ingin mengetahui hasil survey asli tentang elektabilitas Pilkada Jabar 2013 dari INSTRAT bisa diakses di: http://t.co/CE3v60JyVT

Setelah penyampaian respon sikap tersebut, kemudian mendapat gelombang dukungan publik melalui twitter yang sama-sama menuntut MetroTV menyampaikan informasi jujur ke masyarakat.

Hasilnya, tadi siang sekitar pukul 11.30, pihak MetroTV menghubungi INSTRAT, meminta maaf atas kesalahan data dan menyatakan akan memberitakan data yang benar. Pemberitaan hasil survei INSTRAT secara benar dilakukan pada jam yang sama seperti pemberitaan yang salah kemarin. Artinya ada satu pemberitaan di Metro Siang dan satu lagi di Wideshot MetroTV. Inilah tampilan tayangan ralat oleh MetroTV tersebut:



Kemudian sore tadi pk 17.00, direktur jaringan INSTRAT melalui akun twitter-nya menyampaikan bahwa permasalahan dengan Metro TV telah selesai. Detail penyampaian sikap resminya bisa dibaca di chirpstory.

Dalam Kasus 1, kecenderungannya saat ini Koran TEMPO termasuk golongan media massa yang mengikuti skenario “kesamaan kepentingan”. Sedangkan dalam Kasus 2, METRO TV termasuk golongan media yang dikendalikan oleh kekuatan politik pemilik media. Namun demikian, demi menjaga semangat berpikiran positif, saya mengapresiasi mereka yang telah mengakui kesalahannya (terlepas disengaja apa tidak) dan mereka juga meminta maaf.

Berani Melawan Penyesatan Opini

Dari kedua contoh kasus di atas, saya mencoba mengajak kita semua untuk hati-hati mencerna informasi. Jangan telan mentah-mentah semua opini. Kebanyakan media massa kita hanya jadi commercial tools dan pembentuk opini pesanan. Sedikit media yang mengedepankan kejujuran. Inilah dampak dari oligopoli kepemilikan media oleh segelintir orang. Coba bayangkan seandainya tidak ada upaya tuntutan untuk meluruskan informasi, -bahkan mustahil mereka berinisiatif menyadari kesalahannya tanpa dituntut-, maka publik akan selamanya menikmati informasi sesat / keliru yang bahkan menjerumuskan hidupnya (misalnya memilih pemimpin yang salah, atau taqlid pada pemimpin yang zalim).

Kecenderungan media untuk memihak kepentingan politik tertentu masih nyata. Media-media tersebut mestinya menyadari bahwa sekarang adalah era informasi yang serba cepat ditambah dengan kemudahan akses. Apa saja kebusukan-kebusukan yang diciptakan oleh media akan segera / cepat direspon oleh publik yang mendambakan informasi yang jujur. Sehingga media massa mainstream tidak bisa lagi mengontrol dan menentukan opini.

Membaca berita Oligopoli Bisnis Stasiun Televisi, kondisinya makin mengkuatirkan. Bagaimana jadinya bila pengusaha memanfaatkan media untuk berkuasa, karena bila kecenderungan media sudah tidak lagi murni bersifat fair, bisa jadi diktator itu akan muncul dalam beberapa tahun ke depan dengan memanfaatkan media sebagai senjata ampuh dalam memutar-balikkan paradigma rakyat. Melihat situasi seperti ini, pemerintah harus bisa tegas menegakkan undang-undang penyiaran.

Hal yang patut menjadi renungan kembali adalah:

  • Untuk siapa media dan jurnalisme itu ada?
  • Untuk siapa mereka bekerja? Untuk publik ataukah untuk pemilik media?

Para awak media terutama yang sudah direduksi menjadi pegawai biasa dan dirampas idealismenya oleh pemilik media demi kepentingan politik dan ekonominya, mestinya harus sadar bahwa berbohong adalah bagian dari Dosa Besar. Jelas sungguh mengerikan bila kebohongan itu juga disebarluaskan oleh pembaca ke lingkungan pembaca lainnya. Dosanya bakal double kuadrat. Anda mencari nafkah selain untuk diri sendiri tentu juga untuk keluarga. Tegakah Anda memasukkan benda-benda panas (yang mencabut semua keberkahan) itu ke dalam perut keluarga Anda? Kalau perbuatan dosa itu bertentangan dengan hati nurani Anda, maka lawanlah dengan perubahan yang positif. Atau mencari tempat yang jauh membawa keberkahan. Kecuali Anda sudah tidak mengenal dosa, silakan berbuat semaunya tanpa rasa malu. Dan sayapun yakin, Gusti Allah mboten sare.

