Home » Media & Journalism » Mengkritisi Berita Tempo Soal Label Halal MUI

Mengkritisi Berita Tempo Soal Label Halal MUI

Blog Stats

  • 2,305,398

PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Lisensi Creative Commons

Adab Merujuk:
Boleh menyebarluaskan isi blog ini dengan menyebutkan alamat sumber, dan tidak mengubah makna isi serta tidak untuk tujuan komersial kecuali dengan seizin penulis.
=====
Plagiarisme adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan intelektual kita bersama.

Follow me on Twitter

Bila Anda merasa blog ini bermanfaat, silakan masukkan alamat email Anda untuk selalu mendapat artikel terbaru yang dikirim melalui email.

Join 6,365 other subscribers

–: Mari kembali belajar membaca media, agar tidak tergiring jurnalisme prasangka.

Bismillah …

Islam memerintahkan umatnya untuk mengkonsumsi makanan / minuman yang halal, dan menghindari yang haram. Halal-haram bagi Islam menyangkut akherat. Pangan yang halal baik dari segi bahan baku, bahan tambahan, cara produksinya sampai bisa dikonsumsi orang Islam harus jelas agar tidak menimbulkan dosa. Karena rumitnya pengelolaan ini, maka perlu ada sebuah lembaga khusus untuk mengaudit dan memberikan sertifikasi halal. Dengan lahirnya Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) sejak 6 Januari 1989, setidaknya memberi harapan besar pada umat Islam di Indonesia.

Entah apakah karena ingin menggagalkan RUU Jaminan Produk Halal yang kini sedang digodok di DPR, Majalah Tempo edisi 24 Februari – 2 Maret 2014 telah mendiskreditkan LPPOM-MUI. Tempo berupaya mencari titik lemah lembaga ini lewat salah satu Ketua MUI ‘yang diduga bermain uang’ untuk pelabelan halal ini.

tempo mui

Cover Tempo Edisi Cetak

Cover majalah berupa ilustrasi kaleng dengan gambar babi dengan tulisan dibawahnya “DIJAMIN HALAL” dengan logo MUI. Di samping kaleng itu ada tulisan: “ASTAGA! LABEL HALAL. Petinggi Majelis MUI ditengarai memperdagangkan label halal. Tempo melacak hingga Australia dan Belgia.”

MUI adalah lembaga yang diberi wewenang melabeli halal suatu produk, termasuk produk luar yang akan masuk Indonesia. Meski di negara masing-masing telah dinyatakan halal, produk luar harus memperoleh sertifikat halal dari MUI. MUI juga memberi izin atau semacam lisensi kepada perusahaan di luar negeri untuk memberi sertifikat halal yang diakui di Indonesia.

Dengan populasi muslim terbesar di Indonesia atas pasar produk halal yang besar, banyak perusahaan asing mengincar label halal untuk bisa memasarkan produknya. Di Australia, banyak perusahaan mengajukan izin untuk menjadi pemberi label halal dengan sertifikasi MUI. Ruang lingkup wilayah kerja mereka adalah satu negara bagian. Pengurusan izin sertifikasi halal itu sebenarnya gratis. MUI akan meninjau perusahaan yang mengajukan izin sertifikasi halal. Semua biaya perjalanan ditanggung perusahaan.

Dalam prakteknya, disebut dalam laporan utama Tempo, MUI ditengarai “bermain” dengan memainkan kesempatan label halal dijajakan secara “haram”. Ambil contoh sapi impor dari Australia, karena ongkos mahal MUI tak mungkin awasi semua proses produksi dari hulu ke hilir. MUI bekerjasama dengan perusahaan sertifikasi di banyak negara. MUI memegang monopoli untuk memilih perusahaan itu. Di sini celah permainan. Salah seorang petinggi MUI, Amidhan Shaberah, banyak meminta “fee” lain. Beberapa ditransfer ke rekening pribadinya. Pengusaha yang menolak memberi suap, izin sertifikasi halal-nya akan dicabut. Atau bisa tidak diperpanjang lagi setelah 2 tahun. Di Belgia, Amidhan juga ditempatkan sebagai penasihat perusahaan pemberi label halal. Tujuannya, agar lolos dari audit oleh MUI. Walhasil, ada beberapa produk yang mengandung babi tetap dinyatakan sebagai produk halal.

Liputan di Australia juga menemukan pabrik pengolahan yang mencampur sapi dan babi di satu tempat. Jauh dari standar halal. Anehnya, daging dari tempat itu memperoleh sertifikat halal dari perusahaan yang mengantongi izin dari MUI.

Itulah intisari Laporan Utama Majalah Tempo edisi 24 Februari – 2 Maret 2014. Benarkah apa yang diberitakannya tersebut? Mari kita bahas sekaligus belajar mengkritisi suatu berita.

.
BANTAHAN

Pada tanggal 24 Februari 2014, Dewan Sertifikat Makanan Halal Eropa (Halal Food Council of Europe / HFCE) yang berkedudukan di Brussel, Belgia mengirimkan surat yang membantah pemberitaan Majalah Tempo soal sertifikat produk halal. Isi surat bantahan bisa dibaca di sini [Inilah.com]. Poin penting bantahannya adalah bahwa Ketua MUI Amidhan Shaberah tidak ada dalam jajaran Advisory Board HFCE dan tidak mendapat gaji/bayaran dari HFCE, tidak seperti yang diberitakan Tempo. Bagi HFCE, pemberitaan Tempo sengaja menjatuhkan nama baik Amidhan sebagai Ketua MUI dan HFCE sendiri.

Dalam siaran pers MUI, pada tanggal 26 Februari 2014, menyebutkan Rubrik Opini halaman 29 alinea kelima Majalah Tempo menulis:

Demi mengantongi izin perusahaan sertifikasi di Australia, menurut laporan The Sunday Mail, Brisbane, Oktober tahun lalu, memberi “hadiah” kepada MUI yang nilainya mencapai Aus$ 78 juta atau sekitar 820 miliar.

MUI menganggap tulisan itu menyesatkan, karena dana sebesar itu, sepeser pun tidak pernah masuk ke MUI atau petinggi MUI. The Sunday Mail tidak menuliskan angka Aus$78 juta itu. The Sunday Mail juga tidak menyebutkan uang itu untuk MUI, tetapi untuk lembaga sertifikasi di Australia yang di-endorse oleh MUI. Jadi wartawan Tempo salah menerjemahan berita itu.

Pembaca blog ini bisa membuktikannya langsung dengan membaca artikel yang digunakan Tempo sebagai sumber berita dan opini:
Religious levy costs Queensland abattoirs thousands each month
[Edisi cetak Sunday Mail, 20/10/2013, berjudul: ‘Islamic Levy Cuts Deep at Abattoirs’]

Lihatlah, betapa tidak jujurnya Tempo dalam mengutip / menerjemahkan berita dari media Australia.

Kemudian pada tanggal 26 Februari 2014, MUI telah memberikan Klarifikasi terhadap Pemberitaan Tempo tentang Sertifikasi Halal. Bantahan atas berita Bohong yang ditulis Tempo terhadap MUI dan Amidhan, lengkapnya sila cek di situs Halal MUI.

Tempo sepertinya tidak berniat investigasi jujur, media ini tidak menganut pemberitaan berimbang karena sumbernya tidak valid, menggunakan sumber anonym. Sehingga hanya melestarikan jurnalisme prasangka di negeri ini. Namun demikian, laporan Tempo ini memang patut ditindaklanjuti MUI dengan membentuk tim penyelidik internal, semacam komisi etik. Ini penting, karena bisa jadi berita tersebut mengandung kebenaran, meski konstruksi Tempo banyak ditemukan kejanggalan. Apa saja kejanggalan tersebut, mari kita bedah satu-satu.

.
KEJANGGALAN – KEJANGGALAN ISI BERITA

Kejanggalan 1:

Lihat halaman 34-35.
Dalam laporan utama majalah Tempo, Ketua MUI Amidhan Shaberah diberitakan menerima sejumlah uang dari perusahaan luar negeri dalam hal ini dari Australia, agar perusahaan itu mendapatkan sertifikat halal produk-produk mereka. Faktanya perusahaan tersebut tidak lolos sertifikasi. Ada berita tentang transfer uang Rp 105 Juta ke rekening Amidhan. Terduga penyuapnya adalah Mohammed Lotfi dan Ali Chawk. Namun dua orang tersebut menolak memberikan konfirmasi tentang transfer uang tersebut, tetapi ada saksi yang melihat bukti transfer namanya Syahrudi Muhammad Idji (Wakil Ketua Dewan Dakwah Tangerang). Kata Tempo, Syahrudi adalah orang yang sedang menyiapkan perusahaan pemberi label halal di Melbourne.
Pertanyaanya, apakah Tempo melihat sendiri copy bukti transfer ke Amidhan yang dilihat Syahrudi?
Komite etik MUI juga harus tabayyun ke Syahrudi, minta copy bukti transfernya, biar jelas transfernya ke rekening mana setelah dilacak. Dari tabayyun ini bisa disimpulkan, apakah Syahrudi ini beneran ingin membongkar suap, ataukah karena ada unsur kepentingan dirinya sebagai pemain pemberi label halal juga.

