Home » Indonesia Crisis » Neurosis Massal – Ketika Kewarasan Dianggap Sesat

Neurosis Massal – Ketika Kewarasan Dianggap Sesat

Blog Stats

  • 2,305,417

PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Lisensi Creative Commons

Adab Merujuk:
Boleh menyebarluaskan isi blog ini dengan menyebutkan alamat sumber, dan tidak mengubah makna isi serta tidak untuk tujuan komersial kecuali dengan seizin penulis.
=====
Plagiarisme adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan intelektual kita bersama.

Follow me on Twitter

Bila Anda merasa blog ini bermanfaat, silakan masukkan alamat email Anda untuk selalu mendapat artikel terbaru yang dikirim melalui email.

Join 6,365 other subscribers
“Neurosis Massal, dimana Reaksi Abnormal terhadap situasi Abnormal merupakan tingkah laku yang dianggap Normal”
[Dwi Estiningsih, psikolog]

.

Bismillah …

Entah apa yang terjadi, saat pemilu mayoritas kita mendadak lupa, apakah karena terbius kampanye, tersihir opini media dan bungkus-bungkus penokohan? Yang pada akhirnya terperosok lagi dalam kesengsaraan berkepanjangan, seakan-akan tidak pernah belajar dari kesalahan – kesalahan sebelumnya. Kini, kita berpotensi terperosok lagi karena tanpa sadar selalu menggelar karpet merah pada setiap keburukan di negeri ini. Lihat saja …

  • Anak bangsa yang berprestasi dihina, justru yang pencitraan minim karya dielu-elukan bak nabi.
  • Partai dengan kader-kadernya paling disiplin di DPR dibully, partai paling rajin bolos dipuja-puji dan dipilih lagi. [Rapor wakil rakyat di Mata Najwa]
  • Partai paling bersih dibully habis-habisan, dianggap paling korup bahkan diwacanakan untuk dibubarkan, NAMUN 3 besar partai pemenang pemilu yang memonopoli hampir 70% kasus korupsi dan merugikan negara trilyunan justru dibela habis-habisan. [Jawara Partai Korupsi]
  • Partai pejuang, anak kandung reformasi dihujat, sedangkan partai yang hobi menjual aset negara dipilih lagi.

  • Saat kampanye, partai dengan kampanye cerdas, tertib dan santun diberi sanksi administratif, namun justru partai dengan kampanye adegan erotis di hadapan anak-anak dan urakan dibiarkan oleh Bawaslu.
  • Saat kampanye, partai yang bisa tertib dan bersih dihujat, partai yang membuat banyak pelanggaran dan bikin sampah dipuja – puja dan dipilih.

Sepanjang 5 tahun semua orang merasakan keterpurukan kemudian mencacinya, mengeluh harga BBM naik tinggi, harga listrik naik, korupsi merajalela. Tapi kemudian pas pemilu, biang kerok keterpurukan itu dipuja, dibela dan dianggapnya sebagai penyelamat bangsa, untuk kemudian dipilih lagi.
Ada apa dengan logika kebanyakan kita?
Sesuatu yang tidak masuk akal, kok bisa hal yang demikian terjadi berulang-ulang. Sungguh perilaku bangsa yang sakit. Kita benar-benar berada dalam kondisi kesakitan massal (mass neurosis). Di tengah-tengah kesakitan massal, kewarasan justru dianggap sesat.

Apa penyebab terjadinya neurosis massal?
Siapa yang bertanggung jawab?
Dan bagaimana solusinya agar memutus penyakit jiwa yang mengidap bangsa ini?
Simak kuliah twitter (kultwit) dari seorang psikolog, ibu Dwi Estiningsih, di bawah ini.

Selamat menyimak dan semoga bermanfaat.

Salam hangat tetap semangat,
Iwan Yuliyanto
01.04.2014.

————————————

NEUROSIS MASSAL
by Rr. Dwi Estiningsih, S.Psi., M.Psi.
[1] | 31 Maret 2014

Ini tentang masyarakat kita, yang sering saya katakan bahwa masyarakat kita ini “Semaput” (pingsan).

