Home » Amazing People » Pelajaran Romantisme dari Bung Tomo dan Sulistina

Pelajaran Romantisme dari Bung Tomo dan Sulistina

Blog Stats

  • 2,305,417

PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Lisensi Creative Commons

Adab Merujuk:
Boleh menyebarluaskan isi blog ini dengan menyebutkan alamat sumber, dan tidak mengubah makna isi serta tidak untuk tujuan komersial kecuali dengan seizin penulis.
=====
Plagiarisme adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan intelektual kita bersama.

Follow me on Twitter

Bila Anda merasa blog ini bermanfaat, silakan masukkan alamat email Anda untuk selalu mendapat artikel terbaru yang dikirim melalui email.

Join 6,365 other subscribers

Bismillah …

Bung Tomo, tokoh penting di balik pertempuran 10 November 1945 memang belum diakui negara sebagai pahlawan nasional. Namun, di mata istrinya, Sulistina, pejuang yang membakar semangat arek-arek Surabaya itu bukan hanya dianggap sebagai “pahlawan keluarga” tapi juga sosok yang romantis.

Sulistina sudah mempersembahkan empat buku untuk menunjukkan cintanya kepada suami. Di tengah usianya yang makin uzur itu, dia masih bersemangat untuk mempersiapkan buku kelima. Energi apa yang mendorong dia untuk tetap menulis?

Silakan disimak story box di Jawapos yang mudah-mudah bermanfaat bagi kita semua yang sedang belajar romantis untuk tetap setia sampai akhir kepada pasangan hidup. Just relax…

Jawapos edisi 12-Nov-07 dan 13-Nov-07:.
Sulistina, Istri Bung Tomo yang Tetap Energik di Usia 82 Tahun Mampu Salin Surat Suami Sepanjang 15 Meter ke Laptop

Imam Saffir-Rendy R., Bogor

SULISTINA masih tampak cantik di usia senja. Pandangan matanya juga masih normal. Bahkan, jari jemarinya masih lancar memejet tuts tuts di keyboard laptop yang untuk orang seusianya butuh penglihatan ekstra. Saat ditemui Radar Bogor (Jawa Pos Group) di rumahnya yang asri di perumahan elite di kawasan Kota Wisata, Cibubur, Bogor, dengan bangga Sulistina memamerkan buku berjudul “Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan.”

Buku itu adalah hasil kumpulan surat-surat Sutomo -nama panjang Bung Tomo – yang dikumpulkan Sulistina selama puluhan tahun. “Saya menyalin sendiri tulisan-tulisan itu dengan laptop saya,” kata Sulis, panggilan akrabnya, yang 25 Oktober lalu genap berusia 82 tahun.

Ibu empat anak dan nenek dari 12 cucu itu kini mengisi hari-harinya dengan berkebun di alam Bogor yang sejuk. Tangannya masih kuat memegang gunting dan cetok tanah. Seperti yang dilihat Radar Bogor, dia masih bisa tangkas menusuk sedotan ke air kemasan gelas yang ada di hadapannya.

Sulis mengenal Bung Tomo pada masa pergolakan revolusi. Saat itu, dia -yang tercatat sebagai anggota PMI cabang Malang-sedang ditugasi kantornya ke Surabaya. Di kota itulah, gadis kelahiran kota dingin Malang itu bertemu Bung Tomo yang usianya lebih tua lima tahun.

Menurut Sulis, saat itu tidak banyak lelaki yang berani mendekatinya. Namun, pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya, yang disebut Mas Tomo itu-lah yang berani mendekatinya. “Bahkan ia berani menyatakan cintanya kepada saya. Dari sana saya menyadari bahwa di balik sosok Mas Tomo yang keras, juga memiliki sisi romantis” kata Sulis yang saat itu ditemani anak sulungnya, Tien Sulistami, dan cucunya yang baru lulus Jurusan Arsitektur UI.

Meski mereka resmi sudah memadu kasih sejak Januari 1946, namun karena kota Surabaya masih dikuasai tentara Sekutu, mereka pun bertemu secara sembunyi-sembunyi. Bung Tomo yang dikenal sebagai pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) saat itu merupakan salah satu tokoh yang diincar oleh tentara sekutu. Pada 19 Juni 1947 pasangan itu memutuskan untuk menikah di kota Malang.

