Home » Film Dokumenter » Film “Temani Aku Bunda”, Potret Buram Sistem Pendidikan di Indonesia

Film “Temani Aku Bunda”, Potret Buram Sistem Pendidikan di Indonesia

Blog Stats

  • 2,305,384

PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Lisensi Creative Commons

Adab Merujuk:
Boleh menyebarluaskan isi blog ini dengan menyebutkan alamat sumber, dan tidak mengubah makna isi serta tidak untuk tujuan komersial kecuali dengan seizin penulis.
=====
Plagiarisme adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan intelektual kita bersama.

Follow me on Twitter

Bila Anda merasa blog ini bermanfaat, silakan masukkan alamat email Anda untuk selalu mendapat artikel terbaru yang dikirim melalui email.

Join 6,365 other subscribers

“Bunda, saya tidak mau ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Kalau pemimpinnya orang bodoh, nanti Indonesia bisa roboh” (Abrar)
.

Apakah Anda masih ingat kisah anak SD yang disuruh pihak sekolah memberikan contekan untuk teman-temannya sewaktu Ujian Nasional tahun 2011 lalu? Kini kisahnya telah diangkat dalam sebuah film dokumenter yang berjudul “Temani Aku Bunda”. Sebelum membahas film tersebut, mari kita simak sebuah puisi yang menggambarkan jeritan isi hati anak jujur tersebut.


Temani Aku Bunda
karya Elvira Yanti Mahyor

Bunda,
aku ingin menangis di pelukanmu,
aku ingin bercerita kepadamu.
Karena saat ini aku sendiri, bunda.

Semua kawan menatapku penuh benci,
mengejekku sebagai anak yang sok jujur.
Aku tidak melakukan apa-apa.
Aku hanya melakukan apa yang seharusnya.
Aku hanya melakukan apa yang selalu dinasehatkan oleh orang tua,
yaitu JUJUR.

Bunda,
aku tidak pernah menyangka jujur butuh keberanian baja,
butuh kekuatan hati yang luar biasa,
butuh kerja keras dan air mata
Aku hampir tidak kuat, bunda.

Bunda,
kini aku sedih melihat engkau,
orang yang melahirkan aku ke dunia,
orang yang membesarkan aku dengan penuh cinta,
orang yang selalu hadir di saat aku terluka,
harus menerima ejekan dari mereka,
hanya karena aku ingin JUJUR saja,
padahal JUJUR membuatku lega, bunda.

Maafkan aku, bunda
Salahkah sikapku?
Apakah aku tidak usah jujur saja?
Agar engkau tak lagi terluka.
Aku bingung, aku gelisah, aku cemas, aku takut.
Tolong temani aku, bunda.
Tolong lindungi aku, bunda.
Aku hanya ingin jujur, karena jujur membuatku lega.

–: end :–

Sinopsis film.

Pada hari pertama Ujian Nasional (UN) 2011 di SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Muhammad Abrary Pulungan (biasa dipanggil Abrar) disuruh berbuat curang oleh gurunya. Ia tak kuasa menahan tangis dan kecewa karena (dua hari sebelum UN) telah menandatangi perjanjian di atas kertas yang dibuat oleh gurunya yang berisi kesepakatan untuk bersedia memberikan jawaban UN kepada teman-temannya (contek massal) dan berjanji untuk tidak memberitahukan peristiwa tersebut kepada siapapun, termasuk orangtua. Bagi saya ini adalah bentuk kesepakatan tolol yang dilakukan oleh lembaga yang mengajarkan pendidikan karakter. Saat mengikuti proses ujian, Abrar semakin gelisah saat teman-temannya bebas bertukar jawaban, padahal ada pengawas di sana.

Saat dijemput ibunya, Irma Winda Lubis (Winda), Abrar menceritakan peristiwa tersebut sambil menangis. Tentu saja ibunya geram dan kesal mendengarnya. Keesokan harinya di hari kedua UN, bu WInda mendatangi sekolah anaknya. Ia membawa kamera kemudian merekam (secara sembunyi) semua aktivitas selama ujian. Bahkan, ia juga merekam hasil pembicaraan dengan kepala sekolah dan seorang guru yang telah membuat kesepakatan tersebut.

Bu Winda menyampaikan keberatannya pada pihak sekolah tersebut, ia meminta guru dan kepala sekolah terkait meminta maaf di depan publik agar kasus kecurangan UN tidak terjadi lagi. Namun pihak sekolah mengabaikannya. Justru kejujurannya itu malah membuat sang anak diasingkan oleh para guru dan teman-temannya di sekolah. Abrar dikucilkan, diejek oleh teman sekolah maupun teman main di rumah. Abrar dan keluarganya dianggap hanya mencari ketenaran. Kondisinya seperti yang disampaikan dalam puisi di atas.

“Saya dimarahi dan dimusuhi teman-teman di sekolah. Kata teman-teman, guru-guru jadi kena masalah gara-gara saya. Padahal saya cuma bicara jujur. Kata ayah dan bunda, kita harus selalu jujur.” (Abrar)

Tak puas dengan sikap yang diterimanya, bu Winda pun mencoba menempuh jalur hukum untuk kasus ini, ia mendatangi satu persatu instansi pemerintahan. Tim investigasi dibentuk oleh pemerintah untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran dari kasus ini, tapi sampai sekarang belum ada hasilnya.

Film ini disutradarai oleh Tedika Puri Amanda, Irma Winda Lubis dan Komunitas Roda, diproduksi oleh Yayasan Kampung Halaman. Film yang berdurasi 77 menit ini untuk merefleksikan banyak hal ketidaksesuaian dengan sistem pendidikan di Indonesia, antara lain:
– kondisi anak yang perlu pendampingan,
– lemahnya guru dalam proses pendidikan,
– perlunya peran aktif orang tua dalam proses belajar anaknya di sekolah.

Film dokumenter ini mengajak masyarakat bersama-sama peduli untuk memberikan kenyamanan pendidikan untuk anak Indonesia. Film ini merekam jejak-jejak perjalanan keluarga Abrar dalam menempuh jalur hukum dalam memperjuangkan haknya untuk JUJUR. Film yang sarat akan makna ini mengajarkan bahwa kejujuran butuh keberanian luar biasa dengan mental baja. Kecurangan bersama (dalam kasus UN) ini adalah awal mulanya bentuk korupsi berjamaah di negara kita.

Baiklah, sebelum kita lanjutkan pembahasannya, sejenak mari kita saksikan trailer film di bawah ini. Andapun bisa melihat bagaimana rekam pembicaraan antara bu Winda dengan pihak sekolah. Sungguh menusuk ulu hati dan perasan.



Refleksi.