Faktanya, MUI tidak meloloskan sertifikasi Australian Halal Food Services / AHFS, (meski kemudian AFHS bersalin rupa menjadi Halal Certification Council), dengan alasan proses penyembelihan sapi tidak sesuai dengan syariah. Nah, kalau dibilang MUI menerima suap, BAGAIMANA mungkin orang yang menerima suap malah tidak meloloskan perusahaan yang memberi suap? Ini kejanggalan yang sangat mendasar.

Kejanggalan 2:

Lihat halaman 35.
Tempo memuat capture “Statutory Declaration”, surat sumpah pengakuan Mohammed El-Mouelhy di depan notaris yang mengaku menyuap petinggi MUI. Amidhan telah mengakui ada trip ke Australia pada tahun 2006.
Pada surat pengakuan Mouelhy jelas tertulis ada saksinya, lihat poin 6 surat tersebut, bahwa pembayaran disaksikan pejabat Konsulat RI dan pejabat Australia. Pertanyaannya, apakah itu uang saku atau uang suap? Kalau itu uang suap, APAKAH logis menyuap terang-terangan begitu disaksikan pejabat yang berwenang?
Yang namanya disaksikan pejabat penting dari perwakilan negara, maka itu jelas perjanjian di atas tangan, bukan perjanjian bawah tangan dalam pengertian suap. Kecuali kalau kita ikutan menuduh pejabat konsulat Indonesia dan perwakilan Australia ikut serta dalam acara suap-menyuap atau gratifikasi tersebut… tapi ini malah menambah kekonyolan.

Kejanggalan 3:

Lihat halaman 36.
Kata berita Tempo, ada berita tentang seorang bekas manajer keuangan yang mencairkan Aus$ 50 ribu untuk dibawa bosnya ke Jakarta pada akhir 2011. Bos perusahaan itu menemui Amidhan karena diancam akan dicabut izinnya dengan tuduhan memberikan label halal lintas negara bagian. Kepada bawahannya, bos perusahaan itu mengatakan akan menyuap 4 petinggi MUI di Jakarta. Setelah pertemuan dengan Amidhan, pencabutan izin tak pernah benar-benar dikeluarkan. Perusahaan itu masih beroperasi, memberikan label halal hingga kini.
Pertanyannya, apa nama perusahaan itu? Tempo tidak menyebutkan. Padahal ini penting buat pembaca yang peduli dengan kehalalan suatu produk. Nama perusahaan penting dibuka agar konsumen muslim pembaca Tempo hati-hati membeli produknya.

Mantan manajer ditulis anonym, nama bos anonym, nama perusahaan juga anonym. Mantan manajer yang anonym itu tidak melihat sendiri penyuapan, dia hanya mendengar cerita bosnya (yang juga anonym). Anonym mendengar info dari anonym. Lha ini apa bedanya dengan obrolan gosip yang membahas tentang “katanya si anu dari si anu” ? Bagaimana ini bisa dipercaya?
[Update] Detail ulasan kronologi bisa dibaca pada jurnal berikutnya di sini.

Kejanggalan 4:

Lihat halaman 37.
Kata Tempo, ada kabar dari orang dalam HFCE bahwa Amidhan menerima gaji rutin US$ 5000. Kabar tersebut berasal dari sumber anonym.
Pertanyannya, pemberian gaji tersebut via apa? Apakah via transfer rekening, ataukah utusan, ataukah ambil sendiri?
Jika lewat rekening, tim etik MUI harus print out rekening. Lalu umumkan. Jika benar kata Tempo, MUI harus fair dan ambil tindakan. Jika tidak, segera bersihkan namanya.
Faktanya, menurut HFCE, Amidhan tidak berada dalam Advisory Board HFCE, sehingga tidak ada gaji rutin.

Kejanggalan 5:

Lihat halaman 37.
Kata Tempo, karena tidak pernah diaudit MUI, produk-produk yang mengandung gelatin babi tetap diberi label halal oleh HFCE. Misalnya produk obat dari Belgia yang mengandung trypsin, senyawa yang berasal dari babi.
Pertanyaannya, apa nama produk obat tersebut?
Apakah obat itu masuk ke Indonesia?
Apakah perusahaan yang tidak pernah diaudit MUI itu memasukkan produknya ke Indonesia?

Adanya penjelasan soal ini sangat penting, namun anehnya di berita Tempo itu tidak disebutkan.
Kabar terakhir, informasi tersebut dibantah oleh Sumunar Jati, Wakil Direktur LPPOM MUI. LPPOM tidak pernah memberikan sertifikat atau label halal produk yang mengandung babi, lembaga tersebut juga telah mengingatkan kepada HFCE. [baca IslamPos: MUI Akan Somasi Majalah Tempo]

Kejanggalan 6:

Lihat halaman 38.
Pada laporan utama berjudul: “Dua Label Daging Flemington” mengungkap adanya daging yang dinyatakan halal diolah ditempat yang sama dengan produk nonhalal di Flemington, Melbourne, Australia. Yang kata Tempo, tetap mendapat sertifikat berstandar MUI. Tempo menulis: “di selasar yang sama”, maksudnya kalau pagi tempat pengolahan itu buat daging sapi, kalau sore buat daging babi. Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV) yang mengawasi pabrik itu membantah pengolahan daging sapi dan babi itu di satu atap. Dari adanya pertentangan ini, seharusnya laporan utama Tempo diupayakan untuk lebih meyakinkan pembaca, misalnya ada foto / denah grafis. Nyatanya tidak ada. Dan jika benar pengolahan di Flemington campur-baur, nyatanya ICCV telah memastikan bahwa pabrik daging Flemington tidak mengirim produknya ke Indonesia. Artinya, masyarakat muslim Indonesia aman, tidak terkontaminasi produk Flemington.
Lha masalahnya dimana, kok soal ini diangkat media Tempo?
Apakah ada bukti bahwa daging di Flemington yang ditinjau Tempo itu dikirim ke Indonesia?
Tidak ada penjelasan di berita.
Apakah ada bukti pabrik Flemington yang dipantau Tempo itu diberi sertifikat halal oleh ICCV atas approval MUI? Juga tidak ada penjelasan berita.
Lantas, apa salah MUI dalam hal ini?
Adanya kedekatan Esad Alagic (pemimpin ICCV) dengan Amidhan Shaberah (Ketua MUI) dikonstruksi supaya pembaca terbawa alur bahwa Amidhan bermain curang, melapangkan jalan masuk produknya ke Indonesia. Hati-hati membaca framing berita seperti ini, ilusi Anda bisa kebablasan yang berakibat buruk sangka!

Kejanggalan 7:

Lihat halaman 40-41.
Pada laporan utama berjudul “Pengakuan ‘Dosa’ Pemain Utama “ mengungkap tentang pemalsuan label halal daging dari Amerika Serikat yang kemudian dimaafkan MUI. Halal Transaction of Omaha (HTO), lembaga sertifikasi halal yang berkantor di Nebraska, Amerika Serikat, menginformasikan ke MUI bahwa ada sertifikat halal dipalsu CV. Sumber Laut Perkasa (SLP). Kemudian MUI mengirim surat ke Kementerian Pertanian (Kementan). Kementan lalu bertindak mengawasi SLP berdasar surat MUI. SLP meminta maaf ke MUI dengan alasan anak buahnya curang, dan telah dipecat. MUI menerima maaf. Pelaksanaan impor harus sesuai aturan, sertifikat palsu tidak memberi jaminan kehalalan produk.
Kemudian ketika SLP beroperasi lagi, tidak ada bukti dan keterangan satu sumber pun yang mengkonfirmasi bahwa SLP telah menyuap MUI, juga tidak ada bukti dan keterangan satu sumber pun yang mengkonfirmasi bahwa MUI menerima suap dari SLP. Lantas, apakah sertifikat SLP berikutnya itu sertifikat yang masih palsu atau sudah asli/halal? Tempo tidak menyajikan data dan kesimpulan.
Berita dengan judul “Pengakuan ‘Dosa’ Pemain Utama” itu (lagi-lagi) murni framing agar pembaca berilusi seolah-olah ada kasus suap antara SLP dengan MUI.