Di bawah tekanan hidup di awal kemerdekaan yang serba susah, termasuk posisi Bung Tomo yang masih “diburu” Sekutu, pasangan muda itu memutuskan pindah ke kota Malang. Di kota dingin itu, Sulis mengaku bahagia kendati kehidupan ekonominya sangat berat. “Saya sampai harus gali lobang tutup lobang. Tapi, yang saya salut Bung Tomo tidak mau menyerah menghadapi kenyataan yang berat itu,” katanya.

Meski kejadiannya sudah lebih lebih setengah abad lalu, Sulis masih bisa mengingat secara tepat tanggal-tanggal yang dianggapnya sangat istimewa. Dia ingat betul kapan Bung Tomo menyatakan cintanya hingga peristiwa-peristiwa politik yang menimpa suami, termasuk saat Bung Tomo meninggal saat naik haji pada 1981.

Di mata Sulis, sosok Bung Tomo adalah seorang pribadi yang memiliki jiwa ksatria, pemberani, dan romantis. Di bawah berbagai tekanan yang dialaminya, Bung Tomo selalu mencurahkan isi hati kepada keluarga melalui puisi dan surat-surat cintanya di balik kamar tahanan. Karena merasa surat-surat itu sangat berharga, wanita itu mengumpulan kumpulan surat yang didokumentasikan melalui buku yang disusunnya. “Jika dihitung-hitung jumlahnya ratusan. Bahkan kalau diukur panjangnya bisa mencapai 15 meter,” katanya.

Seperempat abad lebih setelah kematian Bung Tomo di tanah suci Makkah pada 1981, cinta Sulistina kepada sang suami seperti tak pernah pupus. Bahkan, sampai hari ini pun, wanita kelahiran Malang itu mengaku masih terkenang dengan si Bung yang disebutnya sebagai “perayu ulung” itu.

Banyak cara orang mengungkapkan rasa cinta kepada pasangannya. Namun, Sulistina memilih membuat buku. “Saya sedang mempersiapkan buku kumpulan sajak-sajak Bung Tomo,” kata Sulis, panggilan akrab Sulistina, kepada Radar Bogor (Grup Jawa Pos).

Menurut Sulis, buku adalah persembahan cinta terbaik bagi suami. Sebab, dengan menulis, jiwa dan pikiran Bung Tomo tidak hanya bisa dibaca oleh anak keturunannya, tapi juga publik secara luas.

Sulistina belum bisa memastikan kapan buku kumpulan sajak Bung Tomo itu terbit. Yang jelas, wanita yang bulan lalu merayakan ulang tahun ke-82 itu masih bersemangat menerbitkan sajak-sajak suaminya yang dikumpulkan selama puluhan tahun itu. “Kalau buku itu terbit, ini jadi buku saya yang kelima,” kata ibu empat anak itu dengan bangga.

Buku pertama yang ditulis Sulis berisi kumpulan karangan Bung Tomo; kedua berjudul Bung Tomo, Suamiku (Pustaka Sinar Harapan, 1995); ketiga, Bung Tomo Vokalis DPR 1956-1959 (Yayasan Bung Tomo, 1998); keempat, Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen Pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan.

Buku terakhir yang beredar pada 2006 itu, kata Sulis, diselesaikannya dalam waktu dua tahun. Dia tidak menyangka buku itu mencatat best seller. Padahal, dia berpikir untuk mengumpulkan surat-surat cinta dan dokumentasi pribadi itu secara tak senagaja. Yakni, usai mengikuti pertemuan para veteran di Jakarta pada 2004. Acara tersebut mengusung tema pengaruh surat cinta. Salah satunya adalah surat cinta Sulis kepada Bung Tomo yang dibacakan budayawan tersohor Taufik Ismail. Taufik membawakan puisi tersebut dengan syahdu hingga orang yang hadir, termasuk Sulis, terpana. Dia mulai menyadari arti penting surat-surat yang ditulis Bung Tomo yang disimpannya secara apik selama puluhan tahun.

Bung Tomo yang suaranya menggelegar membangkitkan perlawanan arek-arek Surabaya pada pertempuran 10 November 1945, kata Sulis, adalah sosok yang romantis. Dengan mengandalkan laptop milik cucunya, Tami Rahmilawati, Sulis mengetik ulang sajak-sajak romantis yang ditulis pada 1951-1971 itu dengan penuh emosi siang dan malam. “Dalam sehari, saya bisa menyelesaikan lima surat,” kata wanita yang pandai berbahasa Belanda itu.