Untuk Menolak Lupa, arsip peristiwa ini bisa kita baca di beberapa media diantaranya:

Kejujuran dalam UN harus dipertahankan dengan kuat, maka jika ada anak yang melaporkan kecurangan UN, harus dilindungi. Pemerintah harus menjamin perlindungan saksi, jika ada siswa maupun masyarakat yang berani melaporkan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Kasus lainnya yang dialami Ibu Siami dan Alif, siswa SDN Gadel II, Surabaya, yang pada tahun 2011 juga menggegerkan dunia pendidikan itu kini masih menimbulkan trauma yang mendalam bagi masyarakat, terutama anak-anak sekolah. Nilai-nilai baik yang diajarkan keluarga, justru bertolak belakang dengan apa yang dijumpai anak di luar lingkungan keluarga. Saat itu keluarga Siami diintimidasi, justru setelah melaporkan contek massal yang terjadi saat pelaksanaan UN di sekolah anaknya. Kasus ini merebak, sampai keluarga Ibu Siami sempat diusir warga dari rumahnya, karena tidak suka dengan kejujuran Alif.

Membangun lingkungan yang ramah terhadap anak, dimana menghargai pendapat anak tanpa kekerasan, seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga, sekolah, masyarakat, dan juga negara. Sangat disayangkan bila ada lembaga yang seharusnya menanamkan pendidikan karakter, justru mengajarkan banyak praktek ketidakjujuran, misalnya anak disuruh berbagi jawaban, kemudian guru berperan aktif dalam ketidakjujuran. Sistem UN telah membuat berbagai pihak menempuh segala cara untuk meluluskan siswa didiknya, terutama dengan komposisi bobot nilai kelulusan antara UN dan nilai rapor yang masih lebih besar untuk UN, yakni 60 : 40.

Salah satu tujuan pendidikan berdasarkan UUD 1945 adalah menciptakan insan yang berakhlak mulia. Untuk itu, dalam sidang HAM akhir tahun 2012, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mendorong Kemendikbud untuk membuat kebijakan sekolah ramah anak, mulai dari kurikulum hingga bagaimana membuat sistem evaluasi yang tidak menimbulkan trauma bagi anak.

Pesan buat para orangtua (juga pengingat diri) hendaknya bertanya pada anak saat melewati UN bukan “Berapa nilai kamu?” tapi “Jujurkah kamu?”

Pesan buat adik-adikku yang sedang mempersiapkan ujian nasional SD, SMP, dan SMU:

Selamat belajar dan berproses menjadi pribadi unggul.
Ayo, mari mendukung kejujuran untuk Indonesia yang lebih baik.
Meski pahit sekalipun yang didapat, namun kejujuran itu lebih mulia.
Ujian Nasional jujur … itu juara.

Salam hangat penuh semangat,
Iwan Yuliyanto
07.04.2013

———
Pesan:
Kawan-kawan, kalau Anda pernah mengalami atau melihat atau mendengar kecurangan UN, boleh bila ingin di-sharing via komentar di bawah ini.

Untuk perubahan yang lebih baik, Anda bisa berpartisipasi menandatangani PETISI.


122 Comments

  1. isna diyah says:

    saya pernah beberapa tahun berada d situasi seperti itu pak iwan, pertama kali mengawas UN d thn 2007 sy shock ketika guru d skolah yg sy awasi dgn entengnya membagikan jawaban k siswanya. tahun berikutnya menjadi pengawas UN jd seperti makan buah simalakama. rasanya jd tdk bguna smua petuah kita d dpn siswa selama 3 thn kalau pd akhirnya termentahkan d 3 hr masa ujian nasional. Makanya, sy termasuk org yg mendukung d tiadakannya ujian nasional, anak2 kita tak perlu d nilai dgn angka tinggi d beberapa mata pelajaran hanya untuk meluluskan mereka dr sekolah. sy yakin sebagian dr mereka jg potensi lebih d bidang lain..

  2. neng euis hernawati says:

    nyontek masal , masih berlanjut ya, foto pendidikan yang kurang , atau tidak percayanya guru akan kemampuan murid nya . potret pendidikan , perlu di telaah ulang , agar menciptakan mental mental yang jujur dan penuh percaya diri

  3. kasamago says:

    kangen jaman EBTANAS dlu.. g terlalu nyeremin kek skrg. UN bagai monster neraka yg menjaga pintur gerbang klulusan..
    pemerintah dlm hal ini diknas jg ikut bertanggung jawab, jgn ngasal membuat kurikulum yg bki dunia pendidikan kalang kabut.

  4. genthuk says:

    ada sekolah yang terkenal jujur harus berhadapan dengan sekolah lain saat ujian, “Pengawasmu diam saja ya” ungkap kepala sekolah lain

    • Bagaimana pelaksanaan UN Tahun 2013?
      Amburadul kan?
      Di tahun-tahun sebelumnya naskah ujian dicetak paling tidak di tingkat Propinsi, sehingga memudahkan dalam penyebaran ke Dinas Kabupaten/Kota,
      Bagaimana persiapan naskah UN di tahun 2013?
      Pencetakan di lakukan di Jakarta, berapa ribu kendaraan yang harus dipersiapkan untuk transportasi naskah sampai ke sekolah?. Bagaimana menyalurkan ke daerah-daerah yang terpencil?
      Berapa peluang keselamatan naskah tercecer di jalan?.
      Perubahan kebijakan tersebut sebenarnya merupakan bentuk: 1. “keserakahan”, 2. “ketidakpercayaan” pimpinan pusat terhadap pimpinan lembaga pendidikan di daerah, 3. ” menurunnya” kualitas sistem kelembagaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

      Suatu renungan.
      1. Untuk mengetahui kemampuan siswa di sekolah-sekolah di Indonesia, sebagai ilmuwan seharusnya sudah tahu ada ilmu yang disebut Statistik. Tidak perlu menggunakan populasi, tetapi cukup menggunakan sampel yang disesuaikan dengan tujuan. (Ada sampel dari sekolah unggulan (oleh masyarakat bukan diprogram pemerintah), sekolah kategori menengah dan sekolah dari kategori “bawah”.
      Berapa besar dana yang dikeluarkan untuk keperluan tersebut?. Apakah tidak merupakan “pemborosan nasional?”. .
      2. Tindak lanjut, bagaimana program untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di daerah-daerah atau di sekolah-sekolah yang termasuk kategori menengah dan bawah, meskipun untuk kategori unggulan tetap harus dipertahankan.
      3. Tentu saja perencanaan tindak lanjut tersebut merupakan program jangka pendek dan jangka panjang, yang memerlukan manusia-manusia “cerdik dan cendekia” sebagai perancang dan pelaksana, bukan sekedar “pekerja asal-asalan”.

      Semoga pendidikan di Indonesia mampu membawa bangsa Indonesia menuju negara yang “BESAR”, disegani oleh bangsa-bangsa dan negara-negara yang lain.

  5. surya says:

    pendapat saya UN itu sebaiknya ditiadakan, karena itu hnya menambah kerusakan moral, dan menyebabkan kecurangan. pemerintah kan hnya memikirkan uang masuk mereka lewat UN !

  6. yisha says:

    ini potret sekolah yang serem bangets ya ka……..

