Membaca kolom opini di koran Jawa Pos edisi 19/8/2015, tentang sejumlah relawan yang bakal menjadi duta besar (dubes) RI sungguh bikin saya (dan mungkin juga Anda) mengelus dada.
Imbalan jasa dan hutang budi memang sesuatu yang lumrah dalam politik. Tapi, apa yang dilakukan di masa pemerintahan Jokowi-JK ini sudah sangat berlebihan (bisa dibilang overdosis) dalam menempatkan para relawannya di segala bidang jabatan. Ini menjadi rentan berbahaya dalam konteks kenegaraan, khususnya dalam hubungan internasional. Juga dalam konteks tradisi dalam mengisi jabatan publik menjadi sangat membahayakan.
Kita musti memahami bahwa hubungan luar negeri Indonesia kedepannya akan menjadi hal yang penting dan strategis, serta penuh dengan tantangan yang kian berat. Posisi Dubes RI sangat penting untuk menjaga marwah dan kedaulatan bangsa, khususnya terkait soal perbatasan, kondisi WNI, dan terlebih di saat ini negara dalam kondisi melambatnya pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain juga, Indonesia telah menerapkan kebijakan hukuman mati bagi pengedar narkoba yang telah menuai sejumlah protes di kancah internasional. Sehingga bila asal tunjuk calon dubes non karir tanpa memprioritaskan aspek kompetensi dan pengalaman / latar belakang, … posisi Indonesia dalam hubungan internasional menjadi pertaruhan besar.
Iwan Yuliyanto
20.08.2015
——————————————–
Ketika Relawan Menjadi Dubes RI
Opini JawaPos, 19/8/2015
oleh Djoko Susilo*
KEMENTERIAN Luar Negeri RI mendapat kado istimewa pada hari ulang tahun ke-70 yang jatuh hari ini (Rabu, 19 Agustus). Kado istimewa itu berupa daftar nama 33 calon duta besar (Dubes) RI yang sepertiganya (11 orang) merupakan mantan anggota tim relawan Jokowi-JK dalam pilpres tahun lalu.
Daftar nama tersebut sudah lama menjadi gunjingan atau rasan-rasan di kalangan korps diplomatik RI. Sebab, baru kali ini ’’campur tangan’’ presiden terhadap korps diplomat profesional terjadi terlalu jauh dan dalam jumlah yang signifikan, yakni dengan mengajukan calon Dubes nonkarir sampai hampir 33 persen dari pos yang akan diisi.
Memang, tidak ada aturan tertulis yang dilanggar dalam penunjukan calon duta besar dari kalangan relawan politik presiden pemenang pemilu tersebut. Hanya, para diplomat menggunjingkan hal itu karena beberapa alasan.
Pertama, sejak masa Presiden Soeharto sampai terakhir masa kepresidenan SBY, terdapat kesepahaman antara Komisi I DPR dan Kemenlu bahwa jumlah Dubes nonkarir dalam setiap angkatan hanya 10–15 persen. Hal itu dilakukan untuk menjaga tidak terganggunya perencanaan karir korps diplomatik RI yang harus berjuang puluhan tahun guna mencapai jabatan Dubes yang merupakan puncak karir seorang diplomat.
Kedua, pengangkatan duta besar dari kalangan nonkarir bukan sekadar balas jasa politik, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman yang bersangkutan.
Namun, kali ini, Presiden Jokowi dinilai telah kebablasan dalam memaksakan kehendaknya. Memang benar bahwa seorang duta besar adalah wakil pribadi seorang kepala negara sekaligus mewakili pemerintah negaranya. Penunjukan seseorang untuk menjadi duta besar adalah hak prerogatif presiden, sama dengan pengangkatan seseorang menjadi menteri atau anggota kabinet. Jadi, presiden memang mempunyai kuasa mutlak. Namun, kuasa mutlak presiden tentu harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Misalnya, kualitas calon, pengalaman profesional, dan beberapa aspek non politis lainnya.