…..

Demikianlah, ada sekitar 7 kejanggalan dalam pemberitaan Majalah Tempo. Model seperti ini sama dengan melecehkan integritas pers. Kita selayaknya berhati-hati terhadap media-media yang mengandalkan jurnalisme prasangka, yang kemudian menyihir pembaca tanpa sadar berilusi bahwa benar terjadi kejahatan. Jangan mudah terbawa opini negatif yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Kita patut kritis.

Pada saat MUI merilis klarifikasi MUI atas Pemberitaan Majalah Tempo, halaman pada situs resminya yang memuat klarifikasi tersebut saya forward ke Arif Zulkifli, pemimpin redaksi Tempo [Twit 1]. Namun, kemudian Arif Zulkifli menyodorkan link berita ke saya tentang: Australia Sodorkan Bukti Biaya Perjalanan MUI [Twit 2]
Dalam link berita Tempo yang diberikannya tersebut memuat bukti tiket pesawat perjalanan petinggi MUI ke Autralia 2-8 April 2006.
Kemudian saya balas: “Sesuai klarifikasi MUI poin 5, tim MUI ke sana untuk ngaudit. Apa MUI hrs suruh bayar sendiri ke Aussie?” [Twit 3]

Pada laporan utama Tempo halaman 36, diberitakan bahwa sesuai dengan aturan, sebelum memberikan izin, MUI akan menyurvei perusahaan pemohon untuk meninjau kelayakannya. Maka tanggal kunjungan ditetapkan pada 2-8 April 2006. Kata Mouelhy, mereka meminta sangu Aus$ 300 orang per hari. Total ada tujuh anggota tim peninjau. Pada akhirnya hanya 5 orang peninjau, karena yang 2 orang pulang duluan. Pada saat pamitan di bandara Melbourne itulah, ia memberikan 7 amplop yang jumlahnya Aus$ 26 ribu (sekitar Rp 275 Juta). Kronologi peristiwa dan pernyataan menyuap itu ia buat dalam pernyataan bersumpah di depan notaris. Namun, dalam pernyataan sumpah yang di-capture Tempo dan dimuat di halaman 35 itu tidak memuat besar uang yang dimasukkan dalam amplop [baca suratnya di sini].

Dari link berita yang diberikan Arif Zulkifli, seolah-olah menggiring pembaca untuk berilusi lagi bahwa benar terjadi suap kepada MUI. Padahal itu cuma bukti tiket pesawat. Dimana dalam prosedur pengurusan sertifikat halal yang dimuat Tempo di halaman 42 (poin 2), mengatakan bahwa MUI akan meninjau perusahaan yang mengajukan izin sertifikasi halal. Semua biaya perjalanan ditanggung perusahaan. Pengalaman saya sebagai auditor manajemen mutu, pihak auditee (perusahaan yang diaudit) menanggung biaya transportasi, akomodasi, dan biaya audit sekian mandays. Jadi, wajar kalau ada bukti tiket pesawat yang ditanggung pemohon (Mouelhy). Apakah Tempo lagi-lagi mengajak pembaca berilusi melalui framing penunjukan tiket pesawat tersebut? Makanya saya berikan pertanyaan yang sampai sekarang belum dijawab:

Kalau memang MUI menerima uang suap itu. Kejanggalannya adalah adanya fakta bahwa sampai sekarang perusahaan pemohon itu tidak diloloskan proses sertifikasinya, dengan alasan tidak memenuhi syariah. Bagaimana mungkin, sudah menerima suap kok masih belum diloloskan. Ini kejanggalan yang amat mendasar, bukan?

Bila ternyata semuanya adalah kebohongan belaka, maka kita patut bertanya, ada apa dibalik usaha Tempo menerbitkan berita bohong tersebut? Patut diwaspadai.
Kemudian, mari kita dukung langkah-langkah para ulama melaporkan Tempo kepada Dewan Pers atas fitnah dan penyesatan publik.

Dan jika terbukti memang ada nila di dalam belanga MUI, bukan berarti kita setuju langkah delegitimasi halal. Legitimasi halal mutlak diperlukan bagi umat Islam. Saya mendukung, nila setitik yang merusak susu sebelanga itu diproses secara hukum, namun jangan mengorbankan LPPOM-nya.

Salam hangat tetap semangat,
Iwan Yuliyanto
28.02.2014

.
[UPDATE BERITA]

  • Inilah.com, 27/2/2014: Amidhan: “Wartawan Tempo Pelintir Ucapan Saya”
  • Pernyataan Amidhan yang mengatakan biaya ke Australia dibiayai oleh APBN, sudah diklarifikasi dalam jumpa pers, 27/2/2014, yang benar dibiayai pemohon sesuai prosedur. [Duta Online]
  • Majalah Tempo edisi 3 – 9 Maret 2014, halaman 8 memuat RALAT bahwa pada tulisan “Praktek Haram Untuk Label Halal” di rubrik Opini Majalah Tempo edisi 24 Februari – 3 Maret 2014 halaman 29 tertulis, “… nilainya mencapai Aus$ 78 Juta atau sekitar Rp 820 Miliar.” Yang benar, “… nilainya mencapai Aus$ 78 ribu atau sekitar Rp 809 Juta.”

102 Comments

  1. Boris https://ya.ru says:

    Boris https://ya.ru

  2. Deen says:

    Artikel yg sangat memcerahkan.. Ijinkan kami share… Masyarakat harus Tahu

  3. […] [Catatan, saya pernah menguliti fitnah Tempo kepada MUI soal label halal. Tempo menerapkan jurnalisme “katanya” / jurnalisme “prasangka”, silakan dibaca di sini] […]

  4. alhamdulillah
    akhirnya bisa mengecek halal produk
    terima kasih artikelnya

  5. […] media TEMPO saat memberitakan praktek suap dalam pengurusan label halal. Saya mencoba memaparkan 7 kejanggalan dalam pemberitaannya yang secara tendensius mendiskreditkan MUI. Yang pada akhirnya TEMPO meralat tulisannya pada edisi […]

  6. Mampir blog ane gan 🙂

  7. Dian says:

    Dear mas Iwan
    Mas Iwan sudah melayangkan hak jawab ke Tempo? Atau apakah ada informasi bahwa pihak MUI sudah melayangkan hak jawab ke Tempo? Kalau sudah, link infonya tolong di share di sini. Karena setahu saya, setiap media memberi hak jawab. Jadi menurut saya, jika banyak yang tidak sesuai dengan pemberitaan Tempo, ya layangkanlah hak jawab pada Tempo.
    Menurut saya tidak terlalu efektif kalau saling serang melalui blog pribadi lalu di “ijin share” kemana-mana. Inilah.com, duta online.com dan dotcom-dotcom lainnya adalah beberapa link yang mas Iwan tulis di sini. Mohon maaf, tapi saya juga kurang mengenal dotcom-dotcom itu tadi. Ya taruhlah di web MUI misalnya. Jadi klarifikasi seperti ini lebih terlihat akurat di mata publik.
    Tapi yang paling penting segeralah melayangkan hak jawab ke Tempo. Kemudian yang di tulis di blog pribadi dan yang di share adalah hak jawab tersebut serta tanggapan Tempo. Hal itu bisa lebih membuat pembaca berpikir cerdas. Karena kalau yang di share kemana-mana cuma tulisan di blog pribadi ya jadinya bukan memberi wawasan pada masyarakat tapi akhirnya saling serang dan benci.
    Terimakasih mas. Ini masukan lhooo..

    • Terimakasih masukannya, mbak Dian.
      Betul, berdasarkan kode etik jurnalistik, pihak media mempersilahkan pihak yang merasa dirugikan dalam pemberitaannya untuk memberikan klarifikasi.

      Setahu saya, saat jumpa pers menerbitkan klarifikasi oleh MUI (ada 9 poin), 27 Februari 2014, dalam kesempatan tersebut MUI menyampaikan bahwa telah menyiapkan Hak Jawab kepada TEMPO. Namun, pada Majalah Tempo edisi minggu ini belum muncul. Saya tidak tahu apakah sudah dilayangkan kepada Tempo apa belum. Kalau sudah dilayangkan, maka Tempo wajib memuatnya. Insya Allah, nanti saya update beritanya kala hak jawab tersebut sudah dilayangkan.