  7. Semua hanya berfikir hasil, pak Iwan. Tak menghargai proses jadi ya seperti ini jadinya. Karakter menghargai hasil sendiri juga ndak ada. Sedih,,,sedih T_T

  8. 1. Pada tahun 2006 Dewan Pendidikan DIY pernah menyarankan bahwa
    UN tidak perlu dilaksanakan.

    2. Menurut saya, untuk mengetahui daya serap siswa terhadap materi
    yang termuat dalam Kurikulum tidak harus semua anggauta populasi
    digunakan sebagai obyek penelitian, cukup mengambil beberapa
    sekolah di tiap Kabupaten atau Kota sebagai sampel.

  9. felis catus says:

    FYI : cerita seorang guru yg menjadi pengawas UN thn ini : http://ninokeyiz.wordpress.com/2013/04/19/oh-un-itu-begini/ . Tampaknya 20 jenis soal bukan kendala buat curang.

    • Terimakasih, mbak Indres.
      Barusan saya baca di sana, kasihan ibu guru tersebut berada dalam sebuah sistem yang aslinya penuh dengan kepalsuan.
      Saya heran mengapa mereka yang tidak jujur itu meremehkan tanggung-jawab moral yang tertuang dalam Pakta Integritas.

      Kalo baca di sini, Mahkamah Agung pernah melarang UN di tahun 2010.
      Namun kenyataannya hilang kewibawaan larangan itu sampai saat ini.

  10. araaminoe says:

    it’s a must seen movie ya? #kepo 😀 #..
    tapi memang UN itu sudah tidak relevan lagi di jaman ini, karena ke absurd tan berbagai pihak, kapan ya Indonesia terbebas dari hal hal absurd?
    hmm semoga ya amin…

  11. JNYnita says:

    Alhamdulillah, pas aku UN 8 tahun yll, sekolahku gak ngajarin untuk berlaku tidak jujur & ngadain ritual aneh2..
    Bagiku dulu UN gak begitu menakutkan, lebih menakutkan SPMB kayaknya, soalnya ortuku gak siap utk nyekolahin aku di PTS. Entah kenapa pd takut UN, pdhal yg diuji ya yg dipelajari selama 3 tahun, dan soalnya udah diulang-ulang. Harusnya drpd ngasih contekan mending sang guru ngajar yg bener & ngasih kepercayaan diri pd muridnya.
    Dulu deg2an juga sih pas UN, lebih takut terjadi eror di lembar komputer, dan kata adekku lembar jawaban UN skrg tipis banget! Ngapus dikit udah robek.
    Lulusan SMA memang butuh standardisasi, seperti dokter & dokter gigi yang punya ujian kompetensi untuk tetap menjaga kualitasnya, tapi apakah UN jawabannya? Dunno. Krn efek UN skrg jd gak asik (dgn contekan, ritual, ketidakprofesionalan & kualitas soal & lembar jawaban) atau mental rakyat Indonesia yang gak asik?

    • Sama, mbak Nita, jaman saya dulu juga tidak begitu heboh soal UN. Fokus saya saat itu UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pengen nembus kuliah di kedokteran UI, tapi gagal 🙂

      Saya merasakan bagaimana heboh-nya UN itu saat mendampingi proses kerja kerasnya anakku yg masih SD, yg kini mempersiapkan UN kelas 6SD. Anakku sudah belajar selama 6 thn dan mempelajari lebih dr 10 mata pelajaran, tetapi ternyata kelulusannya hanya ditentukan oleh bbrp mata pelajaran selama 2 hari.

      Ditambah lagi cerita nyata yang menyedihkan dari beberapa guru SMP di lingkungan tempat kami tinggal. Mereka harus mengikuti sistem, padahal dalam hatinya mereka memberontak. Setiap sekolah merasa gengsi & tertekan jika ada siswanya yg gak lulus. Anehnya tekanan justru muncul dr Dinas Pendidikan. Akibatnya terbentuklah “Tim Sukses” terselubung yg memakai berbagai cara agar seluruh siswa di sekolahnya lulus 100%.

      Just sharing, ada tulisan menarik nih dari mas Kasman Singadimedja:
      Surat Terbuka kepada Bapak Menteri Pendidikan atas pelaksanaan Ujian Nasional

  12. Mahkamah Agung Larang Ujian Nasional (UN) 2010

    Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).

    -Mahkamah Agung-

    Lho kenapa sekarang masih lanjut?

  13. pak salam kenal dan monggo mampir di toko saya

    Welcome to my shop !

  14. Miris banget membaca kekacauan pelaksanaan UN SMU 2013 di sini:
    Jujur UAN 2013 Mengecewakan! Kami Seperti Kelinci Percobaan !
    blogdetik.com | Tayusani Yuza On Selasa | April 16th 2013.

    Kutipan:
    Soal yang dibagikannya ternyata soal Susulan, di Sekolah sebelah lebih parah 200 orang ga dapet soal !. Ada lagi yang paling ekstrem anak SMA justru dapet soal SMK ! Gila ga tuh?,kata pengawasnya “Coba cek soal , soalnya kelas sebelah ada yang dapet soal SMK !”. Udah gitu kualitas LJK nya tipis banget lagi.

  15. bundamuna says:

    beberapa teman sudah membahas film ini dan saya jadi sangat penasaran 🙂
    film yg bagus ini kalau diputer di sekolahan dan ditonton oleh para siswa dan guru-gurunya..

    • Biar gak penasaran, ayo nonton, mbak Muna.
      Di komentar sebelumnya untuk mbak Muna di bawah ini sudah saya cantumin alamat kalo pengen beli DVD-nya. Dekat banget lho dengan rumah mbak Muna. Karena rumah produksi film ini ada di Sleman, Yogyakarta. Kalo dah dapat film-nya, bisa diputar bersama di sekolahan.

  16. Raf says:

    Solusinya menurut saya cuman satu; hapus UN. Serahkan keputusan kelulusan murid kepada pihak sekolah namun tetap diawasi oleh pusat, seobjektif mungkin (lihat contohnya: http://kask.us/g6FyO). Lagipula, UN makin kesini makin mirip lelucon tahunan yg garing abis. Sebelum UN para murid melakukan ritual aneh (cuci pensil, cuci kaki guru, dll), yang bagi saya gak efektif, mendingan belajar, kan?

    • UN memang terasa absurd. Saya sependapat menyerahkan keputusan kelulusan murid kepada pihak sekolah dengan tetap diawasi oleh pusat.