Orang yang dapat memaknai hidupnya maka ia akan menjalani kehidupan intelektual yang kaya, batin yang teduh, dan spiritual yang bebas. Upaya mencari makna hidup adalah motivator utama dalam hidup, seseorang akan melihat penderitaan sebagai penyempurna kehidupan. Kalau tidak mampu memahami makna hidup, lantas apa yang terjadi? Frustasi Eksistensial!

Frustasi eksistensial pada seseorang terjadi ketika ia tidak memahami tujuan keberadaannya di dunia dan cara menghadapi kehidupan. Frustasi eksistensial biasanya dipicu oleh keinginan seseorang untuk mencari kesuksesan dalam hidupnya. Padahal kesuksesan tidak dapat dikejar, hanya ada pada seseorang yang mempunyai dedikasi untuk menjadi seseorang yang lebih bermakna.

Jadi masyarakat yang tidak memahami hak-haknya. Saat tidak menyadari hak sendiri, bagaimana bisa memahami hak orang lain?
Jadi masyarakat yang tidak memahami kewajibannya. Saat tidak menyadari kewajiban sendiri, bagaimana bisa memahami kewajiban orang lain?
Dianggapnya kebahagiaan dan keberhasilan itu akan didapat / datang sendiri mesti tidak dikejar. Kondisi masyarakat seperti ini telah mengalami Frustasi Eksistensial.

Psikologi Frustasi Eksistensial Massal
Frustasi eksistensial dapat menyebabkan neurosis (gangguan jiwa ringan). Neurosis ini timbul karena ketidakmampuan seseorang memaknai permasalahan kehidupan. Masyarakat kita sedang mengalami Neurosis Massal karena tidak dapat memaknai kehidupan. Mayoritas Politikus dan Penguasa juga ikut serta mengalami Neurosis Massal ini.

Masyarakat Neurosis kita akhirnya mengambil langkah-langkah irasional dalam hidupnya. Seperti yang sudah dijelaskan kang Mustofa Nahra dan kang Hafidz Ary:

“Reaksi Abnormal terhadap situasi Abnormal merupakan tingkah laku yang dianggap NORMAL”. Kondisi ini ~Neurosis Massal~ Justru menjadi kesempatan pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan. Jadi jangan heran bila nanti yang diminati masyarakat justru sesuatu yang ABNORMAL.
Misalnya:
“Kan dia sudah mengembalikan yang 11 miliar yang ditilep itu, kok masih dipermasalahkan” ~ sebuah obrolan angkringan di Yogya.
“Ijazah itu kan formalitas, yang penting pengabdian kan, yo ra, dab[3] ~ sebuah obrolan menyedihkan di pos ronda.
“Sama perempuan yang malam itu kan dia tidak serius, yang penting istrinya satu kan” ~ Obrolan aneh di suatu rumah makan.
“Kalau sama rakyat kan dekat dia itu, gak ada boneka-boneka, itu gak bener” ~ Diskusi ngawur di salah satu kampus Yogya.
Kan??
Yang jelas jelas koruptor, penipu, tukang selingkuh, dan lain-lain, malah dipuja-puja. Ini disebut kondisi Frustasi Eksistensial Massal menuju Neurosis Massal.

Masyarakat yang terkena gangguan jiwa ringan (neurosis) ini cenderung suka yang ABNORMAL. Kalau kita hubungkan kenyataan masyarakat kita dengan yang baru hangat sekarang, yaitu pemilu 2014, apa yang mungkin terjadi pada masyarakat neurosis ini?
“Caleg penipu malah bisa laku, bu?” | Betul. Masyarakat yang mengalami neurosis suka yang ABNORMAL.
“Capres boneka malah dipuja-puja, bu?” | Betul. Masyarakat yang mengalami neurosis cinta yang ABNORMAL.
“Partai yang paling tidak sehat bisa panen raya?” | Betul. Masyarakat yang mengalami neurosis tergila-gila yang ABNORMAL.
Cukup modal pasang baliho-baliho, spanduk-spanduk besar, iklan-iklan durasi milyaran, itu sudah dianggap tokoh besar oleh masyarakat.
Politikus yang tidak turun langsung ke masyarakat, gitu saja masyarakat sudah tertipu, apalagi kalau ada adegan blusukan yang disiarkan televisi.
Nah, apakah Anda tidak sedih dengan ini?
Astaghfirullahal’adziim.. seharusnya dada panjenengan[2] semua terasa perih!!!
Dari sisi profesi saya sebagai psikolog, masyarakat perlu disembuhkan. Bukan dimanfaatkan sakitnya (neurosis – gangguan jiwa ringan).