Bersambung …

Salam hangat tetap semangat,
Iwan Yuliyanto

********
Catatan:
Ilustrasi “Truth” diambil dari muslim-academy.com


70 Comments

  1. nk says:

    Terimakasih, Pak. Saya izin share postingan-postingan Bapak, terimakasih.

  2. Berita yang baik adalah yang COVER BOTH SIDES.
    Bahwa nara sumber yang menarik adalah yang emosional.(Larry King)

    Jurnalis itu harus adil, tidak memihak dan bijaksana. Memang sulit mendapatkan MEDIA yang benar benar adil dan fair serta apa adanya di seluruh planet Bumi ini.
    JURNALIS di negeri ini harus berhati hati. Mereka mempertaruhkan KESUCIAN JURNALISTIK atau menodainya atas kepentingan pemodal, boss dan sejenisnya.
    Syarat JURNALISTIK yang baik diantaranya: Sesuai fakta, Objective, berimbang, lengkap, akurat dan memberi inspirasi untuk kebaikan kehidupan.

    Saat ini saya melihat khususnya Metro TV dan TV One sedang menyajikan “Jurnalisme” Yang kurang baik. Khususnya kurang objective dan berimbang. Ini adalah sebuah pertaruhan besar para jurnalis di televisi.
    Saya ingat ucapan Karni Ilyas: “Kalau Legeslatif, yudikatif dan eksekutif sama sama Korupsi. Siapa lagi yang akan mengawasi mereka.”
    Kalimat ini tentu yang dimaksud adalah: DISITU PERAN PERS untuk mengawasi. CELAKA ! PERS ternyata juga di setir.
    Metro TV dan TV One berhati hatilah dalam pemberitaan, khususnya soal PILPRES. Semoga para wartawan juga tidak ikut ikutan menjual idialismenya.
    Banyak terjadi pewawancara sangat menguasai masalah dan terasa ada LIST pertanyaan yg sudah disiapkan. Larry King yg hebat itu tidak pernah menyiapkan pertanyaan. Kejutan adalah keindahanya. Bahkan pertanyaan pertanyaan bodoh itulah hebatnya hasil wawancara yg original dan jujur untuk dinikmati.
    “The key to your success is you’re dumb!”
    Herbie Cohen, kawan terdekat Larry King mengatakan: “kunci sukses Larry adalah karena dia bodoh!”
    Tentu Larry King sangat cerdas, dengan pertanyaan2 bodohnya menjadi sangat memikat. Bagaimana dengan pertanyaan pertanyaan hebat para pewawancara televisi kita? Apalagi dalam pemberitaan PILPRES?
    Saya yakin ada penolakan dalam hati para journalis yang terlibat dengan design BERITA CENDERUNG. Ini pertaruhan KEHILANGAN GAJI atau KEHILANGAN JATI DIRI.

  3. […] Melawan Penyesatan Opini Media [Part #1] […]

  4. mrfzx says:

    Saya menangkap hal – hal yang menjurus pada manipulasi pemberitaan ini semakin berkembang seiring mental masyarakat yang rentan terhadap penggiringan Opini. ditambah budaya beropini tanpa landasan dan mudah larut dalam arus media.
    Abang becak sama Mamang Soto aja dipasar ngomongin partai

  5. anotherorion says:

    ya ampun bul aku urung melu nyepam dimari yah?? sungguh terlalu ana postingan apik ngene iki

    susah mas nek urus2an sama media sekarang lebih cocok mereka disebut campaign media daripada information media, Televisi beritanya remuk, terlalu mainstream rebutan berita yang sama, malah saking banyaknya feature yang dibuat malah ora jelas inti berita sebenarnya tuh kek gimana. Media online ngerti dewe aku sengit tenan gegara seneng banget bikin judul saru bin menantang, padahal isine mung gejus mbulus, paling banter satu halaman isine dua paragraf, kampretonirojim kok ora ngrumangsani fakir benwit.