      Baca contoh-contohnya pada link tersebut bikin ngiler yang ada di sini 🙂

  17. sistem pendidikan kita yang salah benar2 sudah pada tingkat yang sanggaaaat akut. Ada orangtua murid yang menelponku untuk ngelesin anaknya. Si ibu itu cerita kalau anaknya susaahhh banget matematika, dan dia kemudian nanya, “Mba yakin nggak bisa membuat nilai anak saya jadi bagus?”
    Aku hanya menjawab, “Saya Insya Allah bisa membuat anak bisa mengerti dan memahami pelajaran matematika dengan mudah dan tidak lagi menganggap pelajaran matemaika itu sulit!”
    Si Ibu kemudian memberikan pernyataan : Mba, yang dibutuhkan anak saya di sekolah ada nilai yang tinggi, bukan mengerti dan memahami pelajaran matematika…”

    Dari jawaban si ibuk tersebut terlihata bahwa orangtua dan pihak sekolah hanya mengejar nilai yang tinggi saja saja tanpa perlu melihat proses belajar mengajar itu bagaimana. Itu terjadi karena pendidikan kita benar-benar sudah salah kaprah… Dan aku banyak sekali menemui orangtua yang seperti itu. Dan anak-anaknya pun sekolah di sekolah terkenal dan pavorit..

    • Sungguh ini sharing yang menarik, dan miris baca tentang pemikiran orang tua muridmu yang orientasinya hasil dg cara yg instan.
      Kalo berani meluruskan ortu yg pemikirannya seperti itu, sampaikan saja (tentunya dengan cara yang baik), agar anaknya tidak tersesat pemikiran juga, demi masa depannya yang lebih baik.

  18. Temanku seorang guru di madrasah… Katanya saat ujian.. apapun akan dilakukan untuk ‘menolong’ siswa supaya dapet nilai bagus…^^

  19. Untuk sahabat2 yg akan UN, jika menemukan kecurangan dan kejanggalan silahkan melapor via list ini:
    Lindungi Pelapor Kecurangan UN

  20. itsmearni says:

    duh miris banget
    membayangkan masa depn Indonesia, masa depan anak-anak kita, mas depan anak saya
    duh………………

    • Semoga pas Prema dah besar, sudah ada perubahan yang lebih baik dari pemerintah ya, mbak Arni.

      Namun itu semua berpulang ke orientasi ortunya masing-masing. Semoga kita menjadi bagian dari ortu yang tidak mendewakan nilai UN sbg parameter keberhasilan pendidikan anak.

    • itsmearni says:

      Iya mas Iwan
      karena itu semua kita masih berproses menuju lebih baik
      sehingga beban akan orientasi hidup dan sekolah bukan hanya ada dipundak anak, tapi menjadi tanggung jawab kita bersama selaku orang tua

  21. saydha says:

    #sedikit curhat
    Sudah bukan rahasia lagi memang tentang ketidakjujuran proses berlangsungnya UN. Saya sudah kenyang merasakannya saat SMP dan SMA (padahal saya sekolah di SMA favorit). Kalau nggak ngasi contekan, dibilang sombong dan ngga pengen temennya lulus. Kalo ngasi, juga dilema karena bertentangan dengan nilai moral dan suara hati.
    Dulu teman2 saya pada gotong royong urunan, diwajibkan setiap kelas sama ketua kelasnya, buat beli jawaban UN dari joki. Ada juga bimbel yang menjual jawaban UN H-1. Pokoknya berbagai cara ditempuh supaya lulus. Lantas sekolah bertahun-tahun, berdampak apa?
    Beginilah yang terjadi kalau pendidikan hanya dilihat dari hasil, bukan proses.

    • Terimakasih sharingnya, mbak Nurissaidah. Situasi seperti itu bisa terjadi karena terjebak pada sistem pendidikan yang orientasinya adalah nilai ujian akhir menentukan kelulusan (dg porsi besar).
      Menutup ruang karya kreatifitas selama periode belajar di sekolah.

      Untuk perubahan sistem pendidikan yang lebih baik, mbak Nurissaidah bisa berpartisipasi menandatangani petisi di sini.

    • saydha says:

      oke, siap laksanakan! 🙂

  22. 'Ne says:

    miris jadinya.. bisa-bisanya pendidik mengajari hal2 yg demikian.. ini sama saja mengajari mereka korupsi sejak dini..

    • SD-SMU contek massal. Kuliah beli skripsi. Disertasi plagiat. Trus jadi pejabat yg mengurusi hak publik. Kemudian korupsi berjamaah karena sudah terbiasa curang berjamaah sejak dini.

      Sakit rasanya menatap masa depan negeri.
      Ayo kita bergerak, minimal mendukung perubahan yang lebih baik melalui penandatanganan petisi.

  23. asafitriku says:

    luar biasa keberanian seorang anak SD, salut, subhanallah,,,jadi ingat waktu ujian semester di bangku kuliah , teman-teman pada nyontek dan browser jawaban lewat google di hp, ketika saya bilang tidak boleh nyontek karena kita seorang muslim, mereka balas yang gak boleh nyontek cuma saya

  24. lollytadiah says:

    Jadi inget kasus temanku yg guru SDIT dan jadi penanggung jawab UN disekolahnya, saat rapat dengan gabungan PJ UN dari sekolah lain sekecamatan… dia diledekin dibilang “hari gini masih jujur…”…. sampe mau nangis temenku itu… dalam rapat itu cuma 3 sekolah yang tetep jujur menjalankan UN dan nggak kasi bocoran jawaban ke murid2nya… dan tiga tiganya dari sekolah swasta…..
    Ada lagi temanku yg guru SMP… dia sempet stress karena ternyata kasi contekan ke murid itu adalah instruksi dari kep sek nya….
    Prihating banget liat gejala pembentukkan koruptor2 kecil sejak dini….. 😦

    • Saya catat sebagai Kesaksian #7

      Terimakasih sharingnya, mbak Lolly. Begitulah kondisinya, yang jujur malah diintimidasi. Sungguh aneh memang, guru sekolah yg biasa ketat dlm menjaga ujian ditegur keras dan dipermalukan di depan guru sekolah lain. Mereka juga akan menjadi sasaran olok-olok dan sindiran ketika hadir dalam pertemuan guru tingkat dinas atau gugus sekolah.

      Bahasan lengkap yg mirip dengan kasusnya yg disampaikan mbak Lolly di atas bisa disimak juga pada komentar saya untuk mbak Jihan Davincka di bawah ini.

  25. debapirez says:

    frankly, saya pernah mengalami kejadian spt itu saat SD…

    • Saya catat sebagai Kesaksian #6

      Bayangkan kalau kondisi itu terus diwariskan kepada lembaga pendidikan dimana anak kita menimba ilmu di situ.
      Untuk itu, mari mendukung perubahan yang lebih baik dengan menandatangani petisi.

  26. debapirez says:

    menjadi orang waras di tengah orang gila akan membuat kita dituduh gila…

  27. Sebagai selingan, dapat sharing dari mas Rinaldi Munir pagi ini.

    Pidato Wisuda Coxsackie-Athens High School di New York. Disampaikan oleh wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun 2010, Erica Goldson. Penyampaiannya jujur, namun kejujuran yang menakutkan.
    Silakan simak videonya di sini:

    Valedictorian Speaks Out Against Schooling

    Terjemahannya dapat Anda baca di sini: Pohonbodhi.

    Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.

  28. musayka says:

    Memang semua perlu mendukung.. Sekolah, guru, ortu, dan kawan

  29. utie89 says:

    hiks. Ikut tergugu bacanya Pak.
    Memang, namanya teguh pada kejujuran itu menyakitkan di zaman sekarang.

    Terkadang, sesuatu yang mau tak mau kita lakukan bertentangan dengan nilai kita. Dan itu menyakitkan. 😦

    • Jujur memang pahit… tapi itu juara.
      Kalo mbak Putri pernah mengalami atau melihat atau mendengar kecurangan UN, silakan di-sharing ya.

    • utie89 says:

      aku dulu sih pernah pak, jaman dulu lho.. sekitar tahun 2006-an. kan aku termasuk siswa kelas akselerasi, terus ujiannya digabung sama kelas reguler. nah, ada guru yang bilang, sebaiknya kita “membantu” kelas regular. gitu. tapi aku udah lupa sih kronologisnya kayak apa 😀

  30. tinsyam says:

    kenapa bisa begini ya sistem pendidikan kita? mentalnya kudu diubah.. ini imbas dari sistem yang matimatian tergantung nilai?
    ada temen bikin disertasi aja nyontek banyak disertasi lain, tinggal copas sanasini.. padahal disertasi boh.. sampe ku tegor aja nyengir kuda.. gimana doktornya kaya gitu ya, mahasiswanya gimana?

    salut sama yang melawan arus dan tetap jujur..

    • Kesaksian #4

      Terimakasih sharing dan kesaksiannya, mbak Tin.
      Jujur itu pahit. Bahkan saking berusaha untuk jujur, ada seorang guru yg terpaksa dikeluarkan, karena tidak mengikuti sistem ketidak-jujuran di sekolahnya. Miris.
      Sistem lah yang menjadikan kondisi seperti itu.

      Untuk perubahan yg lebih baik, bisa berpartisipasi tandatangan petisi di sini.

    • tinsyam says:

      iya udah ke link itu, maren dikasih temen juga..
      padahal guru itu digugu.. kayanya semboyan tutwurihandayani blom sampe ke tulang sumsum para guru.. beda sama jaman dulu..

      *lagi ngebayangin pak kobayashi & ibu maryamah..

  31. syifarah03 says:

    Inget orang tua saya yang dua-duanya guru. Inget ketika saat itu mereka juga melegalkan contek massal. Inget gimana rasa adil jujur itu menjadi kabur buat saya saat itu 😦

    • Kesaksian #3

      Terimakasih sharing dan kesaksiannya, mbak Tika.
      Sistem lah yang menjadikan kondisi seperti itu.
      Sakit rasanya menatap masa depan negeri ini kalo terjebak dalam sistem seperti ini. SD-SMU contek massal. Kuliah beli skripsi. Trus jadi pejabat yg mengurusi hak publik.

      Untuk perubahan yg lebih baik, bisa berpartisipasi tandatangan petisi di sini.

  32. pemikirulung says:

    kejujuran di ujian salah satu yang paling banyak menguras air mata pengajar muda

    • Pengen sekali saya membaca kisah pengajar muda tentang kejujuran di ujian nasional. Semoga mbak Ludi tidak keberatan untuk menuliskannya 🙂

    • pemikirulung says:

      saya ga punya pengalaman itu pak. karena di sekolah saya tidak ada ujian nasional (saya di kelas jauh). tapi teman-teman saya yang lain punya

  33. Solochanger says:

    duh, kok sampe gitu ya potret pendidikan di Indonesia 😦

  34. Model Baru UN Diragukan Bisa Meminimalisir Kecurangan
    Jawa Pos | 27 Maret 2013

    Jika sekolah sudah memberi nilai NS 8 (40%), maka dengan nilai UN 3.8 (60%) saja, siswa sudah mendapatkan nilai 5.5 sesuai batas aman nilai kelulusan. Sehingga upaya-upaya yang dilakukan Kemdikbud percuma kalau tidak ada perubahan total sistem UN.

    Jadi yang ada hanya penghamburan biaya saja. Selain tingkat intervensi pemerintah daerah yang sudah mentarget lulus 90 persen, sehingga mendorong sekolah melakukan mark up nilai sekolah.

  35. Kecurangan UN Kontradiktif Dengan Pendidikan Karakter
    koran-jakarta.com | 29 Maret 2013

    Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selama ini masih memaksa sejumlah pihak untuk melakukan kecurangan dan menghalalkan segala cara untuk meluluskan siswa didiknya. Kondisi itu dinilai tidak senapas dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam pendidikan karakter di sekolah.

  36. Cumi MzToro says:

    Tragissss … kejujuran itu mmg kadang menyakitkan tp itu lebih baik dari pada menyimpan kebusukan 😦

  37. Badai says:

    betul mas, yang perlu ditekankah adalah: “jujurkah kamu?” instead of nanyain nilai ujian <– prinsip yg mau aku terapkan ke ponakan & anak

    • Sip, mas Aldi 🙂

      Masa depan tidak ditentukan oleh nilai pada selembar kertas. Kejujuran itu lebih mendatangkan banyak keberkahan.

      Kalo pernah mengalami atau melihat atau mendengar kecurangan UN, silakan di-sharing ya, mas Aldi.

  38. Sistemnya yg harus diubah. Budaya nyontek bukan hanya di kalangan pelajar, namun juga di kalangan guru sendiri saat ujian sertifikasi, dan (mirisnya) bahkan sampai tingkat S3! Sistem yg mendewakan nilai berupa angka dan huruf, sistem yg mendewakan predikat tanpa melihat siapa penyandangnya. Terimakasih juga utk info alamat KAMPUNG HALAMAN

    • Betul sistemnya yang harus diubah, bu dokter.
      Jelas, sakit rasanya menatap masa depan negeri ini kalo terjebak dalam sistem seperti ini. SD-SMU contek massal. Kuliah beli skripsi. Trus jadi pejabat yg mengurusi hak publik. Buat naik jabatan beli setifikasi.

      Kalo mau nobar ngundang narasumber atau cukup beli DVD-nya bisa kontak Yayasan Kampung Halaman. Detailnya ada pada komen saya untuk mbak Muna (Bundamuna).

      Untuk perubahan yg lebih baik, bisa berpartisipasi tandatangan petisi di sini.

  39. Skandal Ujian Nasional
    Kompasiana.com | 18 March 2013 | Welem Novi

  40. jaraway says:

    saya nangis baca ini pak.. ='(
    *paham rasanya..

    dan.. ah.. saya jadi pengen nulis tentang tantangan di SD yang ibu saya pimpin..
    ibu saya juga ngerasa sendiri untuk jujur.. T_T

  41. ninasuhari says:

    Kadang susah jd pinter diantara orang2 yg pgn pinter dgn instan.. Semoga keadaannya makin membaik dgn adanya orang yg gak tutup mata dan mau bersuara 😦

    • Sedikit sekali mereka yang gak tutup mata dan menyuarakan kebenaran. Karena berpotensi di-intimidasi lingkungannya yang merasa terusik “masa depannya”.
      Silakan mbak Nina menyimak uraian saya pada komentar untuk mbak Jihan Davincka.