Penunjukan para calon duta besar tahun ini merupakan yang pertama dilakukan Jokowi. Beberapa waktu lalu, dia melantik sejumlah duta besar RI. Namun, proses seleksi dan pengangkatannya masih di bawah Presiden SBY. Hampir tidak ada masalah yang berarti, kecuali hanya duta besar RI Totok Riyanto yang mengalami penundaan ketika akan menyerahkan surat kepercayaan kepada presiden Brasil lantaran eksekusi gembong narkoba asal negara itu. SBY selama ini menyerahkan proses seleksi sepenuhnya di Kemenlu dengan sedikit pengecualian. Karena itu, hampir tidak pernah timbul keresahan atau gejolak di kalangan para diplomat karir di Pejambon.
Seleksi kali ini menimbulkan sejumlah keresahan lantaran sedikitnya dua hal. Konon, semula Jokowi menghendaki separo calon duta besar berasal dari para relawan atau pendukungnya. Dia pun menghendaki mereka ditempatkan di pos-pos strategis seperti PBB di New York, Jenewa, atau negara-negara besar seperti Rusia, Belanda, dan London. Lebih rumit, beberapa kelompok relawan, kabarnya, mengirimkan nama-nama tokohnya untuk menjadi Dubes langsung ke Kemenlu tanpa koordinasi ke Sekretariat Negara sebagaimana lazimnya selama ini.
Menlu Retno Marsudi, sebagai diplomat karir, memproses dan menyeleksi calon Dubes melalui proses baku, yakni melalui lembaga ’’baperjakat’’ (badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan) Kemenlu. Tentu, daftarnya sesuai dengan persepsi kepentingan diplomasi RI. Daftar tersebut ditolak Jokowi karena jatah relawan kurang banyak. Akhirnya, setelah bolak-balik, dihasilkan 33 nama yang 11 di antaranya berasal dari para relawan.
Memang, di antara sejumlah nama relawan yang diajukan Jokowi, ada yang tepat dan sangat layak menduduki pos yang diusulkan. Misalnya, Dr Rizal Sukma yang saat ini menjabat direktur eksekutif CSIS dan ketua Biro Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah. Rizal diajukan untuk menjadi calon duta besar untuk UK merangkap Republik Irlandia.
Namun, beberapa nama lainnya kurang memenuhi kriteria minimal sebagai calon duta besar. Pengalamannya hanya aktif dalam sebuah ormas dan kemudian menjadi relawan Jokowi.
Tentu, hal yang demikian menjadi keprihatinan sebagian kalangan korps diplomatik. Sebab, duta besar adalah wakil negara dan bangsa. Kalaupun dia tidak berasal dari diplomat karir, diharapkan calon yang bersangkutan menunjukkan kapasitas sebagai calon diplomat dan memiliki pengetahuan dasar diplomasi yang mumpuni.
Banyaknya relawan Jokowi sebagai calon Dubes nonkarir jelas meresahkan kalangan diplomat karir. Gelombang pertama yang ’’hanya’’ 30 persen kabarnya akan disusul badai yang lebih dahsyat.
Sebenarnya, kalangan korps diplomat karir bisa menerima penunjukan Dubes nonkarir sebagai hak prerogratif presiden. Tetapi, hak tersebut semestinya tidak digunakan secara semena-mena. Pertama, calon yang diangkat mesti menunjukkan kualitas minimal calon diplomat. Kecakapan bahasa asing, khususnya Inggris, harus paripurna.
Kedua, calon memiliki pengalaman profesional di bidangnya secara memadai. Ketiga, jumlah alokasi tidak sangat besar hingga mencapai sepertiga angkatan atau lebih.
Sudah seharusnya Presiden Jokowi memikirkan kepentingan diplomasi dan politik luar negeri Indonesia secara komprehensif.
*) Mantan Dubes RI untuk Swiss.
[…] namanya melambung saat “berkonflik” dengan PSSI karena FIFA. Judul tulisannya “Ketika Relawan Menjadi Dubes RI†yang dimuat di Kolom Opini JawaPos, 19/8/2015. Tahu nggak apa yang ditulisnya? Kata Djoko Susilo, […]
relawan jokowi? wah mengko endinge mung dagang BUMN nggo mamak banteng kuwi mas. Btw mampir yo soal unek2ku tentang cocotane ade armando ngomongke duit haji nggo pembangunan http://anotherorion.com/dana-haji-untuk-kemaslahatan-bersama/
sngt tidak strategis bg kekuatan Hubungan International RI, Dubes jabatan serius bukan ngasal..
begini klo kekuasan negara tidk dtangan rakyat tapi sekelompok golongan, Republik Oligarki.
hnya berdoa smg mereka smua dpt menunjukan profesionalitasnya bg bangsa..