    Jangankan klo mau dilihat dari segi EYD mas, jurnalistike baen mbuh, aturan balapan memberitakan kek sekarang bikin berita tumpang tindih, banyak diralat, dan terkesan subyektif karena kontributor/peliput mengambil kesimpulan untuk diberitakan dari satu, dua narasumber dan sudut pandangnya sendiri di TKP. Njuk peran editor sama redaksi pemberitaannya disebelah mana nek ngene? Gak ada istilah editing atau sekedar mencari referensi baru biar lebih obyektif

  6. ruangimaji says:

    Bila media massa kita sebagian besar sudah dikendalikan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi, atau bahkan beberapa di antaranya telah ikut-ikutan arus media mainstream, sungguh menyedihkan. Di mana lagi netralitas dalam berkreativitas para wak media kita.

    Mungkinkah karena era kebebasan jurnalistik telah mengakibatkan keberpihakan? Barangkali pantas dimaklumi, bukankah sebagian pemilik media adalah politisi, dan politisi membutuhkan media untuk menyampaikan visi dan misi. Klop sudah, saling membutuhkan. Meski begitu, ada baiknya tidak melakukan tindakan yang kurang sesuai dengan etika jurnalistik.

    Terima kasih atas infonya, Mas Iwan.

  7. Terimah Kasih ya Pak Atas Informasinya
    tidak disangka kalau media masa yang kini banyak dipercayakan orang ternyata juga ada kebohongan didalam opininya seperti Metro TV dan Kompas, saya masih belum tau apakah TV One seperti itu atau tidak ?

  8. Saya dengar kisruh politik saat ini merupakan kerja intel dengan sandi SS yang di blow up lewat media.

    • Analisanya sementara yg berkembang seperti itu, makanya Pak Anas nulis pesan di BBM & Twitter: “Nabok nyilih tangan”.

      Detailnya akan saya ulas di seri “Penyesatan opini media” berikutnya, mbak. Karena sandi SS itu mengikutsertakan media-media mainstream sbg spin doctor.

    • Sip, ditunggu lanjutannya pak 😀

  9. Risma says:

    Saya membaca postingan di atas berserta semua komentarnya lamaaa sekali, karena saya perlu benar-benar menghayati agar mengerti. Soalnya saya kurang suka politik, karena politik itu sesuatu yang ribet dan memusingkan, menurut saya. Tapi saya tahu, saya tidak boleh seperti ini.

    Tulisan diatas sangat mencerahkan dan ditulis dengan kalimat yang mudah dimengerti oleh orang awam macam saya ini hehe. Terima kasih banyak Pak ilmunya 🙂 . Alhamdulillah, hari ini saya tahu tentang ini 🙂

    • Terimakasih telah bersabar membaca dan memahami isinya, mbak Risma.

      Memahami politik bukan berarti bertujuan untuk bekal terjun ke dunia politik. Memahaminya hanya untuk mengasah kepekaan dan naluri.
      Sbg seorang pengusahapun juga harus mau memahami politik karena kelak akan berhadapan dengan urusan-urusan birokrasi, membangun jaringan terpercaya, cerdas dalam mengelola kebijakan yang dibuat orang2 politik dalam rangka melindungi usahanya.

      Ayah saya berpesan, “belajarlah politik agar kelak tidak mudah dipolitikin orang” 🙂

    • Risma says:

      Oh begitu. Saya baru tahu kalau pengusaha juga mesti tahu politik.

      Nasehat ayah bapak di atas keren 🙂

  10. Jaman reformasi yang kebablasan….bebas tapi tidak punya etika, hampir semua konten tv-swasta terutama berita politik hanya untuk menyudutkan lawan politiknya, kalau dicermati tidak satupun yang berbobot dan cuma hanya silat lidah tapi tidak ada solusi. Over all proses pembodohan rakyat, media jadi underbow parpol saja demi 2014 !!

  11. Kasihan pekerja media. Harus berbohong demi duit.

  12. kasamago says:

    berharapa kementrian peneragan di didirikan lg, buat menerangkan publik yang sering dibikin gelap media mainstream..