      Kalo pernah mengalami atau melihat atau mendengar kecurangan UN, silakan di-sharing ya, mbak Nina.

  42. Mahiazara says:

    sedih sekali, jadi ingat duluu..
    dulu saya pun pernah dikucilkan karena tidak memberitahukan jawaban ke teman-teman.

    sampai ada yang bilang,
    kalau mau pinter, jangan pinter sendiri dong..

    *miris

    • Memberitahukan atas perintah guru? Atau permintaan teman?

      Mau saya catat untuk “Kesaksian” nih 🙂

    • Mahiazara says:

      🙂

      saya dikucilkan teman-teman mas, satu kelas bayangkan..sediih sekali saat ujian bahasa inggris saat itu.

      btw, kesaksian nampaknya jadi kosakata yang berat yah,
      memang teman-teman yang meminta, tetapi sebelum ujian diselenggarakan, dengan cara yang ‘halus’ guru meminta saya agar tidak ‘mengacuhkan’ teman-teman, selagi saya bisa..

      entah bagaimana kala itu, yang saya ingat bahkan tempat duduk sudah di-plot sedemikian rupa sehingga saya berada di tempat yang ‘strategis’ diantara teman-teman saya.

      miris.

    • Dengan penempatan yg “strategis”, sepertinya sang guru berharap kpd mbak Mahia untuk menjadi dewi penolong bagi teman-temanmu.

      Baiklah, kalo begitu ini saya catat sbg Kesaksian #5
      Terimakasih sharingnya ya ..

  43. Miris, sedih, kecewa, sakit ati, ngeliat sikap guru2 tsb, kok bisa2nyaaa…?
    Tp bangga dengan sang anak-ibu yg memegang teguh nilai2 kejujuran yg smakin lama smakin langka ditemukan…

    • Jelas, sakit rasanya menatap masa depan negeri ini. SD-SMU contek massal. Kuliah beli skripsi. Trus jadi pejabat yg mengurusi hak publik.

      Kalo pernah mengalami atau melihat atau mendengar kecurangan UN, silakan di-sharing ya, mbak Danty.

  44. Jihan Davincka says:

    Kalau dulu di sekolah saya dulu ada guru nyentrik. Peraturan saat ujian, yang memberi contekan yang diberi nilai merah dan tidak diizinkan menyelesaikan ujian. Disuruh keluar. Yang nyontek ya tidak apa-apa hehehehe. Jadinya, malah pada takut ngasih contekan. Padahal biasanya memberi contekan lebih karena kasihan bukan karena takut :).

    Btw, sebenarnya lebih bagus kalau diangkat juga pembelaan dari sisi penyelenggara sekolah dan guru. Konon katanya ada sekolah di Jakarta utara sampai ditutup karena kekurangan siswa. Beberapa tahun ajaran, siswanya banyak yang tidak lulus jadi para orangtua enggan memasukkan anak-anaknya ke sana. Siapa yang rugi? Aparat sekolah kan jadi kehilangan pekerjaan juga, ya. Dan itu sebenarnya sekolah buat anak-anak kurang mampu karena letaknya di perkampungan kumuh. Sayang sekali sumber info tidak memberi saya izin untuk memberitahu nama sekolah yang dimaksud.

    Setuju dengan beberapa pendapat dii atas. Perisitiwa ini akibat kesalahan ‘sistem’ secara keseluruhan. Saya rasa tidak sedikit sekolah yang ‘terpaksa’ mengambil cara seperti walaupun detailnya mungkin beda. Ada yang sengaja bagi-bagi jawaban lho. Untuk menjaga citra sekolah agar murid2 tidak banyak yang gagal dalam ujian.

    So, we need to know the WHOLE STORY before any judgement comes out, perhaps? ;).

    • Peraturan yg dibuat guru nyentrik itu keren banget, mbak Jihan, patut dicontoh 🙂
      Namun sepertinya akan sulit untuk diterapkan ditengah-tengah sistem pendidikan yg berlaku sekarang ini di Indonesia.

      Ada sebuah tulisan yang benar-benar sarkas tapi real kondisinya, di sini. Patut untuk direnungkan.

      Banyak anggota masyarakat terutama guru, yg tidak suka masalah ini diekspose terus-menerus. Kasus kecurangan dlm UN hanya soal moralitas, soal integritas pendidik, dan sama sekali bukan soal uang negara. Integritas guru berada dalam pertaruhan, sebab kpd merekalah sasaran kritik media tertuju.

      Banyak orang tua murid justru kuatir bila UN benar2 dilaksanakan dgn penuh kejujuran, yg dapat berakibat nilai anaknya jatuh. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yg berterima kasih pd sekolah krn anaknya telah “dibantu” lulus dgn nilai baik.

      Kegagalan dalam UN bukan saja ditanggung siswa, melainkan juga sekolah & dinas pendidikan. Kegagalan yang tinggi dapat berakibat mereka dianggap tidak becus mengelola pendidikan. Karena itu, jauh hari sebelum UN dilaksanakan, mereka menginstruksikan para pengawas untuk sekadar mengawasi tanpa tindakan.

      Guru sekolah yg biasa ketat dlm menjaga ujian ditegur keras dan dipermalukan di depan guru sekolah lain. Mereka juga akan menjadi sasaran olok-olok dan sindiran ketika hadir dalam pertemuan guru tingkat dinas atau gugus sekolah.

      Sekolah yang berniat jujur dalam UN, hanya dapat menerapkan kejujuran itu di sekolahnya sendiri. Sudah pasti kejujuran adalah pilihan pahit. Hasil UN siswa potensial lebih rendah dibanding sekolah lain. Konsekwensinya, siswa sekolah jujur harus siap-siap tidak diterima di sekolah lanjutan pilihan, karena seleksi masuk SLTP didasarkan atas nilai Danum. Sekolah yg jujur harus siap-siap ditinggalkan masyarakat. Masyarakat tidak peduli pendidikan dikelola dgn jujur atau tidak, sebab yg mereka butuhkan adalah anaknya lulus dgn nilai baik.

      Bukan berarti di daerahku tidak ada guru dan masyarakat yang jujur. Banyak manusia jujur di kampungku, tapi tak ada orang sebaik dan sepemberani bu Siami. Ibu bersahaja itu mengajarkan bahwa resiko kejujuran terlalu mahal di negeri ini. Di kalangan guru dan dinas pendidikan orang seperti ibu itu hanya jadi bahan olok-olok. “Alah… pengen terkenal, seperti Siami? Pengen masuk TIPI?”