      Tulisan ini juga sudah dimuat di official web-nya LPPOM-MUI di sini:
      http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/detil_page/8/1958

      Tulisan panjang ini sebenarnya versi singkat dari saya, salah satu penjabarannya sudah saya muat di jurnal berikutnya di sini: https://iwanyuliyanto.wordpress.com/2014/03/04/menguji-sumber-anonim-dalam-kasus-label-halal/

  8. Ryan says:

    Nice share mas. membuka wawasan.

  9. anotherorion says:

    haha aku ketinggalan terus, jurnalisme prasangka, ketoke klub e tempo emang isane mung ngono kuwi, termasuk soal sitok biyen kae, membabi buta

    • Di poin kejanggalan ke-3 itu ada link jurnal berikutnya, salah satu kronologi detailnya tentang jurnalisme prasangka.

      Tempo memang terlihat membela Sitok dalam pemberitaannya.

  10. Ngeri kalo ngikuti mass media,,,

  11. Ayuniarista says:

    Entahlah, tapi jujur aku ilfeel sama MUI sejak bendahara-nya (Chairunnisa) ketangkap tangan jadi perantara suap Akil Mochtar. Dibukti sms, sempet minta jatah ke Akil lagi. Sayang Akil terlalu pelit. Memang gak semua orang MUI kayak gitu, tapi aku ilfeel aja… CMIIW

    • Silakan simak penuturan ibu Maulida Rachmawati (auditor LPPOM-MUI) dalam komentar di bawah ini, agar mengenal LPPOM-MUI lebih dekat. Di setiap organisasi manapun terkadang ada anomali. Namun demikian kita sepatutnya tidak gegabah berkesimpulan bahwa ketika ada setitik nila yang rusak maka susu sebelanga rusak juga.

  12. abufajri says:

    ijin share ya Kang …

  13. yudiwbs says:

    Tulisan tempo minggu ini sudah mengakui beberapa kesalahan:
    – $78 ribu bukan $78juta
    – tidak ada bukti transfer/tanda terima untuk uang $78jt tsb, yang ada bukti tiket pesawat , hotel.
    – Mengakui bahwa wajar auditor dibayari tiket dan akomodasi.

    Menurut saya, MUI tetap perlu buat tim pencari fakta yang lebih detil (biar sekalian kalau mau menuntut Tempo). Sistem juga perlu dibuat lebih transparan dan ada mekanisme pengaduan.

    • Betul, saya juga telah membaca MBM Tempo edisi minggu ini. Ada ralat di halaman 8 dan pengakuan di halaman 44.

      Saya sependapat, Pak Yudi, selain membentuk tim pencar fakta juga refleksi dan perbaikan internal di tubuh MUI yang memang sudah saatnya dilakukan, yang outputnya adalah terciptanya suatu sistem yang prosesnya transparan.

      Saya juga masih menunggu MUI yang katanya merilis hak jawab kepada Tempo, namun ternyata belum ada pada edisi minggu ini. Hak jawab itu biasa dilayangkan pihak yang merasa dirugikan dalam pemberitaan majalah, dan majalah tersebut wajib memuatnya. Ini bagian dari Kode Etik Jurnalistik. Biasanya MBM Tempo memuatnya dalam rubrik “Surat”.

      Oiya, detail pengujian pemakaian “sumber anonim” telah saya post dalam jurnal berikutnya, di sini. Semoga bermanfaat.

    • ivan says:

      mas, saya juga baca edisi lanjutan soal halal ini. setahu saya cuma satu yang diralat. dua terakhir yang anda sebut itu ada di berita:

      – jelas tak ada tanda terima, itu uang dikasih tunai beramplop di bandara melbourne (baca lagi deh pernyataan terusmpah pemberinya). bukti tiket itu untuk menunjukkan amidhan berbohong yang mengaku ke australia dibiayai apbn (cek lagi berita-beritanya, mas).

      – pengakuan auditor wajar dibayari tiket itu dari MUI, bukan tempo yang mengakui. Pembelaan itu mengkonfirmasi bahwa MUI meminta dibayari di luar honor resmi yang mereka buat sendiri. Coba bacanya sampai selesai, ada bukti email disertakan di sana. 5000 dolar untuk ongkos lokal di Indonesia, belum honor dan akomodasi di negara tujuan.

    • yudiwbs says:

      Eh iya bener, ternyata sama. Ngapain juga tempo memuat sama persis ya, tanpa ada informasi tambahan. Mending dia muat surat balasan MUI biar bisa dikontraskan, atau ditanyakan ulang ke Pak Lukman tentang masalah inkonsistensi antara tarif resmi auditor dengan uang yang diminta.

    • Saya sependapat, mestinya Tempo menggali lebih dalam poin-poin klarifikasi MUI yang telah di-share ke publik.

      Tentang “Amidhan berbohong” yang disampaikan mas Ivan, seharusnya pahami detail kronologinya pada informasi yang dimuat DutaOnline, link-nya ada di akhir jurnal ini. Saya juga menjelaskan pada komentar sebelumnya. Tidak ada maksud berbohong kalo paham kronologinya. Hati-hati, jauhi prasangka buruk, dalam agama Islam itu hukumnya dosa.

  14. hasanuddin says:

    Memang enak menulis dengan sumber-sumber anonim. Belakangan Tempo sangat sering melakukannya. Tapi, saya pribadi lebih percaya orang-orang MUI ketimbang orang Tempo. Apalagi Tempo pascareformasi.

  15. […] mengkritisinya agar tidak menelan bulat-bulat apa yang disampaikan wartawan. Dan juga belajar dari jurnal sebelumnya yang telah di-shared para pembaca ke 4000 lebih akun FB, dan ratusan akun twitter, Alhamdulillah, […]

  16. Arrdi Lukman A says:

    Inilah akibat dari reFormasi kebablasan, poliikus, media yg berlomba-lomba mencari power (kekuasan) yg a.l UUD juga.Sekarrang ini ngak ada yg bisa kita percaya/andalkan, manusianya semakin bejad. Sejelek2nya era Orba, aturran mainnya masih bisa dibaca, kalau sekarang susah diduga, artinya makin parrah. Ok, kitta tetap berharap Kebenaran pasti menang, Amin

  17. mohamade iqbal santoso says:

    saya suka dengan pernyataan:
    “…. Kita selayaknya berhati-hati terhadap media-media yang mengandalkan jurnalisme prasangka, yang kemudian menyihir pembaca tanpa sadar berilusi bahwa benar terjadi kejahatan. Jangan mudah terbawa opini negatif yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Kita patut kritis….”

  18. Maulida Rachmawati says:

    Meluruskan koment salah satu pembaca, kami para auditor LPPOM-MUI bukan mencari makan dari MUI, karena kami semua sdh mempunyai pekerjaan tetap yang utama seperti : Dosen, Dokter Hewan, Pengacara, dan lain2 yang berhubungan dengan bidang keahlian masing2 untuk produk2 yang akan diaudit. Untuk di daerah2 bahkan pengurusan sertifikat ada yang gratis untuk UKM menengah kebawah dengan kerjasama dengan Kementerian Koperasi, Kementerian Agama dan Kesehatan. Untuk perusahaan yang sdh maju memang diharapkan biaya mandiri, biasanya bergabung beberapa perusahaan untuk biaya akomodasi dan transportasi para auditor agar lebih murah. Jadi motivasi kami bekerja di LPPOM bukan mencari makan tapi menerapkan ilmu kami dan mencari amal untuk akhirat kami. Pekerjaan itupun kami lakukan biasanya mencari waktu kosong kami dari kegiatan utama kami sebagai dosen dll.

  19. […] jurnal sebelumnya yang “Mengkritisi Berita TEMPO soal Label Halal MUI”, ada dua pengunjung yang mengajak diskusi soal sumber anonim terkait dengan uraian kejanggalan yang […]

  20. Herry Suroso says:

    Majalah TEMPO seringkali menyerang umat Islam di Indonesia, mereka memang liberalis,
    MUI perlu men-somasi TEMPO, kalsu perlu majalah itu dicabut ijin terbitnya.

  21. Tom Rizal says:

    Saya share di forum ya,.
    Pak maju terus ya, kalau tanpa bapak pasti kami terbawa arus media yg buruk. Terimakasih Pak..

  22. ME says:

    Tks mas Iwan Yuliyanto, untuk “audit berita”-nya yang jernih dan kritis. Terimakasih juga sdh mengingatkan kami –orang pers– agar tidak mengandalkan jurnalisme prasangka yang akibatnya bisa semakin menyudutkan umat sendiri.