  13. Koran Tempo edisi 24 Feb 2013 (bertepatan dengan hari Pilkada Jabar) memuat cover story Ahmad Heryawan.
    Kemudian Majalah Tempo yg akan terbit pada 26 Feb 2013 juga memuat cover story Ahmad Heryawan, digambarkan beliau sedang memegang buku nasabah BJB dan bertuliskan ‘Runyam Aher Bank Dibobol’.

    Sehari sebelum terbit Koran Tempo, informasi tersebut sudah bocor di media Islamedia. Media tersebut kemudian merilis bantahannya sebelum Koran Tempo terbit.
    Islamedia.web.id: Bantahan atas pemberitaan Tempo edisi 24 Februari 2013 2/23/2013 08:53:00 PM
    dan kemudian terkuak informasi lainnya di sini:
    TEMPO? Tukang Tipu jadi narasumber | Investigasi by @ridlwanjogja
    Dari situ jelas yang bermasalah adalah krediturnya, bukan bank-nya.

    Kemudian ahli perbankan, Pak Sunarsip, menasehati sang direktur eksekutif Tempo tentang “Definisi ‘Bermasalah’ & ‘Bank Bermasalah’ Dalam Perbankan”.
    Ulasan beliau mencerahkan.

    Clear semua. TEMPO telah memberikan penyesatan opini dalam hal ini.

  14. pas nonton tayangan metro ntu udah kerasa janggalnya.. hehe
    cz alasan elektabilitan in cummbent turun gegara kasus suap daging impor (katanya) padahal tanggal pengambilan datanya belum pas kasus itu rame.. hehe
    habis itu dapet berita tentang itu di twitter langsung ooo..

    nyimpulinnya jadi ‘jangan terlalu polos jadi orang ketika ngebaca berita” hahaha

  15. mintarsih28 says:

    seandainya siswa siswa saya belajar dengan sungguh sungguh dg pelajaran bahasa indonesia, mereka akan menjadi warga indonesia yang tahu bagaimana mensikapi berita. karena pada kompentensi dasar anak anak belajar membaca berita, salah satunya tujuan pembelajaran tentang keperpihakan penulis.

  16. johanesjonaz says:

    Selain faktor keteledoran, mungkin ada kepentingan tersembunyi dibalik pemberitaan yang kurang akurat tersebut.. walahualam. Sekarang apa sih yang tidak bisa dibeli oleh kekuasaan?

  17. 5iluetsenja says:

    seperti sejarah yang sampai kepada bangsanya adalah tergantung siapa yg menuliskan sejarah bukan pembuat sejarah, begitupun media sekarang, berita yg sampai ke masyarakat tergantung siapa yg memberitakannya, untung-rugi, kepentingan jd motiv bukan lagi kejujuran dan keadilan,

  18. warga suda cerdas! kata orang2.
    tapi bagaimana jika kecerdasan mereka didapatkan dari berita dan “fakta2” dari media mainstream (TV)? yang bisa saja isinya hanya 10% yg bener2 fakta. =..=

  19. Dyah Sujiati says:

    Sepertinya akan sangat sangat sibuk untuk itu melawan setiap penyesatan media, hehehee (maksud saya dalam hal tindakan konkrit seperti kedua kasus di atas.)
    Lha kadang kalau sempat baca koran langganan kantor -yang hanya satu merk saja- bikin saya pengen nulis rebatnya minimal 10% dari artikelnya yang saya baca kok, rasanya selalu ada info yang perlu diklarifikasi atau setidaknya untuk sekedar bertanya, “benarkah faktanya demikian?”
    dan itu adalah koran berskala nasional

    • Ayo belajar menganalisa kebohongan.
      Ini contoh penyesatan opini yg dirilis TEMPO hari ini. Silakan hitung berapa kejanggalannya.
      Kenapa Aher Tak Terpengaruh Kasus PKS dan BJB?
      Tempo.co: 25 Februari 2013 | 06:29 WIB

    • Dyah Sujiati says:

      Hmmm kalau baca ntu berita ye Pak, entah ada atau tidak kebohongan atau ada berapa, pastinya saya tidak tahu, Tapi kalau baca artikel itu narasinya membawa pembaca bahwa si partai itu sesuatu yang sangat tidak layak ada. Kesertaan Pak Aher dalam Pilkada seolah menjadi sesuatu yang juga tidak layak. -__-‘

      #istigfar sambil nafas panjang

    • 1. Tempo bilang: Setiap kampanye Aher Demiz tidak ada atribut PKS.
      Fakta: Setiap kampanye Aher Demiz selalu ada atribut PKS yg dg mudah terlihat massa. Bahkan bisa dilihat jelas di YouTube.