Selain surat cinta, buku itu juga memuat surat-surat Bung Tomo selama masa tahanan rezim Orde Baru pada 1977-1978. Saat itu, suaminya ditahan di Penjara Nirbaya, di kawasan Pondok Gede, Jakarta. Bung Tomo adalah sosok yang kritis kepada rezim Soekarno maupun Soeharto. Akibat sikapnya itu, Bung Tomo oleh Orde Lama maupun Orde Baru diasingkan secara politik, bahkan dibui.

Dari ratusan pucuk surat dan puisi romantis Bung Tomo, ada beberapa yang paling membuat Sulis terharu. Salah satunya adalah puisi cinta berjudul Melati Putih, Pujaan Abadi Hatiku. Puisi tersebut dibuat Bung Tomo di Penjara Nirbaya pada 26 Juni 1978. Dalam puisi itu, pejuang kemerdekaan tersebut berusaha mengungkap kembali perasaan cinta kedua insan yang menikah pada saat pergolakan revolusi pada 1947. Sajak itu dedikasikan untuk putri pertama mereka, Tien Sulistami, yang lahir pada 29 Juni 1948.

“Mas Tom merupakan perayu yang ulung. Dia tidak pernah berhenti menyanjung saya setiap waktu. Pada puisi itu, Mas Tom menyebut saya sebagai Melati Putih, hati siapa yang tak tersanjung disebut seperti itu,” katanya.

Masih saat di Penjara Nirbaya, Bung Tomo yang ketika itu sudah berusia 58 tahun tetap bersemangat menulis puisi untuk istrinya. Dalam puisi itu, lagi-lagi Bung Tomo memuji kecantikan wajah istrinya saat bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini.

Ini Hari Kartini, Dik!
Terbayang wajahmu nan cantik
Penaku kini henti sedetik
Terlintas semua jasamu
Sejak kita bertemu

Sulis tidak pernah merasa kecil hati mengungkap seluruh dokumen pribadinya kepada pembaca. Justru dia ingin itu menjadi sejarah yang tidak terlupakan. “Biar pembaca bisa mengambil hikmah dan mengerti betapa indahnya hidup ini,” ujarnya.

Sulis mengakui kehidupan cintanya bersama Bung Tomo dilalui lewat pasang surut perjalanan republik. Dulu, keduanya memadu cinta ketika Bung Tomo masih diburu tentara sekutu di Surabaya. Di era kemerdekaan Bung Tomo lalu berkarir sebagai politisi di Jakarta, sebelum kemudian berseberangan dengan Bung Karno. Saat Orde Baru lahir, Bung Tomo ikut mendukung. Tapi, sikap kritisnya membuat Soeharto berang sehingga Bung Tomo ditahan.

Wanita itu bersyukur, perkawinan mereka dikaruniai empat anak yang berbakti. Mereka adalah Tin Sulistami, 59; H M. Bambang Sulistomo, 57; Sri Sulistami, 56; dan Ratna Sulistami, 49. Seperti dia, sebagian besar anak-anak Bung Tomo itu menetap di Perumahan Kota Pesona, Bogor, setelah rumah warisan ayah mereka di Menteng, Jakarta, dijual.

Lantaran begitu cintanya kepada istri, tutur Sulis, Bung Tomo pernah berkelakar aneh kepada dia. Intinya, Bung Tomo ingin Sulis menyusul mati tiga hari setelah kematiannya. Alasannya, supaya Sulis punya cukup waktu untuk membaca tulisan wartawan soal kematiannya. “Supaya saya menceritakan ulang tulisan wartawan kepadanya di akhirat,” kata Sulis seperti yang ditulis dalam buku Bung Tomo, Suamiku.

Kelakar pejuang itu ternyata “benar-benar” terjadi. Saat keduanya menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, tiba-tiba Bung Tomo jatuh sakit dan meninggal di Makkah. Sulis yang saat itu pontang-panting mengurus jenazah sang suami sehat-sehat saja. Tapi, tepat tiga hari, ibu Sulis -mertua Bung Tomo- yang meninggal dunia. Hanya, Sulis tidak bercerita apakah ibunya sempat membaca berita-berita koran yang saat itu ramai memberitakan kematian suaminya.