Siapa yang bertanggung jawab terhadap Neurosis Massal?

  • Pertama : KELUARGA
  • Kedua : TEMPAT IBADAH
  • Ketiga : SEKOLAH
  • Keempat : TEMPAT HIBURAN
  • Kelima : PASAR
  • Keenam : RUMAH SAKIT
  • Ketujuh : BIROKRASI
  • Kedelapan : MILITER
  • Kesembilan : PENJARA
  • Kesepuluh : MEDIA MASSA

Bila dibahas satu persatu bisa jadi buku ini, saya contohkan beberapa saja.

Keluarga.
Kita lihat tipe keluarga di Indonesia, umumnya kurang komunikasi antar anggota keluarga. Komunikasi non verbal mendominasi pola komunikasi keluarga di Indonesia. Banyakkah orangtua yang “menegur” anaknya dengan lemah lembut disertai pelukan kasih seperti dicontohkan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam?

Rumah sakit.
Seringkali menyelesaikan masalah tanpa menyudahi AKAR masalah. Tanpa menafikkan keikhlasan para praktisi kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan lain-lain) yang tulus. Contoh keluhan pusing, biasanya alurnya seperti ini: Pasien datang ~ Pusing ~ Kasih obat ~ Selesai ~ Pulang.
Bagaimana bila pusingnya karena masalah keluarga / pekerjaan (stres)?
Bagaimana bila pusingnya karena pola makan tidak sehat? pola kerja? dan lain-lain.
Sahabat saya pernah bercerita: doesn’t really listen much to his patients and only gives them about 3 seconds of his time ~ typical of many docters.

Sekolah.
Mari kita cari bapak / ibu guru / dosen yang mengajar dan mendidik tanpa mencela? Masih banyakkah?

Media Massa.
Ini yang paling kompleks pada media massa jaman sekarang. Sahabat saya yang mantan wartawan berkisah: Berita itu ada 2 jenis: [1] yang dicari, [2] yang datang sendiri / pesanan (membayar). Kita lihat kenyataan sekarang. Bisakah membedakan mana berita “asli” dan “pesanan” ?

Kembali ke yang hangat sekarang, Pemilu 2014, masyarakat neurosis umumnya kesulitan membedakan mana yang nyata, dan mana yang fana. Masyarakat itu kebanyakan merasa kecil hati.
“Kami tempatnya menderita / sengsara. Dan kami tidak bisa berbuat apa-apa”. Seperti itu umumnya cara masyarakat berpikir.
Lantas ketika ada yang datang dan melempar “BOM” (Rp) itu dianggapnya malaikat. Padahal bantuan itu seharusnya keluar sejak bulan-bulan lalu (bansos misalnya) yang ditahan dulu baru dikeluarkan menjelang pemilu. Saat pemilu seperti ini, masyarakat sulit berharap pada pemimpin. Susah ya susah, miskin ya miskin, rasakan sendiri. Jadi masyarakat yang berkecil hati ini sangat mudah dimanfaatkan.

Ada pengalaman pribadi. Tim sukses saya berujar: “Bu, njenengan[2] itu dapat simpati bukan karena kiprah membina komunitas, tapi karena senyum ibu yang ada di brosur dan kartu nama”
“Astaghfirullah …”
Secara tidak langsung saya ikut serta memanfaatkan masyarakat yang sedang neurosis / sakit / semaput! … Mosok saya harus ikut ngedan (gila) agar komanan (kebagian), nuwun sewu, mboten mawon, mas. Biar saja saya beda ~tekad saya menyembuhkan masyarakat yang lagi neurosis~ mau dicoblos atau tidak, masih ada 116 komunitas warga yang siap dibina. Harusnya dipilih atau tidak, yang datang tetap harus dilayani (misalnya bila ada orang JIL ingin konsultasi keluarga, saya terima).