      2. Tempo bilang: Masyarakat Jabar banyak yang tidak tahu Aher orang PKS.
      Fakta: Aher itu gubernur lama (periode sebelumnya), jelas masyarakat tahu sejak pemilihan gubernur 5 tahun silam adalah orang PKS.

    • Dyah Sujiati says:

      hahahaa, bikin ketawa aja ni Pak.
      eum, seperti anak kecil ya ‘main’nya ini :S

  20. novi says:

    Siapa yang menguasai media, ia akan menguasai dunia.
    *siapa ya yang bilang seperti itu, saya lupa lagi… tapi saya jadi inget film 007 Tomorrow never dies, hehehe…

    Semoga kita bisa semakin cerdas dalam segala hal. Fitnah akan datang dari mana saja, tetapi kita tetap harus yakin bahwa pertolongan Allah pun akan datang dari arah mana saja..

  21. Ani says:

    Bisa belajar dari kasus media di Italia.

    Kasus sama..Caranya lebih halus. Mungkin karena regulasi. Disini tidak cerdik. Frontal jadi lama2 rakyatnya mboten sare deh. Jadi inget cerita nyata reporter dipukuli masyarakat krn TV salah kasih info bencana hehe.

  22. debapirez says:

    dan kadang media pun tdk segan2 mengambil narsum anonim yg diragukan kredibilitasnya…

    • Betul, narsum anonim jadi modal kuat bikin berita sensasi.

      Seringkali pelaku media terjebak bahwa berita sensasi akan mampu menaikan oplah. Kenyataannya tidak begitu. Bagi pembaca yang terpelajar, yang mereka butuhkan bukan sekedar berita. Yang mereka cari adalah informasi konprehensif yang kaya analisa akademis.

  23. tinsyam says:

    kita yang membaca dan menonton kudu jadi cerdas dengan berita yang seliweran walupun dikasih data valid masih salah juga.. ini tetep sudut pandang..

  24. Titik Asa says:

    Artikel yg mencerahkan. Demikianlah dg media seperti yg senantiasa harus kita cermati apa yg disampaikannya.
    Saya catat kalimat yg ini… “Jangan telan mentah-mentah semua opini. Kebanyakan media massa kita hanya jadi commercial tools dan pembentuk opini pesanan. Sedikit media yang mengedepankan kejujuran. Inilah dampak dari oligopoli kepemilikan media oleh segelintir orang…”
    Terima kasih sharingnya Mas,
    Salam,

  25. tipongtuktuk says:

    menulis berita berarti menuliskan fragmen sejarah …
    seseorang menjadi agung atau menjadi hina dalam sejarah yang dikenang …
    bagaimana jika kehinaan atau keagungan itu didasarkan kepada bukti yang lemah? fitnah yang besar sepertinya, ya …

  26. JNYnita says:

    pusing mas… 😦
    aku ikutin media yang beritanya bagus aja deh.. 🙂

    • Ini bagian dari edukasi ke masyarakat yg awam situasi kok. Masih banyak yang belum memahami situasinya. Masih banyak yang menganggap media massa adalah sesuatu yang sakral, apa saja yang ditampilkan di sana dianggap sebagai kebenaran.

      Situasinya kini, pemilik media masuk ke ruang2 redaksi. Inilah titik awal matinya independensi ruang redaksi. Jurnalisme tidak lagi bekerja untuk warga & hak-hak warga, namun untuk kepentingan pemiliknya.

      Alhamdulillah, jurnal tentang media ini sudah di-retweet atau di forward ke mana-mana oleh mereka yang mampir ke sini.

  27. Media memiliki kekuatan yang luarbiasa dalam menggalang opini publik. Ketika media mengarahkan opini ke selatan, sebagian besar publik akan bergerak ke arah selatan. Sebaliknya jika media mengarahkan opini ke utara, maka sebagia besar publikpun akan ikut mengarah ke utara.