      Kalaupun ada yang menghargai, hanya sedikit orang yg tak jelas tulus tidaknya. Hanya lips servis dari beberapa gelintir pejabat yg sebenarnya belum tentu benar2 peduli. Jangan berharap membenahi, jangan berharap melapor, sebab tidak ada tempat mengadu, bahkan Kemdiknaspun tak peduli.

      duh… jadi sakit nulis begini.

      Pembelaan dari sekolah justru berpotensi makin membuka borok2 sistem. Pihak sekolah seperti dalam posisi yg tidak menguntungkan. Sistem global-nya yang harus diubah.

      Sbg tambahan informasi, mbak Jihan bisa membaca materi presentasi dari Pak Iwan Pranoto yg menggagas petisi “Meminta Kemdikbud untuk mengembalikan fungsi UN sebagai alat pemetaan”

      Click to access Diskusi%20TAB%20-%20pendek.pdf

      Diagram pada halaman 8 & 10, menarik untuk dibaca 🙂

  45. felis catus says:

    Suami saya cerita, di tempat dia ngajar, ujian ngga mesti ngawasin krn mahasiswa2nya kalau ngga bisa, ngga bakal nyontek (beneran loh, ngga jarang jawaban ujian kosong plong bersih).

    Tapi memang beda sih, di sini (bld), kl gagal ujian, biasanya anaknya ngga sampai stress, sedih sih iya, tp ngga sampe depresi. Trus para ortu juga ngga marah kl anaknya udah belajar dan ngga lulus. Soal nilai juga, di sini ngga jadi soal mau dpt 6 atau 9. Jeleknya anak-anaknya tidak sekompetitif anak-anak dr negara asia sih, tp masalah nyontek jd nyaris tak pernah terdengar.

    Mungkin mentalnya yg mesti diubah yah, ngga apa-apa gagal ujian, ngga apa-apa nilai ngga sempurna, yang penting kerjaan sendiri.

    • Bagus sistemnya di Bld, tanpa ada tekanan sehingga menciptakan iklim “kasmaran belajar” 🙂

      Di Indonesia banyak kasus dimana siswa melihat sendiri oknum2 guru yg memaksa murid menyebarkan kunci jawaban UN. Plus adanya praktik jual-beli nilai yg marak terjadi di depan mata siswa. Mereka yg melaporkan kecurangan malah diintimidasi, dicap sok pahlawan. Kalo mental siswanya lemah maka yg muncul di pikiran siswa adalah lebih baik berbohong dibanding diintimidasi.

      UN rentan menggerus pendidikan karakter dan membuat generasi kita kehilangan moralnya. UN bahkan masih menjadi momok, tidak hanya bagi siswa, namun juga pemerintah. Maraknya kecurangan, yg disebabkan kebocoran soal UN, membuat pemerintah memutar otak untuk terus memperketat pelaksanaan UN dari tahun ke tahun. Tahun ini, misalnya, pemerintah membuat kebijakan variasi soal UN menjadi 20 paket soal di setiap kelas yg berisi 20 siswa. (sumber di sini)

      Ini diartikan sebagai wujud ketidakpercayaan pemerintah thd pelaksanaan UN. Bahkan, pemerintah melibatkan pihak kepolisian untuk mengawal pelaksanaan UN. Mulai dari pengawalan soal UN sampai pelaksanaannya di sekolah. Shg anak akan merasa diteror, guru pun merasa tidak dipercaya.

      Di satu sisi, keberadaan UN belakangan semakin diperlukan mengingat pasca kelulusan siswa tidak lagi ditentukan oleh UN, melainkan berbagi porsi 60:40 dgn nilai rapor sekolah. Jika pihak sekolah masih melakukan manipulasi nilai rapor untuk meluluskan anak didiknya, justru semakin menguatkan posisi UN yg harus dipertahankan. Semakin nilai rapor digelembungkan, UN menjadi lebih perlu.

      Sbg tambahan informasi, semoga mbak Indres mau meluangkan waktu untuk membaca materi presentasi dari Pak Iwan Pranoto yg menggagas petisi “Meminta Kemdikbud untuk mengembalikan fungsi UN sebagai alat pemetaan”

      Click to access Diskusi%20TAB%20-%20pendek.pdf

      Diagram pada halaman 8 & 10, menarik untuk dibaca 🙂

    • felis catus says:

      Terimakasih untuk link ke materinya Pak Iwan Pranoto. Setuju, untuk saat ini UN memang sebaiknya digunakan sebagai pemetaan (feedback?) bagi para pendidik dan pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah.

  46. Yuli Duryat says:

    Alhamdulilah, sangat ikut senang mendengar ada film bagus seperti ini. Saya perhatikan belakangan, film-film kita sudah mulai berubah(entahlah atau saya yang cenderung memilih hanya menonton film yang pantas ditonton atau tidak).

    Memang sangat disayangkan ya, apalagi itu diakukan oleh seorang pendidik, apalagi kalau keadaannya kayak saya, anak jauh dari orangtua, waduh nggak terbayang deh gimana kecewanya saya selaku orangtua.

    Terima kasih banyak sharingnya Mas Iwan. 🙂

    • Sama-sama, mbak Yuli, semoga bermanfaat ya.
      Pastinya bakal sakiiit rasanya kalo mendengar anak kita diajarkan sesuatu yang tidak jujur di sekolahnya.

  47. Ani says:

    Memang ktk memasukkan anak ke sebuah sekolah ortu hrs menyamakan visi misi pendidikannya dg pihak sekolah, kalau ga sama cari yg lain saja drpd merusak…

    • Sebaiknya memang harus seperti itu, terkadang di awal yang kelihatannya bagus, namun kemudian ada penyimpangan akibat tekanan faktor target dari atas, sehingga mencoba menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.
      Salah memilih sekolah, sama seperti salah memilih lahan untuk menabur benih.

      Kalo pernah mengalami atau melihat atau mendengar kecurangan UN, silakan di-sharing ya, mbak Ani.

    • Ani says:

      Belum ada. Tp ingin sharing dr perspektif berbeda saja. Urusan nyontek internasional yg sy alami kasus rata2 dg sisw asing (chinna). Jrg dgn siswa barat. Ternyata siswa barat dididik di sekolah dan oleh ortunya it’s ok dpt nilai B atau C slm bikinan sendiri. Jd sedari kecil dididik untuk menghargai diri sendiri. Smntr umumnya org asia dididik untuk bersaing tp lbh menekankan ke nilai shg bg mereka yg tdk mampu (bkn krn bodoh coba bc multiple inte legence) terpaksa memakai berbagai cara. Jd sebetulnya yg perlu diubah juga pola pikir orang tua bgmn menghadapi momok UN? Mmg bila tdk lulus UN harga seseorg berkurang?semoga paham mksd sy

    • Ani says:

      Bahkan pernah mengalami ingin bantu kerjain pr murid asing dia mlh marah dan bilang “i can do it” walaupun hasilnya rata2 tp kebanggaan hasil sendiri itu lbh ternilai drpd dpt bagus tp yg mengerjakan org lain. Itu berkesan sekali buat saya. So please parents respect your children’s work no matter how small or…petty.