SOLUSI

Trus gimana solusinya?
Solusi yang pendek dulu. Solusi panjang saya bahas lain kali, nggih … Solusi perbaikan untuk diri sendiri dulu kan ya sebelum ke Neurosis massal.

  1. Sadari kelebihan dan kekurangan. Anda bisa jadi pejuang hebat dalam hidup bila paham kelebihan dan kekurangan diri.
  2. Bila ada problema, tanya ilmu agama yang sudah diwariskan Rasullullah. Bila ilmu agama cuma normatif, tanya ke yang tua, yang ahli dibidangnya.
    “..dan hendaklah kamu bersama orang – orang yang benar.” [QS 9:119]
  3. Dekatlah dengan teman – teman yang jujur. Sebab manusia jujur dapat meningkatkan kualitas hidup sekitarnya. Real-nya, bergabunglah dengan organisasi-organisasi yang merangsang pendewasaan diri dalam kehidupan. Anak remaja bergabunglah ke remaja masjid, emak-emak datangilah pengajian ibu-ibu ahad pagi, ayah ajaklah anak sholat jamaah di masjid. Atau bisa ke organisasi – organisasi yang selalu positif auranya.

Bukannya mau kampanye disini, hanya berkata apa adanya ~Anda dan keluarga mau berubah atau tidak~ menjadi dewasa itu kan pilihan.
Dan yang paling utama dan terutama: Jagalah anak-anak penerus bangsa, jangan sampai mengikuti langkah salah yang tua-tua.
Tapi, bu….. Kids don’t vote! | Biar saja, saya lebih mantep ngurus yang beginian…

Anak-anak ini yang patut diutamakan dalam menyembuhkan masyarakat kita. Saya yakin kepolosan mereka mampu ‘menyembuhkan’ orangtuanya dan sekitarnya.

Demikian…

“… Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. [QS 2:214]

.
———-
1) Rr. Dwi Estiningsih, S.Psi., M.Psi. adalah seorang psikolog jebolan Psikologi UGM dan Magister Psikologi UGM Yogyakarta. Beliau aktif mengelola berbagai organisasi, diantaranya Owner Full day Play group and Baby School “Al Kahfi”, Direktur Biro Konsultasi Psikologi “Winata”, dosen psikologi Stikes Yogyakarta, Ketua Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup Wanita Islam (WI) DIY, Ketua Biro Kebijakan Publik DPD PKS Yogyakarta, dan banyak organisasi lainnya. Beliau adalah Caleg DPRD DI Yogyakarta dari Partai Keadilan Sejahtera.
Twitter: @estiningsihdwi
FB: https://www.facebook.com/EstiningsihDwiPsi
Blog: http://www.dwiestiningsih.com/

2) panjenengan (bahasa Jawa) = Anda.

3) dab (bahasa khas Yogyakarta) = mas.


25 Comments

  1. onits says:

    super bener banget mas..

    pertama, yg paling penting, itu keluarga! ada istilah “kalo anak gak menemukan teman baiknya dalam keluarganya sendiri, maka dia akan mencari teman di luar keluarga, yg belum tentu baik.”

    dan kedua, anak2 di bawah 12 tahun, masa2 emas! di masa inilah yg akan menentukan masa depan mereka. pendidikan untuk masa2 ini, perlu ditanamkan 3 hal: kejujuran, rasa tanggung jawab tinggi, dan rasa percaya diri yg sehat (healthy self esteem). salah satu metode utk yg terakhir adalah bukannya dgn mengumbar pujian ke anak tapi dgn meminta si anak mengevaluasi sendiri apakah hasil karyanya bagus atau tidak, sehingga dia tidak tergantung orang lain untuk meminta pujian (approval seeking).