    Memahami besarnya pengaruh ini, tidaklah heran banyak pihak berusaha mendekatkan diri dengan media, meningkatkan investasi pada media atau bahkan berusaha menguasai media untuk kepentingannya.
    Saya pikir, at the end,…..semuanya berpulang kembali kepada itikad baik para pelaku media itu sendiri.

    • Terimakasih komentarnya, mbak Ade. Betul, sayapun juga memahaminya demikian.

      Soal itikad baik pelaku media (pemilik dan pekerjanya), buat pembelajaran kita semua, ada baiknya kalo saya copas pernyataan dari jurnalisnya langsung yang tahu betul situasinya di lapangan, yaitu mbak Luviana (L) dari MetroTV, ketika diwawancarai Remotivi (R).
      Detailnya wawancaranya ada di sini.
      Saya kutip sebagian saja di sini yang terkait dengan komentarnya mbak Ade.

      R: Pendapat Anda soal konten tayangan di Metro TV dan TV lainnya?

      L: Jurnalisme itu seharusnya bekerja untuk warga, untuk hak-hak warga masyarakat. Tapi selama ini para jurnalis TV selalu dicekoki bahwa kita bekerja untuk pemirsa dan atas nama rating-share. Ini yang keliru dan kemudian menjadi pertanyaan banyak orang tentang arti jurnalisme itu sendiri—walau TV berita memang memiliki idealisme dan konsep yang sedikit berbeda. Beberapa kali saya juga mengkritik tayangan bias gender atau tayangan advertorial berbasis talkshow. Jurnalisme tak hanya berkutat di ruang redaksi, namun sudah merambah ke newstainment. Banyak artis yang kemudian menjadi narasumber talkshow politik, misalnya. Ini kan tidak beralasan karena mereka bukan pengamat politik atau orang yang sedang terjun di kancah politik. Jadi, komentator bukanlah orang yang berpengalaman di bidangnya untuk memenuhi perubahan dan hak-hak warga, namun selebritas (yang dipilih) untuk kepentingan pasar. Ini yang kemudian dipertanyakan banyak para pengamat media. Ini juga menjadi keresahan para jurnalis lainnya.

      R: Apakah para pekerja TV sadar akan kualitas tayangan yang demikian?

      L: Sadar. Mereka mengerti kalau hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan, tapi harus berkompromi dengan keinginan manajemen dan keinginan pasar. Misalnya ada kampanye partai yang seharusnya nggak boleh diputar, teman-teman sadar ini. Tapi karena ini diwajibkan, maka mau tak mau memang harus ditayangkan. Jika saja kesadaran ini menjadi kekuatan untuk bergerak bersama, maka para jurnalis bisa menolak ini secara bersama-sama. Tapi kondisinya masih seperti ini, manajemen sangat menyetir ruang redaksi, sehingga sangat sulit menegakkan independensi ruang redaksi. Ini juga sebagai upaya yang kemudian dilakukan manajemen untuk melemahkan posisi jurnalis di media.

      R: Sejauh mana kepentingan pemilik media berpengaruh sampai ke ruang redaksi?

      L: Walaupun tidak semuanya begitu, namun kecenderungannya (ke arah demikian) sudah menjadi tren. Pemilik media masuk ke ruang-ruang redaksi. Inilah titik awal matinya independensi ruang redaksi. Jurnalisme tidak lagi bekerja untuk warga dan hak-hak warga, namun untuk kepentingan pemiliknya.

  28. Erit07 says:

    Itulah media,kadang salah memberitakan….

  29. Larasati says:

    apa sih yah yg mereka cari dari kebohongan2 itu….kekuasaan yg semakin menguasa

    • 1. Duit.
      2. Kesamaan kepentingan.

    • Larasati says:

      duit yah yg no 1….klu menurut pak iwan, media dulu jama orba sama sekarang bagaimana??

    • Kalo dulu, media yang menentang pemerintah akan di-breidel / dicabut SIUPP-nya.

      Pasca reformasi, sistem pembredelan itu dihapuskan.
      Yang ada adalah yang menguasai media membeli idealismenya orang-orang pers tersebut untuk kepentingan politiknya. Kalo tidak mau terbeli, kudu Out dari pekerjaannya.