  23. Maykada Mpu says:

    Harus dikawal dengan serius tingkah polah si Tempo ini, bau sangitnya sangat terasa. Bahkan sampai wawancara dengan Amidhan saja dipelintir. Baiknya dibawa ke pengadilan saja, biar tidak sekedar ribut di tataran wacana seperti blog ini. Harus ada action, harus ada yg dipenjara.

  24. tiarrahman says:

    Tempo penuh dengan muatan politik, lebih bagus jadi majalah fiksi 😀

  25. suhraeni says:

    Cabut izin terbit tempo karena telah meresahkan masyarakat Islam. Beritanya fitnah di atas fitnah.

    Pada intinya Tempo ingin membawa label halal-haram di bawah perdagangan yg sangat2 komersial yaitu dalam atap Kementerian Agama, dimana kerja2 Kementerian Agama selama ini telah memperdagangkan umat Islam melalui ibadah Haji. Tempo ingin tidak cukup hanya haji saja yg ibadahnya diperdagangkan dan dikorupsi, melainkan label halal juga ingin dirusak. Tempo adalah Dajal. Dan dalam Kementerian Agama jg ada beberapa hal ttg Islam telah dicabik-cabik, mereka atas namaIslam ingin memonopoli praktek2 syariat Isalam untuk dirusak dan diperdagangkan.

    Boleh jadi dengan pelemparan isu ini, agar masyarakat Islam menggiring label Halal ke kementerian Agama, lalu disana rusaklah label halal, yg haram2 menjadi halal semuanya. Ganyang tempo, bubarkan izin terbitnya.

  26. suhraeni says:

    Sudah tahu kalau koran dan majalah tempo beritanya tidak valid dan selalu ingin menghancurkan Islam, kenapa tidk dicabut saja izin usahanya? Tempo adalah korannya Yahudi alias Islam Liberal, jadi beritanya punya misi ingin menghancurkan orang2 Islam dan syariatnya. Tempo anti syariat Islam. Jadi cabut saja izin penerbitannya karena beritanya tidak netral.

  27. Nana says:

    Izin Share Mas Iwan.

  28. Alo says:

    Mana ada maling mengaku??? Penjara penuh brother ‘go Tempo ‘Investigasi news’

  29. SEHARUSNYA MUI DAPAT MENGAJUKAN TUNTUTAN SECARA PIDANA DAN PERDATA KEPADA TEMPO ATAS PEMBERITAAN ITU. SEKARANG APAKAH MUI SUDAH MELAKUKAN ITU?

    • Yang saya tahu MUI mencoba menghargai Undang-undang, yang didalamnya memuat tentang Kode Etik Jurnalistik. Langkah pertama yang dilakukan MUI adalah memberikan Hak Jawab kepada Tempo dengan tembusan kepada Dewan Pers, agar Dewan Pers mengawal prosesnya. Kabarnya draft-nya sudah disiapkan. Simak di sini.

  30. yudiwbs says:

    Sayang MUI tidak mau mengambil langkah hukum (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/26/1528500/Berang.terhadap.Majalah.Tempo.MUI.Tak.Ambil.Langkah.Hukum)

    Padahal ini kesempatan, MUI bisa buat tim audit yang anggotanya dari luar MUI yang diakui kredibilitasnya. Tim ini punya akses ke semua informasi dan hasilnya dipublikasikan. Kalau Tempo salah, tuntut habis-habisan, kalau di internal ada yg salah, bisa diberantas.

    • Dari link tersebut sudah jelas, pak, bahwa MUI mencoba menghargai Undang-undang, yang didalamnya memuat tentang Kode Etik Jurnalistik. Langkah pertama yang dilakukan MUI adalah memberikan Hak Jawab terlebih dahulu kepada Tempo dengan tembusan kepada Dewan Pers, agar Dewan Pers mengawal prosesnya. Kabarnya draft-nya sudah disiapkan. Ini contoh etika yang baik, kepada siapa saja yang merasa dirugikan pers bisa memanfaatkan fasilitas hak jawab. Bukan langsung menempuh langkah hukum.

    • yudiwbs says:

      Setuju untuk hak jawab. Tapi kenapa tidak dibentuk tim investigasi khusus? Menurut saya masalah ini terlalu besar untuk hanya diselesaikan dengan hak jawab saja. Nanti malah berkesan ‘tiarap’ agar cepat hilang pemberitaannya.

      Kita sudah kena korupsi pengadaan alquran, transaksi mencurigakan dana haji, kalau sampai MUI juga sama, betapa sedihnya. Jadi perlu usaha ekstra dari MUI untuk menjaga kepercayaan umat.

    • Nurul says:

      Saya yakin seyakin2nya MUI telah menyiapkan Tim Khusus, Pak… Saya tahu, pak… Kita tunggu saja… MUI berisi orang2 yang tidak bodoh dan peduli dengan Umat… saya yakin MUI tidak seperti Pengadaan Al-Qur’an maupun Haji… MUI bukan pemerintah….

  31. rusydi says:

    wah, alhmdulillah akhirny ad yg mengkritisi topik ini. saya ingin mengkritisi topik ini cuma blm ad referensi. terima ksh bang iwan.
    sekalian ijin share bang

  32. Sita says:

    ijin share pak

  33. Sejak dulu MUI sudah berbisnis label halal, jadi ngga heran kalau berita ini mencuat juga ahirnya, Sesuatu yang busuk pasti ketauan. Agama ISLAM cuma dijadikan bumper oleh orang-orang yang mengambil keuntungan materi semata. HALAL atau HARAM sudah menjadi Absurd.

    • Jadikan QS Al-Hujurat ayat 6 dan 12 sebagai petunjuk. Mohon pahami dengan lebih baik jurnal di atas.

      Kalau ada penyimpangan dalam prakteknya, proses orangnya secara hukum, bukan menyalahkan lembaganya.

    • Nurul says:

      Sertifikasi Halal bukan Bisnis… sertifikasi halal dikenakan tarif hanya untuk menghidupi orang-orang yang bekerja didalamnya… bukan untuk mencari keuntungan… orang-orang yang bekerja di sertifikasi halal juga butuh makan, pak… sementara mereka harus bekerja setiap hari seperti orang-orang lainnya….

    • Betul. Masalah fee itu sebenarnya uang jasa yang melakukan audit, auditor itu juga mencari nafkah untuk keluarganya dengan cara halal.
      Hanya media yang begitu dalam kebenciannya itu yang membesar-besarkan soal tarif.

      Saya tidak setuju, kalau soal label halal ini diserahkan kepada pemerintah yang notebene politisi, dan pendapatan yang diterima masuk ke dalam bagian PNBP, maka itu rawan korupsi.
      Bisa jadi skenario ini konstruksi jebakan untuk pembusukan Islam, setelah meilhat track record Kemenag.

  34. jampang says:

    tempo mah udah biasa bikin berita yg gak valid atau dpelintir

    • Dalam bekerja sebagai wartawan, seharusnya meletakkan iman sebagai pondasi dalam profesinya.

      Perbuatan zina itu termasuk dosa besar. Namun ada dosa yang hukumannya jauh lebih besar dari perbuatan zina, yaitu mem-fitnah.
      Sebab kalo zina bisa diampuni dengan bertaubat (taubatan nasuha), sedangkan mem-fitnah, akan diampuni kalo si tukang fitnah itu meminta maaf kepada yang di fitnah, membersihkan namanya, dan kemudian melakukan taubatan nasuha. Lha kalau yang di fitnah itu sudah meninggal, bagaimana dia bisa minta ampun?
      wallahu a’lam bish-showab.

    • ivan says:

      ada tulisan lain nih: http://m.kabarlain.com/2014/02/01/catatan-nadirsyah-hosen-soal-kisruh-di-tubuh-mui/

      *edited by admin: isi artikel dihapus, cukup meninggalkan link saja*

    • Maaf. mas Ivan, komentarnya saya hapus bagian copas isi artikel, karena sangat puaaanjaaang, jadi cukup link saja ya. Lagipula itu sifatnya kasak-kusuk, bukan liputan investigasi, yang masih dipertanyakan akurasinya.

      Kalau ada waktu, nanti saya uji keshahihannya.

    • Ivan says:

      Penulis di link itu kalo tak salah bukan narasumber artikel itu ya? Dua orang berbeda (tempo dan penulis yang kalo tak salah dosen di Asutralia) punya info ttg satu fakta yang sama/mirip. Karena dosen tadi juga menulis tanggapannya setelah baca tempo ceritanya jadi spt konfirmasi thdp cerita tempo.