Wallahul musta’an.
Ada bocoran dubes untuk negara mana saja kah itu, pak?
Ini nama-nama calon dubes yang diajukan Jokowi. Silakan gugling rekam jejaknya. Menurut penilaian DPR, nuansa politisnya kental banget, karena banyak calon yang non karir.
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/658763-ini-33-nama-calon-dubes-baru-ri-untuk-negara-sahabat
Cuma bisa berdo’a sambil ngelus dada….
Miris banget bacanya Mas Iwan…
Makin gonjang ganjing aja sekarang mah…
Salam kenal.
https://sihalohoisme.wordpress.com/2015/08/12/politik-balasisme/
Salam kenal juga, bung Sihaloho
Reblogged this on Diplomat Things and commented:
Well, saya sebagai mantan mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional sangat menyayangkan posisi Duta Besar Indonesia malah menjadi ‘dagelan bagi-bagi jabatan’ pak Jokowi. Ini menyangkut kepentingan nasional bangsa Indonesia loh pak.. ckckckck
Memang menguatirkan, dari 33 nama calon dubes saat ini, sepertiganya non-karir. Sedangkan, dubes yg pulang merupakan diplomat karir. Apabila hal itu terjadi maka sistem in &out mengalami proses ketidakseimbangan krn banyak diplomat karir yg selesai bertugas tidak memiliki pos jabatan di Kemlu sesuai level kepangkatannya.
Peraturan perundang-undangan Indonesia memang tidak mewajibkan seorang dubes berasal dari diplomat karir. Namun, jangan sampai mengisi pos tsb oleh orang yg tidak pernah berkarir di dunia diplomatik. Diplomat memiliki kemampuan, ilmu, etika dan protokoler sendiri.
Seharusnya Presiden Jokowi memperkuat sistem meritokrasi di Kemenlu, salah satu caranya adalah dgn mengangkat dubes dari pejabat karir di kementerian tsb.
Ngeri mas. Ketika amanah tidak diberikan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya. Hanya bisa berdoa, semoga pemimpin negeri ini diberi hidayah oleh Allah swt. Semoga bangsa ini dilindungi Nya
T.T
dagelan episode berapa inih? -__-“
Entah episode yg keberapa, banyak banget. Yang jelas dagelan yang gak lucu
Memang aneh para petinggi di negara kita saat ini….
Bukan hanya dubes saja, beberapa bulan yg lalu juga heboh perihal mobnas yang melibatkan petronas… dan konon, itu juga politik balas budi….
Ah, mau dikemanakan bangsa ini?
Semoga di 70 thn kemerdekaan negara ini, makin banyak anak2 muda yg tengah bersiap2 menyambut tongkat kepemimpinan berikutnya…
#menunggu negarawan sesunggunya
Soal mobnas yg melibatkan petronas, itu betul, ada harga yang harus dibayar untuk timses.
Ada juga yang lebih mengenaskan terkait pengelolaan negeri ini melalui BUMN – BUMN
http://economy.okezone.com/read/2015/03/25/320/1124317/600-posisi-di-bumn-ditawarkan-rini-soemarno-ke-relawan-jokowi
Negara ini jadi permainan presiden terpilih dan para pengusungnya. Seenak jidat mereka bikin aturan sendiri dan nabrak konstitusi. Sy rasa negara ini bagai kapal tanpa nahkoda. Kacau!
Ketika jabatan diobral.. maka dapat dipastikan kualitas dan kapasitas tak jadi pertimbangan.
Namun demikian kita masih bisa berharap di parlemen, masih banyak orang baik di sana yang bisa meluruskan yang bengkok.
Minoritas
Jadiiii mau “jadi apa dan dibawa “kemana negara kita sama bapak Presiden kita..??
jawaban paporit.. aku ra mikir..
Hehe kang Tiar mah…
Bantu do’a dari Jerman ya, teh .. agar negeri ini sembuh dari intrik-intrik politik dan nafsu kekuasaan.
إِنْ شَاءَ اللّهُ mas…