Meski hingga kini Bung Tomo tak kunjung dinobatkan sebagai pahlawan nasional, Sulis tidak terlalu mempermasalahkannya. Sebab, dia tetap menganggap Bung Tomo sebagai pahlawan baginya. “Saya yakin masyarakat Indonesia tetap menganggapnya sebagai pahlawan. Begitu pula saya,” katanya.

Menurut dia, pada 1980, semasa Bung Tomo masih hidup, DPRD Kota Surabaya pernah mengusulkan ke pusat agar dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Namun, tatkala surat memasuki tingkatan menteri, pemerintah menolaknya. Menteri sosial saat itu, Nani Soedarsono, menilai Bung Tomo tidak layak menjadi pahlawan nasional. “Mensos saat itu bilang, Bapak merupakan sosok pejuang lokal. Tidak bisa jadi pahlawan nasional. Saya marah karena beliau dihargai oleh negera-negara lain. Tapi, kenapa oleh bangsa sendiri tidak,” ujarnya.

Saat Mensos melayangkan surat penolakan tersebut, Sulis langsung merobeknya. Tapi, belakangan dia menyesal karena surat penolakan itu bisa menjadi bukti bahwa nama Bung Tomo pernah diusulkan. “Sampai sekarang, nama Bung Tomo tidak pernah hilang. Saya saja yang tidak pernah berjuang ikut terbawa harum,” katanya sambil tertawa.

Bung Tomo mempertahankan kekecewaannya kepada pemerintah sampai wafat. Dalam wasiatnya, dia dengan tegas mengaku tidak mau dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. “Alasannya, di sana dimakamkan banyak koruptor,” ungkap Sulis.

Menurut Sulis, setahun setelah meninggal di tanah suci, jenazah suaminya dibawa kembali ke tanah air. Sesuai dengan amanahnya, Bung Tomo dimakamkan di pekuburan rakyat di Ngagel, Surabaya. Meski belum diakui sebagai pahlawan, di jalan menuju makam itu, kini berdiri plang Jalan Bung Tomo. (*)

Note:
Mas Yuli Ahmada (wartawan, yuliahmada.multiply.com), saya pinjem foto dari flickr sampeyan untuk foto ibu Sulistina yang lagi pegang laptop. Suwun


22 Comments

  1. Nadya Tanja says:

    saya sangat terharu dengan kisah cinta Bung Tomo dan Bu Sulis. Sampai-sampai saya menangis. Romantis sekali. Saat ini sudah jarang pasangan yang berkomunikasi dengan menggunakan surat,jadi kata indah yang seharusnya bisa menjadi kenangan manis dikala tua nanti tidak terlalu berkesan. Saya menjadi sangat iri dengan pasangan kekasih jaman dulu yang belum mengenal media elektronik seperti sekarang. Kisah cinta mereka termasuk Bapa dan Mama saya benar-benar terkesan romantis dan jujur bagi saya.

  2. […] Sumber boombastis.com dan iwanyuliyanto.co dengan beberapa perubahan. […]

  3. Dyah Sujiati says:

    Baca kisahnya Bung Tomo yang di Tarbawi juga sempat bikin seseorang menangis

  4. […] adalah founder Kedai Digital dan founder #SedekahRombongan. Dan Yayasan Sayap Ibu didirikan oleh Soelastri Soetomo, istri Bung Tomo, pada tahun […]

  5. metamocca says:

    hadiiiirrrr !!! 😀

    *speechless*
    Cuma mo bilang, semua tulisan disini yang menggambarkan Mbah, semuanya bener bhuanget. Mata saya kalah sama mata Mbah. Masih tajem.

    Kebun di rumahnya rapiiiii banget, kalo lagi berkebun, jarang mau diganggu.

    Tegas, berwibawa, telitiiii bgt sampe ke detil2nya, dan bener2 punya ingatan yang kuat.

    Terakhir ketemu Mbah, waktu pemakaman Opa. “Meta, gimana kuliahnya? Udah lulus?”
    Meta : *nyengir* belom, Mbah.

    😥

    • metamocca says:

      Oh iya, baik Mbah Tomo dan Opa sama2 tidak diakui sebagai pahlawan. 😦 padahal mereka ikut sebagai pejuang.