      Susah juga ya jika anda mengkritik tempo menduga2, anda sendiri banyak menduga dalam membaca artikel itu. Tapi itu hak anda, juga saya, sebagai pembaca.

      Saya tertarik pada pembahasan soal konflik kepentingan MUI. Anda tak berkomentar balik atas komentar saya soal Amidhan dan HFCE. Sebab ini penting karena sama dengan kedudukan ICCV. Saya tak menyoal daging itu diimpor ke indonesia atau tidak. Faktanya, daging doberi label halal oleh ICCV, ICCV adalah perwakilan MUI di ausi dan pemiliknya dekta dengan Amidhan (Amidhan ngakui sendiri loh). Bngaimana ini bisa terjadi? Label halal itu mungkin tak diaudit MUI krn ICCV perwakilannya. Ini saya baca juga di link ini :

      http://www.tempo.co/read/news/2014/02/28/173558329/MUI-dan-Konflik-Kepentingan-di-Australia

      Lalu soal Moulhy. Mas iwan setuju ga kalo motif diabaikan? Misalnya, KPK usut kecuranagan tender yg rugikan negara, datanya dipasok oleh perusahaan yg kalah tender (saya kira ini sangat biasa dalam penegakan hukum di kita, atau mukin dimanapun). Salah ga begitu? Tujuannya pemberantasan korupsi oleh KPK. Mouelhy mungkin sakit hati, tapi kesediannya bersaksi secara terbuka dan membuat pernyataan tersumpah membuat label halal ini terungkap, 8 th stlh kejadiannya. Menurut teman, di Ausi itu kalo bikin pernyataan tersumpah lalu bohong pembuatnya dipidana dg bui. Karena itu menyuap mungkin tak terlalu tepat. Kalo baca kronologisnya, moulhy ini diperas.

      Dari link ini kita tahu honor resmi hanya 115 tapi minta 300 http://www.tempo.co/read/news/2014/02/27/078557911/Australia-Sodorkan-Bukti-Biaya-Perjalanan-MUI

  35. eko purminto says:

    Ijin share

  36. pink hitam says:

    analisis yang bagus. sayangnya anda hanya membaca dari laporan yang di majalah saja namun mungkin tidak mengikuti di tempo online. padahal ini adalah reportase investigasi yang disajikan berseri. sehingga ini masih bisa terus berproses, terjadi klarifikasi bahkan mungkin muncul fakta baru. jadi akan semakin lengkap puzzle-nya sejalan dengan dinamika pemberitaan. demikianlah style jurnalisme di era online sekarang ini. seharusnya anda memahami bahwa ini bukanlah hal yang baru sebagai penggiat blog.

    pada bagian pembiayaan oleh pihak auditee anda menekankan apa yang anda sebut sebagai kejanggalan “orang yang sudah menyuap harusnya diloloskan sertifikasinya”. padahal konteks pemberitaan itu bukan masalah dibayari siapa, tetapi terkait pengakuan amidhan bahwa kunjungan itu atas biaya APBN. sebagai auditor semestinya anda paham praktek double book adalah tidak patut bahkan dilarang di dalam aturan keuangan negara.

    surat moulhy sesungguhnya justru mengingatkan amidhan soal ini, bukan dalam rangka protes karena tidak mendapatkan sertifikasi. itu tudingan tidak masuk akal. masa baru sekarang protes setelah ditolak 8 tahun?

    semua kejanggalan yang anda sebutkan, dengan bantuan google sedikit saja sudah akan terjawab dengan sendirinya. tentu saja tidak harus itu bersumber dari tempo sebab kasus ini pun bukan masalah baru tetapi tempo menggalinya kembali setelah hiruk pikuk dead lock pembahasan RUU produk halal yang kesekian kalinya selama 8 tahun pembahasan. dimana salah satu pokok silang sengkarut adalah resistensi MUI yang menginginkan dirinya tetap menjadi otoritas fatwa tunggal sebagai regulator sekaligus operator dan tidak mau diawasi di dalam masalah sertifikasi halal ini. itu sebabnya sejumlah ormas tidak sabar lagi, NU misalnya memilih pada akhirnya membentuk LPPOM NU. latar belakang hingga jauh ke belakang seperti ini sepatutnya anda dalami sebelum menuliskan analisis jurnalisme prasangka yang pada ujungnya justru menjadi prasangka juga pada tempo. sebagai media, tempo itu adalah kawakan dan jurnalis yang bekerja di dalamnya bukanlah ecek ecek. research backroom mereka adalah salah satu yang terbaik di negeri ini selain kompas. justru saya melihat, tempo sedang membantu ummat terbesar di negara ini yang terabaikan haknya karena hegemoni MUI.

    saya justru berharap amidhan dkk. menggugat ke pengadilan agar nanti dibuka semua fakta dan bukti. semua prasangka dan keraguan anda bisa terjawab sebab bukti itu ada, demikian juga nama nama tetapi menjadi kewajiban jurnalis untuk menyamarkan identitas dengan pertimbangan adanya sensitifitas atau ATAS PERMINTAAN NARA SUMBER. sebaiknya anda belajar lagi dan memahami proses kerja dan profesi jurnalis sebelum memutuskan untuk “menghakimi”. jangan karena hanya hendak membela MUI tapi diri anda sendiri terjerumus pada sikap yang kurang fair.

    oiya, saya perlu menyebutkan hegemoni ini untuk memancing anda ke belakang dan menggali lagi mengapa LPPOM MUI ini didirikan? sejak kasus lemak babi dan bagaimana kesepakatannya? sebab lembaga ini tidak didesain sebagai solusi permanen melainkan sementara mengisi kekosongan namun puluhan tahun kemudian dipaksakan menjadi otoritas tunggal yang bersifat sementahun. sedangkan amanat utama agar MUI medorong pemerintah, DPR dan ormas lain untuk merumuskan UU dan kelembagaan yang permanen justru tidak dilakukan bahkan kini MUI yang menjadi batu sandungan utama setelah ormas lain bersusah payah pada tahun 2006 akhirnya mampu merumuskan RUU produk halal tersebut.

    • Terimakasih atas tanggapannya, Pink Hitam, saya apresiasi pendapat Anda. Saya akan coba tanggapi secara parsial pendapat Anda, biar fokus.
      Saya juga setuju, Amidhan dan Tim MUI menggugat ke pengadilan agar semuanya terbuka.

      Tentang sumber anonim, dalam buku “The Rise of Anonymous Sourcing”-nya Bill Kovack ada syarat ketat bagaimana seorang sumber dikutip sebagai anonim, salah satunya dan hal yang utama adalah: “sumber” berada pada lingkaran pertama berita, bisa sebagai pelaku, korban, atau saksi mata.
      Syarat ketat lainnya tidak perlu saya bahas di sini, kita uji dulu yang satu ini.

      Dalam kasus sumber anonim yang saya sebutkan dalam bagian kejanggalan 3, “si sumber” bukanlah berada pada lingkaran pertama, “si sumber” hanya mendengar dari pendapat orang lain. Menurut saya, ini lemah sekali.

      Kemudian dalam bagian kejanggalan 4, “si sumber” hanya disebut sebagai orang dalam, tidak dijelaskan posisinya sebagai apa dalam perusahaan tersebut. Padahal ini penting untuk mengukur seberapa besar tingkat kepercayaan pembaca terhadap “sumber” yang melihat Amidhan menerima gaji rutin US$ 5000. Hanya disebut “kabar dari orang dalam”, bagaimana kalo ternyata “si sumber” tadi juga ngutip pernyataan dari orang lain, atau posisinya bukan erat dengan bagian Keuangan.

      Dalam halaman 37, peran Amidhan dalam HFCE digambarkan oleh Tempo begitu berpengaruh, sampai dikabarkan bahwa kedudukan beliau mengandung konflik kepentingan.
      Kemudian, saya menemukan slide presentasi dari HFCE di sini, lihat halaman 6 dari 29, tentang struktur organisasi yang berhubungan dengan Advisory Board/Group di sana disebutkan bahwa:
      “Its members advise HFCE on a voluntary bases. The advisory group cannot make any decision in the name of HFCE and is not involved in the management of HFCE.”

      Mestinya pembaca diedukasi melalui liputan investigasinya, dengan menunjukkan bahwa kedudukan seorang anggota Advisory Board itu bersifat voluntary, dan tidak berada dalam jajaran internal manajemen, sehingga bukan pengambil keputusan.
      Faktanya malah Amidhan bukanlah anggota Advisory Board, yang oleh Tempo disampaikan kedudukannya di sana mengandung konflik kepentingan.

      Ini baru komentar saya tentang “sumber anonim”.