    • Saya bisa memahami apa yang disampaikan mbak Ani. Senafas dengan mbak Indres (Felis Catus) yang komentar di sini.

      Saya sependapat dengan paparan mbak Ani. Dalam akhir jurnal saya sampaikan pesan buat para ortu (termasuk diri sendiri) agar berorientasi pada nilai kejujuran saat berkomunikasi dengan anaknya.

      Saya yang lebih berorientasi mencetak anak sbg entrepreneur kelak, juga tidak begitu kuatir kalo nilai anak jelek. Lebih kuatir kalo ia mendapatkan nilai itu dengan cara-cara curang. Sebab ini bertentangan dg prinsip kemandirian dan integritas.
      Kami lebih menekankan nilai2 entrepreneurship pada anak, kalo nilai-nilainya bagus, kami anggap itu bonus.

      Sebaiknya memang para ortu untuk tidak selalu menuntut anak, apalagi kalo tanpa dirinya campur tangan dalam urusan belajarnya. Ini akan membuat anak tertekan dan rentan timbul sikap pengingkaran sang anak terhadap ortunya (mudah melawan ortu).

      Kekuatiran ortu itu biasanya kalo sang anak gagal masuk ke sekolah (yang katanya) favorit. Padahal sekolah favorit bukan jaminan masa depan yg lebih baik. Jaminan yg sebenarnya ya adanya dukungan ortu dan sikap & mental anak itu sendiri.

  48. wetwetz says:

    Lebih mementingkan hasil dr pd proses, produk generasi instan pak..

    • Generasi instant, soal kerusakan moral itu urusan belakangan. Menyedihkan.
      Kalo pernah mengalami atau melihat atau mendengar kecurangan, silakan di-sharing ya, mbak Wewet.

  49. ayanapunya says:

    waktu adik saya ujian SMP, malah gurunya yang ngasih jawaban massal ke para siswa. kecewa banget pas tau itu. memang sistem pendidikan kita ini aneh banget!

    • Kesaksian #2
      Terimakasih atas sharingnya, mbak Ayana.

      Tuntutan target hingga menghalalkan segala cara. Merusak anak didik. Bagaimana nasib masa depan generasi penerus bangsa kalo gini?

    • ayanapunya says:

      iya, mas iwan. saya kan bingung liat nilai ujian adik saya. trus dia juga santai banget selama ujian. pas saya tanya, taunya gitu. asli kecewa banget. makanya menurut saya harus dievaluasi sistem kelulusan ini. bukannya bikin pinter malah bikin curang 😦

  50. kirain udah beres loh kasusnya, ternyata engga ya

    • Sampai sekarang belum ada kejelasan akhir kasusnya. Pihak sekolah tetap tidak mau meminta maaf atas tindakannya yang telah mengajari anak didiknya berbuat curang.
      Kalo pernah mengalami atau melihat atau mendengar kecurangan, silakan di-sharing ya, mbak Arie.

  51. target oriented dengan mengabaikan proses, kanker dari atas…dan membudaya :/

  52. bundamuna says:

    Recommended bgt nih filmnya! Jd muncul ide mau ngadain nonbar film ini di sekolah kami. Mngkn cocok diputer pas anak-anak mau UN gini yaa.. utk thn ajaran yg akan datang bs nih direalisasikan..
    Makasih utk infonya 🙂

    • Ide yang bagus itu, mbak Muna.

      Film ini diproduksi oleh Yayasan Kampung Halaman (KH). Kalo mau ngadain nobar dan mengundang narasumber, kontak mereka saja.

      Kabar baiknya, kantor Yayasan KH ini berada di Dusun Krapyak, No 18, RT05 / RW55, Desa Wedomartani, Kec. Ngemplak, Sleman.
      Deket banget, khan? 🙂

      Silakan email secretary@kampunghalaman.org atau tel: 081210295818, kalo via twitter @kampunghalaman

      Kalo cuma pengen beli DVD-nya ya tinggal kontak saja ke mereka.

  53. nyonyasepatu says:

    Haduh kasian bgt ya mas tp aku inget dulu waktu sekolah kalo gak ngasih contekan pasti dibilang pelit hehe

  54. Tahun 1990 SD swasta tempat saya menuntut ilmu juga memberikan jawaban ujian pak. Entahlah mungkin sejak jaman orde lama sudah terjadi. praktek kecurangan di bidang pendidikan, prihatin dengan hal ini.

    • Kesaksian #1
      Terimakasih atas sharingnya, mbak Nella.

      Selama orientasinya adalah hasil, dan nilai para siswa itu juga menentukan prestise sekolah, maka budaya kerjasama antara guru dan murid itu akan terus terpelihara.

  55. Rawins says:

    ternyata ada film nasional yang bagus ya..?
    sudah telanjur beranggapan kalo pilem kita tak jauh dari pocong ngesot, makanya aku ga pernah minat kalo ada yang ngasih film nasional. kayaknya harus dirubah nih isi kepala…

    • Selama dinasti Raam Punjabi bersaudara masih mencengkeram di sini, kita akan terus dibombardir dg pembodohan visualisasi dlm bentuk tahayul, religi ngawur, dan hedonism.

    • Rawins says:

      nah itu dia masalahnya, mas…
      kebiasaan menggeneralisir keadaan sampe lupa untuk sesekali melihat ada yang bener apa engga. terima kasih diingetin, mas…

  56. diah indri says:

    Jadi was2 juga kalo kelak milih sekolah anak. Smg kelak jaman anak saya smua sudah lebih baik.

    • Aamiin.

      Itulah pentingnya ortu melakukan investigasi santai kepada anaknya tentang apa yg terjadi di sekolahnya.
      Memang sungguh menyedihkan, dalam peristiwa itu sang anak diminta untuk menandatangani perjanjian untuk tidak jujur.
      Kalo pernah mengalami atau melihat dan mendengar kecurangan, silakan di-sharing ya, mbak.

  57. Dyah Sujiati says:

    Kecurangan bersama (dalam kasus UN) ini adalah awal mulanya bentuk korupsi berjamaah di negara kita.–>
    Betul bisa jadi demikian Pak.
    di negara kita ini rasanya di semua sektor di setiap levelnya selalu ada ketidakjujuran. #istighfar

    • Kalo melihat ada yang tidak jujur seperti itu jangan ragu-ragu untuk bersuara, karena kalo dibiarkan bisa kecipratan mudharat-nya.
      Kalo pernah mengalami atau melihat dan mendengar kecurangan, silakan di-sharing ya.

  58. Menyedihkan Mas….aku aja sampe gak tega ngeliatnya.

Leave a reply to Ani Cancel reply

Let me share my passion

””

My passion is to pursue and share the knowledge of how we work better with our strengthen.
The passion is so strong it can do so much wonder for Indonesia.

Fight For Freedom!
Iwan Yuliyanto

Kantor Berita Umat