      *jgn tny ceritanya gimana, saya jg gak ngerti. 😀 tapi itu yg suka diceritain Opa waktu cerita masa lalu

    • Duhh.. senengnya saya bisa ketemu dengan mbak Meta yg merupakan bagian dari keluarga besar Bung Tomo. Gak nyangka juga lho 🙂
      Semoga kita semua bisa memetik pelajaran dari pasangan keluarga tersebut.

      Makam Bung Tomo dekat dengan tempat tinggal orangtuaku di Surabaya.

      Tulisan ini saya post awal Januari 2008 di Multiply, akhirnya Bung Tomo diakui sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 17 Agustus 2008.

    • metamocca says:

      😆

    • metamocca says:

      *dijitak Mbah nih aq*
      ndak tau ceritanya 😆

    • Dyah Ayu Saraswati says:

      mbak Meta, salam kenal.
      Mbak Meta masih keluarga dengan Bung Tomo ya? Mohon maaf sebelumnya, saya sedang mencari salah satu putri bung Tomo yang dahulu pernah bekerja dengan ayah saya. Nama beliau adalah Ibu Sulistami. Dahulu ayah saya pernah bekerja bersama beliau saat menangani bandara Hang Nadim Batam. Jika berkenan apakah saya bisa minta kontak mbak Meta? Saya ingin menanyakan jika mbak Meta bisa membantu.

      Terimakasih mbak Meta.

  6. lambangsarib says:

    Saya tidak suka berpuisi, tapi tulisan dibawah ini kereeen banget.

    Ini Hari Kartini, Dik!
    Terbayang wajahmu nan cantik
    Penaku kini henti sedetik
    Terlintas semua jasamu
    Sejak kita bertemu

    • Saya juga tidak pandai bikin puisi, Pak Lambang.

      Demi mengungkapkan ekspresi cinta pada sang kekasih, sama keluarga misalnya atau kepada Sang Pencipta, sepertinya mau gak mau kita kudu dipaksa untuk bisa bikin puisi nih 🙂

  7. lambangsarib says:

    Ini nih kereeen —> buku adalah persembahan cinta terbaik bagi suami

    Terimakasih banyak tulisannya pak, jadi pingin cari bukunya bung tomo.

    @metamocca mana yah ? kok tidak komentar ?

  8. anotherorion says:

    lha lagi meh protes tentang penetapan bung tomo ro HB IX sik biyen tau diobrolke dewe hehe ternyata wis ditulis nang komen

  9. karinamumtaz says:

    pak, udah pernah tau atau baca buku “Api Sejarah” penulis : Ahmad Mansur Suryanegara? kalo udah bikini review-nya dong di jurnal pak Iwan biar seru hehehehe..

    • Alhamdulillah, API Sejarah 1 dan 2 sudah saya miliki. Saya ingat dulu saya belinya di TB. Gunung Agung, Kwitang, Jakarta di th 2010.
      Boleh, nanti saya sempatkan mereview-nya.

  10. embunpagi2023 wrote on Nov 17, ’11:

    luar biasa…..
    patut menjadi contoh buat kita yang muda …..
    tercatat atau tidak sebagai Pahlawan Nasional……, biar Allah yang membalas jasa beliau

    • Selain perjuangan merebut kemerdekaan, kisah perjalanan mereka dalam membina keluarga ditengah-tengah teror rezim penguasa saat itu juga patut menjadi pelajaran bagi generasi kita-kita ini ya, mbak.

  11. nofie01 wrote on Dec 22, ’07:

    Mengharukan sekali………………. rasa cinta Bung Tomo terhadap tanah air dan istrinya yang begitu besar dan sebaliknya…, walopun beliau belum diakui sebagai pahlawan nasional tapi Bung Tomo tetap seorang pahlawan di hati istri dan keluarganya (itu yang terpenting) serta pahlawan di hati rakyat Indonesia…….
    Dimana Bung Tomo-bung Tomo zaman sekarang yang tidak hanya bisa demo saja….?

Mari Berdiskusi dan Berbagi Inspirasi. Terimakasih.

Let me share my passion

””

My passion is to pursue and share the knowledge of how we work better with our strengthen.
The passion is so strong it can do so much wonder for Indonesia.

Fight For Freedom!
Iwan Yuliyanto

Kantor Berita Umat