    • Ivan says:

      Kalo saya baca di majalahnya, sumber anonim itu manajer keuangan sebuah perusahaan halal. Jelas dia sumber di lingkaran dalam karena dia yang mencairkan uang yang kata bosnya untuk menyuap MUI agar perusahaannya tak disuspense. Perusahaan itu msh eksis smp sekarng. So, pasti ia satu dari 6 perusahaan halal di Australia. Tentu dia minta anonim karena kalo terbuka dia bisa ditangkap krn menyuap.

      Soal HFCE. Sepanjang saya ikuti beritanya, bantahan dari HFCE dikirim tepat ktk edisi Tempo terbit oleh staf administrasi, artinya jauh stlh preentasi itu sendiri dibuat. Ini presentasi oleh HFCE. Artinya mereka membantah dirinya sendiri. Percaya pada yang mana? Soal voluntary, ya, mestinya tak mengubah Amidhan ada di sana. Jelas dong ini konflik kepentingan… Auditor bergabung dg yg diawasinya. Hasilnya, vaksin babi yg dihalalkan itu. Kalo HFCE mau main2 kan mestinya ketahuan sama MUI jika auditnya benar.

    • Tentang sumber anonim.
      Dalam pandangan saya, lingkar pertama itu adalah si bos perusahaan itu, yang diduga menyuap petinggi MUI. Sedangkan si mantan manajer keuangan itu lingkar luar, ia hanya mencairkan dana untuk dibawa bos-nya. Si mantan manajer itu bisa masuk dalam lingkar pertama bila ia sendiri menyaksikan bos-nya menyuap petinggi MUI itu.

      Lain halnya kalau, Tempo mewawancarai langsung si bos dan si bos minta statusnya anonim setelah membuat pengkuan bahwa betul terjadi penyuapan.
      Nyatanya Tempo hanya menggali sumber dari Mouelhy yang infonya didapat dari kasak-kusuk pengusaha-pengusaha halal di Melbourne dan Quensland.
      Mouelhy yang jadi narasumber itu mendengar dari orang lain kisah tentang si mantan manajer itu.

      Lingkar pertama lainnya yaitu Esad yang katanya mengantar si bos bertemu Amidhan, itu gagal di konfirmasi.

      Mouelhy ini termasuk barisan sakit hati karena izinnya tidak disetujui Amidhan dkk. Dari si sakit hati inilah Tempo menuliskan kasak-kasuknya.

      Kalau mau valid beritanya, KEJAR si bos perusahaan itu untuk di wawancarai langsung, bukan dari orang yang kecewa yang berpotensi mengarang cerita.

      Poin berikutnya, masalah halal-haram adalah sangat krusial bagi umat Islam, maka nama perusahaan itu HARUS dibuka ke publik, agar konsumen bisa berhati-hati dengan perusahaan tersebut untuk tidak membeli dagingnya.
      Menanamkan syubhat / keragu-raguan kepada pembaca bukanlah kaidah jurnalistik yang baik.
      Selama nama perusahaan iu tidak dibuka ke publik, maka kisah tersebut bisa dianggap sebagai fiktif.

    • ivan says:

      bagaimana anda menyimpulkan yang diwawancara itu hanya muolhy? saya kok nangkepnya si manajer itu di wawancara dan cerita soal yang ditulis itu…

    • Dari kalimat: “Lewat kasak-kusuk ke pengusaha-pengusaha halal di Melbourne dan Queensland, Mouelhy tahu penyebab izin itu tak turun.”
      Saat penuturan kepada Tempo, si Mouelhy ini cerita tentang Esad, dan kemudian berprasangka bahwa si Esad ini tak rela ada pesaing bisnisnya di Victoria.
      Kemudian menyampaikan unsur kedekatan Esad dg MUI.
      Untuk membuktikan apa yg diomongkannya, si Mouelhy ini meyakinkannya dg memaparkan contoh kasus, maka lahirlah kisah tentang “bekas manajer keuangan perusahaan halal”.

      Yang namanya “bekas” artinya tidak lagi berada di dalam lingkaran organisasi. Besar kemungkinan “bekas manajer” ini menceritakan pengalamannya saat (mau) bergabung dg perusahaannya Mouelhy.
      Janggal rasanya, wartawan kenal seorang narasumber yang berada di luar organisasi/perusahaan.

    • Tanggapan kedua.

      Tentang pernyataan Amidhan yang mengatakan bahwa biaya ke Australia ditanggung APBN, dan kemudian Mouelhy menunjukkan bukti bahwa ia yang menanggung biaya perjalanan, kalau itu menurut berita Tempo saya akui hal tersebut adalah double book, dan itu terlarang dalam aturan keuangan negara.

      Kalau Anda update / gali informasi perkembangan terkini, sebenarnya sudah ada klarifikasinya yaitu meralat pernyataan Amidhan, maklum beliau sudah sepuh, yang beliau ingat audit ke Australia itu adalah ajakan Kementerian Agama, karena itu ia menganggap ini ruang lingkupnya Kemenag, maka saat wawancara beliau asal bilang perjalanan ke sana atas biaya APBN. Lha, beliau khan tinggal terima beres saat perjalanan dinas, karena segala sesuatunya bisa jadi sudah ditangani oleh stafnya.

      Coba simak di sini: http://dutaonline.com/?p=6953

      Saya kutip sebagian:
      Ia mengaku, kunjungan ke Australia dalam rangka menyurvei enam lembaga halal (MUI) yang meminta izin bisa mengeluarkan sertifikat halal adalah kewajiban sebagai lembaga penyertifikasi halal. Itu juga atas ajakan Kementerian Agama (Kemenag) sebagai lembaga pemerintah. “Pokoknya saya pergi ke Australia bersama rombongan Kemenag, soal dibiayai negara (APBN) atau bukan, saya kurang paham,” jelas Amidhan meralat pernyataan dia sebelumnya bahwa kunjungan itu dibaiaya APBN.
      ….
      ….
      Dengan pernyataan Amidhan itu, Mouelhy meminta auditor pemerintah mengusutnya karena kemungkinan Amidhan dan para pejabat itu mendapat uang sangu ganda. Dalam aturanya, MUI menetapkan honor bagi pejabat yang dikirim untuk menyurvei atau mengaudit lembaga halal di luar negeri. Besarnya 115 dollar AS per orang per hari.

      Namun protes dan kecurigaan Mouelhy tersebut menjadi mentah setelah ada penjelasan Najib Anwar, mantan staf Kasubdit Urusan Agama Kemenag, salah satu yang ikut serta ke Australia, Kamis (27/2). Najib membenarkan kepergian rombongan MUI dan Kemenag ke Australia dibiayai lembaga halal (MUI) Australia. Semua biaya operasional ditanggung oleh lembaga tersebut.
      …..
      Najib menjelaskan, karena undangan dirasa penting untuk melakukan survei kehalalan, pihaknya memutuskan ikut andil pergi ke Australia guna memastikan tata cara dan kehalalan produk makanan dan minuman di sana.

      Demikian …
      Sebenarnya mudah untuk kroscek, tinggal periksa realisasi belanja negara di tahun 2006 apakah ada pengeluaran untuk perjalanan dinas ke Australia.

      Kalau niatnya adalah laporan investigasi, ya Tempo seharusnya memuat pernyataan Jumpa Pers yang dilakukan MUI dan Kemenag pada tanggal 27 Feb 2014, juga kroscek ke realiasi APBN 2006.

    • pintoil123 says:

      saya suka komen anda,jadi sekarang baru tahu kalo MUI ternyata swasta, sebelumnya saya kira lembaga resmi negara

    • Bukan, mas. Kalo swasta itu orientasinya profit.
      Yang tepat MUI itu organisasi LSM yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
      Kalo LPPOM MUI itu lembaga khusus yang diberi kewenangan untuk mengaudit dan memberikan sertifikasi halal.

    • murwito says:

      waduh mas iwan… jangan membabi buta dalam membuat benteng untuk MUI….sebagian dari kita yang melek ini ‘tahu’ hanya tidak bereaksi… kasus utamanya adalah kalau UU halal diketok makam MUI tidak lagi punya hak… lha terus apa MUI punya sumber pemasukan? ada sih tapi tidak buesaaaarrr…. tapi ya sutralah selamat membangun benteng untuk MUI…

  37. Andri Haryono says:

    Reblogged this on Mencoba Berkarya dengan Menulis and commented:
    berita pengimbang info di TEMPO, menurut Saya pribadi..majalah ini kok semakin lama semakin ga valid beritanya..