    salah satu penyebab nerosis masal itu adalah karena kurang perhatian keluarga di masa kecil dan rasa percaya diri yg tidak sehat.
    contohnya.. mudah menuduh orang lain melakukan pencitraan. padahal bisa jadi orang lain itu memang sedang memberi contoh dgn karyanya (leading by example), sementara rasa iri akibat tidak punya karya membuat orang mudah menuduh. padahal, setiap orang bisa berkarya sekecil apapun. lakukan apa yg kita suka, selama niatnya baik maka dgn ijin tuhan akan membawa manfaat (yg kadang tidak kita duga bisa membawa kebaikan pada orang banyak).

    karena nerosisnya masal, penyebabnya juga masal. alias banyak keluarga yg kurang erat hubungannya, dan banyak guru yg kurang baik cara mendidiknya. kalo yg pertama adalah tanggungjawab diri masing2 (introspeksi diri sebelum berani berkeluarga), maka yg kedua adalah tanggungjawab pemerintah (mendidik dan menghargai guru dgn layak).

  2. vilani59 says:

    Ijin sharing ya, mas

  3. Sangat ngeri membaca tulisan di atas. Tugas orang tua akan menjadi lebih sulit di masa yang akan datang karena semaki gencarnya arus abnormalitas mengepung anak cucu kita. Hanya pada Allah SWT kita meminta tolong dan senantiasa menambah ilmu agar tidak terjebak dalam arus tersebut

    • Betul sekali, bunda Nunung Nurbaeti.

      Ada sebuah do’a yang perlu kita amalkan:
      “Allahuma arina al-haqqo haqqo warzuna itibaah wa arina al-batila batila warzuqna ijtinabah.”

      Berapa banyak orang yang matanya tertutup, tidak bisa membedakan kebenaran dan kebatilan, sehingga yang benar menjadi batil dan yang batil menjadi benar. Apalagi pada zaman sekarang ini, di sinilah kita berdoa semoga mereka yang membalikan kebatilan menjadi kebenaran atau pun sebaliknya diberi petunjuk.

  4. Ketika membaca tulisan ini dan sampai pada kata ABNORMAL, langsung saya merinding. Karena yang terlintas dalam otak saya, keABNORMALan itu menjadi normal pada kalangan LGBT. Bagaimana nasib masa depan anak cucu saya nanti…

    • Saking dianggapnya normal, para aktivis-nya mencoba (bahkan ada yg sudah) masuk ke parlemen berjuang lewat si merah, demi memperjuangkan komitmennya, ini salah satu pertemuannya [Arus Pelang].

      Masyarakat pun ditipu dengan bungkus sosok capres yang kelihatan humanis, sehingga tidak peduli dengan barisan kader di dalamnya yang siap menghalalkan hukum-hukum yang telah diharamkan Allah.

    • Nah… itu, Pak. Masyarakat memang perlu dipahamkan mengapa kita tidak boleh GOLPUT. Kalau sampai si merah ‘berkuasa’, saya khawatir pernikahan sejenis menjadi legal. Na’udzubillah…

      NB : Saya benar-benar sangat trauma dengan istilah-istilah dalam LGBT itu (walaupun hanya pada taraf crossdresser)…

    • Ahmad says:

      Tahun 2019 nanti, ketika pilpres dibuat serentak dengan pileg, mungkin situasinya agak beda. Andai sekarang 2019, orang bisa memilih Jokowi tanpa harus memilih PDI Perjuangan.

      Sekarang, nampaknya kita akan mengulang sejarah 1999. Tragis.

  5. j4uharry says:

    izin sebarkan ya Pak Iwan

  6. Seorang yg baik tentu bersahabat dengan orang baik. Begitu juga sebaliknya. Perilaku seseorang jadi “Cermin” bagi Sahabatnya.
    Definisi sahabat ala Rasulullah lebih tepat. Jadikan mereka sahabat yang mempunyai ciri-ciri di bawah ini agar terhindar dari neurosis massal.

    Sumber: @estiningsihdwi

  7. salah satu sifat orang Indonesia: cepat lupa dan cepat memaafkan. Tapi untuk kasus yang “nomor 3” itu memang saya lihat ada unsur sentimen. Perang media memang maya, tapi bisa mempengaruhi opini orang banyak.