      Detail faktanya, bisa disimak pada kutipan wawancara Luviana dg Remotivi pada komentar saya untuk mbak Ade (Ni Made Sri Andani). Wawancara itu mencerahkan banget.

    • Larasati says:

      larass nangkepnya masa dulu sama sekarang sama2 dibungkam yah tp caranya beda2…

    • Larasati says:

      terimakasih pak iwan…detail yah

  30. Ina says:

    beritanya sesuai ‘pesanan’…. emang kudu pinter2 aja pemirsanya.

  31. Sonia Atika says:

    Muat saja berita salah, lalu tinggal diralat saat diprotes.

    Ketika ada berita menyesatkan, jangan salahkan medianya, tapi nara sumber. Media cuma menyampaikan.

    Kalau sedikit menyampaikan pembelaan atas berita-berita yang tidak jelas yang terlanjur tersebar, dibilang “Kalian jangan pakai kacamata kuda, apalagi taqlid buta…”

    hey, kalau mau adil, Ketika ada black campaign dan berita sudah dimuat, kenapa saat pelaku black campaign tertangkap media enggan memuat?

    Yeah,, tapi tetep menelan mentah-mentah berita di media sama tidak cerdasnya dengan menolak berita mentah-mentah.

    Semoga artikel ini bisa memberi pencerahan pada yg ‘taqlid buta’ pada media, dan yg juga tidak terima dengan penyesatan media..

    • Terimakasih, mbak Sonia. Betul, semangat Al-Hujuraat:6 tetap dibawa.

      Di sisi lainnya. Kalo Allah sudah berkehendak mengunggulkan seseorang, tak kan ada yang sanggup mencegah-Nya, meski dihajar dengan pemberitaan fitnah via internet/majalah/selebaran berkarung-karung. Selalu ada saja jalan bagi kebenaran itu untuk bisa terungkap.

  32. lieshadie says:

    Yang berkepentingan biasanya lupa dosa, lupa Gusti Allah ..

  33. Novi Kurnia says:

    jd penasaran siapakah pemilik media terbesar (pembentuk opini) paling besar di negeri ini

    • Silakan simak “Mapping Media Policy in Indonesia 2012”, hal 54 di sini.

      Kemudian perkembangannya pembelian media oleh segelintir orang di sini: merdeka.com: oligopoli bisnis stasiun televisi

      Satu bulan terakhir ini, isu pembelian televisi tvOne dan antv, menyeruak pada publik setelah Surya Paloh yang juga pemilik Metro TV mengungkapkannya pada publik. Bukan hanya itu saja, sejak dua tahun lalu, penyatuan SCTV dan Indonesia menjadi perdebatan hangat, setelah sebelumnya TPI, RCTI dan Global TV bersatu dalam group MNC milik Hary Tanoesoedibjo.

  34. aru_kun says:

    Selain menyesatkan dengan melakukan edit sehingga berbeda dari sumber berita aslinya, menyodorkan sepenggal berita asli/ berita asli yang terpenggal/ berita asli yang dipenggal juga bisa sangat menyesatkan..

  35. Masih dengan pembicaraan tentang media yang telah dibeli. Maka jurnalisnya pun juga sudah dipesan dalam menyampaikan berita terkait oleh si pemilik sesuai dengan kepentingannya.

    Ridwansyah yusuf itu yang sekarang baru S2 di belanda ya pak?

  36. lambangsarib says:

    Walau mereka selalu mengatakan pemberitaan berimbang, media tidak mungkin bisa lepas dari kepentingan pemodal. Itu fakta.

    Saat ini, salah satu media penyeimbang adalah media sosial.

  37. thetrueideas says:

    media tak lepas dari kepentingan si pemilik, nurut saya itu keywordnya…

  38. faziazen says:

    kebohongan yang disiarkan berkali kali akan menjadi kebenaran…

  39. Ketika bicara politik, politik dengan beragam kepentingan, mungkinkah akan lepas dari intrik yang biangnya adalah kebohongan ?

Leave a reply to debapirez Cancel reply

Let me share my passion

””

My passion is to pursue and share the knowledge of how we work better with our strengthen.
The passion is so strong it can do so much wonder for Indonesia.

Fight For Freedom!
Iwan Yuliyanto

Kantor Berita Umat