  38. Aviva Lyla says:

    Dalam dunia yang bebas, yang menjadi MONSTER PENINDAS adalah media massa.

  39. Karida says:

    Reblogged this on Nafiul's Record and commented:
    wah. wah, yang beginian nieh yg harus diluruskan, selurus2nya….

  40. Shalahuddin Ahmad says:

    tempo dulu sih masih percaya, sekarang tidak lagi percaya dengan majalah yang lebih mirip tabloid gosip murahan

  41. lina says:

    mungkin ini tujuannya, semoga MUI tetap amanah dan tidak digantikan oleh lembaga yang mengkomersilkan agama
    http://koran.tempo.co/konten/2014/03/01/336138/Menteri-Kesehatan-Usulkan-Badan-Label-Halal

    • Semoga MUI tetap amanah.
      Sikap saya jelas di bagian akhir tulisan, kalau memang terbukti orang MUI yang bersalah, proseslah secara hukum pidana, jangan mengorbankan LPPOM-nya.

      Bu Nafsiah Mboi harus belajar lebih dalam lagi tentang hukum Islam sebelum mengeluarkan usul yang justru mengandung mudharat.
      Kita patut untuk terus mempertanyakan komitmen kemenkes dalam menerbitkan produk obat-obatan yang aman dikonsumsi masyarakat.

      Sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah ini berbahaya, apalagi kalau ada unsur bagian pendapatan negara. Pendapatan negara fokus dari pajak saja, jangan melalui PNBP.

  42. heuncet says:

    jauh jauh ke luar negri, coba tanya jagal sapi di LOTTEMART bagaimana cara mereka memisahkan nyawa sama raga nya !

  43. mhilal says:

    Satu lagi, mas. Gonjang-ganjing label halal di beberapa media itu membuat saya insaf perihal beberapa hal.
    Saya setuju, konsumen harus tahu bahwa makanan yg dia konsumsi itu terjamin kehalalannya. Label halal kan tujuannya untuk itu. Namun pelabelan halal itu apakah harus dikomersilkan? Itu saya keberatan sekali. Untuk itu, transparasi diperlukan di sini. 🙂

    Lbh dari itu, tulisan mas Iwan selalu mencerahkan.

    • Shadi says:

      Setahu saya sampai saat ini tdk ada komersialisasi label halal, MUI hanya mengeluarkan Sertifikat halal, dari sertifikat yg diperoleh itulah perusahaan mencantumkan lebel halal yang sudah ditentukan bentuknya oleh LPPOM-MUI. sebelum menuduh mengkomersilkan label halal, sebaiknya pelajari dulu bagaimana mekanisme pengurusan sertifikat halal di LPPOM-MUI. berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan kecil, sedang atau besar. setahu saya tidak sama karena diperlakukan subsidi silang. dan apa saja kewajiban perusahaan pemohon sertifikasi halal, selain biaya administrasi pendaftaran. Apakah perusahaan anda pernah melakukan pengurusan sertifikasi halal/

  44. danirachmat says:

    Maturnuwun Mas Iwan, semoga saja kita akan selalu mendapatkan bapak/ibu di MUI yang amanah.

    • Mas Dani, sudah 2 minggu lebih saya selalu gagal menulis komentar di blog-blog wordpress yang sudah dot com, termasuk blognya mas Dani. Ini aneh, kenapa bisa begitu ya?
      Saya coba pakai internet kantor gagal. Dicoba pakai modem mobile juga gagal. Ntar malam deh saya coba pakai internet rumah.

    • danirachmat says:

      Waaah, kenapa ya Mas. Saya juga kurang tahu, semoga bisa ya Mas. *lulusan IT yang gak berguna ilmu ITnya saya ini..

  45. nengwie says:

    Ngga bisa komentar mas Iwan, hanya prihatin saja bacanya 😦

  46. lazione budy says:

    Tempo udah jatuh, keseringan kena kasus.

  47. Faraziyya says:

    Udah ga ngerti lagi sama tingkah Tempo. Sigh.

  48. Dyah Sujiati says:

    Sepertinya Tempo memang ingin sekali merusak dan menyakiti umat Islam. Edisi sebelumnya membuka blak-blakan soal Bu Risma dan PDIP. Saya jadi curiga, edisi sebelumnya itu ‘guna membayar’ edisi kali ini. Edisi kali ini penuh sumber yang nggak jelas dan sangat mendeskreditkan MUI. Dengan blak-blakannya edisi sebelumnya setidaknya bisa dipakai untuk ‘pencitraan’ Tempo jujur sehingga orang akan mudah percaya pada penyesatan opini yang dibentuk dalam edisi kali ini. Betul nggak nih dugaan saya? Tolong donk kalau ada orang Tempo yang baca pertanyaan ini, dijawab donk?

    Dan sebagai tambahan, karena media lain juga banyak meliput soal Bu Risma dan PDIP, jadi akan susah sendiri si Tempo kalau mau bikin berita yang aneh.

  49. karna MUI mengeluarkan fatwa haram Sepilis,, sdangkan tempo di sisi lain sebagai penerjemah kemauan dari pihak2 sepilis

    disini ketemu dah yg namanya Mahallun Niza’ (titik seteru)-nya

    jadi pasti tempo bakalan cari2 kejelekan MUI biar masayarakat gak percaya sama fatwa MUI lagi

  50. sutadi says:

    Pemerintah (Kementerian Agama) seharusnya fokus sbg regulator yg salah satu tugasnya menetapkan kreteria halal tdk perlu ikutan merangkap sebagai operator dan memberikan sertifikat HALAL.MUI & juga lembaga yg telah mendapat akriditasi dari Pemerintah dpt memberi sertifikat HALAL.Pendapatan negara fokus dari pajak saja jgn melalui PNBP,krn rawan korupsi. Semoga pemerintah cepat sadar dan kembali ke fungsinya sebagai regulator.,pengawasan & pembinaan.

  51. I.S. Siregar says:

    Tempo sekarang tak sejujur Tempo yang dahulu… harus punya filter untuk mengkonsumsi tulisannya

  52. katacamar says:

    ijin share ya pak ..

    • wiwik says:

      Aslm. sebenarnya bagaimana proses sampai produk itu dinyatakan halal oleh MUI?

      ini cerita pengalaman saja:
      saya tinggal di Bali, dan di depan warung makan ibu saya ada yg menjual ayam goreng (frenchise). di frenchisenya sendiri sih sdh mendapatkan label halal dari MUI (terlihat dr logonya yg menempel di gerobaknya). kebetulan yg menjual memang berkerudung, cuma ternyata yg punya frenchisenya bkn si Mbak yg berkerudung tp nonmuslim. si Mbak hanya karyawan saja di sana. pemotongan ayamnya jg dilakukan sendiri oleh si pemilik. secara otomatis kan proses penyembelihan tersebut tidak menyebut nama Allah. nah, bagaimana ini tentang keabsahan logo halalnya MUI yg sdh menempel di gerobak frenchise tsb. dan banyak sekali muslim yg terkecoh dan membeli produk tersebut karena melihat logo halalnya MUI.

    • Wa’alaikumsalam.
      Terimakasih atas sharingnya, mbak Wiwik, tapi maaf, saya masih belum bisa memberikan jawaban akurat, karena payung hukumnya belum disahkan, yaitu UU Jaminan Produk Halal.
      RUU tersebut hingga kini masih digodok serius, draft-nya bisa mbak Wiwik baca di sini:
      http://www.dpr.go.id/id/ruu/kesejahteraan-rakyat/Komisi8/161/RUU-Jaminan-Produk-Halal

      Idealnya setiap franchisee memiliki sertifikat halal, bukan hanya franchisor saja.
      Namun demikian, bila masih ragu-ragu sebaiknya tinggalkan, untuk menghindari syubhat.

    • Nurul says:

      Kadang ada pelaku yang bermain curang dengan “ngaku-ngaku” pasang label halal MUI. Di Indonesia pun, saya rasa untuk penindakan terhadap pelaku curang belum terlalu tegas. Belum ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaan logo halal. Dan itu sudah diluar ranah MUI karena yang hanya punya wewenang dalam memberikan sangsi adalah pemerintah. Bukan lembaga ormas seperti MUI.

Mari Berdiskusi dan Berbagi Inspirasi. Terimakasih.

Let me share my passion

””

My passion is to pursue and share the knowledge of how we work better with our strengthen.
The passion is so strong it can do so much wonder for Indonesia.

Fight For Freedom!
Iwan Yuliyanto

Kantor Berita Umat

RSS Seruji | Kantor Berita Umat

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.