  8. bimosaurus says:

    Menurut saya lho ya mas. Lha wong ada kata-kata seorang ulama besar yang bengatakan:”suatu ketika orang berucap tahlil dianggap sebagai orang gila”

    Pada akhirnya dunia ini memang hanya menang klaim-klaiman. Tapi masyarakat itu tahu lho, siapa yang hanya butuh menang omong, dan siapa yang butuh kenyataannya seperti apa. Apalagi media sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Termasuk media sosial dan blog. Dalam konteks saling berkubu, tentu semua merasa butuh merasa dibela, menang dan benar. Terlebih berbicara di masa pemilu, apapun akan salah mas! Jangankan bicara tentang partai. Lha wong mobil bercat tertentu saja bisa dianggap tidak netral lagi.

    Kalau saya mas, sebenarnya kita tidak lagi butuh menang bicara atau beradu opini. Siapapun berdebat dengan saya, berhak merasa menang omong, sekalipun di dalam hatinya telah tersimpan misi yang saya sampaikan, dan dia kelak justru yang akan menyampaikan ke orang lain, selama kita beradu opini atas dasar keyakinan kita…

    • Insya Allah, saya menangkap apa yang mas Bimo maksudkan.

      Pada dasarnya, setiap jalinan sosial itu lebih baik bila dilandasi semangat QS Al-Ashr, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kebaikan
      .
      Kalaupun ada yang berbeda pendapat, maka mari sikapi dengan niat memperkaya pandangan, sehingga tetap terjaga ukhuwah dalam suasana yang dinamis. Perbedaan pendapat itu biasanya karena faktor kualitas informasi yang diterima masing-masing pihak.
      Juga faktor: prinsip, sebab ada lho yang jelas-jelas menerima informasi yang benar, namun karena prinsip atau idealismenya berbeda ia menutup mata atas kebenaran itu. Yang seperti ini hidayah sulit masuk, juga penerimaan terhadap pendapat orang lain.

  9. Dyah Sujiati says:

    Bangsa yang sakit akan melahirkan kenyataan yang pahit.
    Ketika partai yang didamba korupsi bertriliun-triliun -> ah itu hanya dibesar-besarkan berita. Dia kan partai baru dan langsung memenangkan pemilu. Siapa yang nggak iri? Maklum lah kalau beritanya begitu.

    Tapi ketika partai yang bersih dan baru DIDUGA korupsi –> ya ampun! Sapi aja dikorupsi! Bagaimana dengan yang lain?! Itu yang ketahuan? Baru sapi! Lainnya?! Gembar gembor agama kelakuan busuk!

    –> obrolan ramai di warung kopi

  10. rinisyuk24 says:

    Bagaimana nasib anak cucu kita kelak ya kalau ketidakwarasan ini terus berlangsung.

    • Terus saja ikhtiar maksimal meski hasilnya belum kelihatan sampai saat ini, sebab bisa menikmati prosesnya (meski pahit) itu sungguh suatu karunia.

      Setiap zaman itu pasti ada tantangannya, dan kita berhutang kepada generasi berikutnya untuk mengajarkan kebaikan. Kelak hal itu akan dimintai pertanggung-jawaban dihadapan-Nya.

    • titantitin says:

      “Setiap zaman itu pasti ada tantangannya, dan kita berhutang kepada generasi berikutnya untuk mengajarkan kebaikan. Kelak hal itu akan dimintai pertanggung-jawaban dihadapan-Nya.”

      ..suka banget kalimat itu. ^^

  11. Ahmad says:

    Indonesia hebat!?

  12. jampang says:

    sesuatu yang salah, tapi menjadi kebiasaan, jadinya dianggap normal.

Mari Berdiskusi dan Berbagi Inspirasi. Terimakasih.

Let me share my passion

””

My passion is to pursue and share the knowledge of how we work better with our strengthen.
The passion is so strong it can do so much wonder for Indonesia.

Fight For Freedom!
Iwan Yuliyanto

Kantor Berita Umat