Home » Media & Journalism » Distorsi Istilah Dalam Pemberitaan Kasus Benny Handoko

Distorsi Istilah Dalam Pemberitaan Kasus Benny Handoko

Blog Stats

  • 2,305,343

PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Lisensi Creative Commons

Adab Merujuk:
Boleh menyebarluaskan isi blog ini dengan menyebutkan alamat sumber, dan tidak mengubah makna isi serta tidak untuk tujuan komersial kecuali dengan seizin penulis.
=====
Plagiarisme adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan intelektual kita bersama.

Follow me on Twitter

Bila Anda merasa blog ini bermanfaat, silakan masukkan alamat email Anda untuk selalu mendapat artikel terbaru yang dikirim melalui email.

Join 6,365 other subscribers
–: Bedah Kasus Pencemaran Nama Baik: Kasus @benhan :–

Bismillah…

Masih tentang jurnalisme dan media. Jurnal kali ini membahas kasus pidana pencemaran nama baik dan penghinaan / penistaan oleh Benny Handoko [@benhan] terhadap Mukhamad Misbakhun [@misbakhun] yang kini proses hukumnya sedang berjalan. Kita sebut saja dalam jurnal ini dengan “Kasus @benhan”.

Saya merasakan ada distorsi atau pengaburan informasi dalam beberapa pemberitaan di media tentang kasus tersebut, baik itu disebabkan karena ucapan tokoh penegak hukum, pengamat politik, aktivis sosial media / seleb-twit, atau datang dari jurnalis itu sendiri. Kekeliruan pemakaian istilah-istilah dalam pemberitaan kasus ini berpotensi keliru juga dalam pengambilan sikap dan keputusan. Istilah-istilah tersebut adalah: perang twit (twitwar), kebebasan berpendapat, dan kriminalisasi.

Untuk itu melalui jurnal ini saya ingin mencoba mengupas substansi permasalahannya agar efektif dalam upaya pencegahannya, yaitu tidak berulangnya kasus tersebut atas pelanggaran pasal 27 ayat 3 UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Saya menyajikannya menjadi 3 bagian: [1] Kronologi dan Perkembangan Kasusnya; [2] Bedah kasus dan Pelajaran yang bisa diambil; [3] Daftar kasus pencemaran nama baik.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendukung salah satu pihak, namun diniatkan untuk edukasi dan semangat untuk membangun jurnalisme yang baik di Indonesia. Semoga Kasus @benhan ini menjadi pelajaran penting bagi kita.


Kronologi Kasus Benny Handoko

Kronologi di bawah ini bersumber pada chirpstory yang berisi twit-twit antara Misbakhun dan Benhan pada Desember 2012. [chirpstory]

Benny Handoko pemilik akun twitter @benhan telah memosting twit tuduhan dan hinaan kepada Mukhamad Misbakhun pemilik akun twitter @misbakhun pada 8 Desember 2012. Benny Handoko adalah pengamat politik dan juga aktivis media sosial. Sedangkan Misbakhun adalah mantan anggota DPR dan mantan politikus PKS yang kini menjadi kader Golkar. Tuduhan yang dilontarkan Benny adalah sebagai berikut:

benhan
Misbakhun tidak terima disebut sebagai perampok Bank Century oleh Benny. Awalnya, Misbakhun tidak tahu kicauan Benny ini, karena Misbakhun bukan follower Benny, dan Benny pun bukan follower Misbakhun. Namun, seorang follower Misbakhun me-retweet kicauan Benny dan di-mention ke akun Misbakhun. Dari sinilah, Misbakhun baru tahu, jika dirinya disebut sebagai perampok Bank Century.

Misbakhun tidak mengenal Benny, dan dia sudah mencoba berkali-kali meminta Benny untuk menjelaskan maksud kicauannya ini. Namun, tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Bahkan untuk klarifikasi, Misbakhun meminta kopdar dengan Benny, namun tidak dipenuhi oleh Benny.

Merasa nama baiknya dicemarkan dan tidak ada permintaan maaf dari Benny, Misbakhun kemudian melaporkan ini ke Polda Metro Jaya dengan nomor laporan no: TBL 4262/XII/2012/PMJ/Ditreskrimkus, tertanggal 10 Desember 2012, dengan terlapor Benny Handoko. Sebagai barang bukti adalah capture tweet antara @misbakhun dan @benhan.

Perkembangan Kasus Benny Handoko

Benny akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada Mei 2013 dengan pasal 27 ju 45 UU RI no.11 tahun 2008 (UU ITE) tentang penghinaan dan pencemaran nama baik lewat media sosial.

Kemudian pada tanggal 5 September 2013, secara resmi Benny ditangkap dan dijebloskan ke LP Cipinang.
Kenapa Benny harus ditahan penyidik? Sesuai UU, penahanan tersangka harus memenuhi beberapa unsur, yaitu ancaman hukuman penjara lebih dari 5 tahun, tersangka dikhawatirkan melarikan diri, mengulangi perbuatan atau menghilangkan barang bukti. Semua ini berdasarkan penilaian penyidik.

Hanya sehari berselang, pada tanggal 6 September 2013, Benny mendapat penangguhan tahanan sehingga keluar dari penjara, setelah sebelumnya dikabarkan bahwa Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana berhasil melobi Kejaksaan Agung untuk membebaskan Benny Handoko. Langkah Denny ini oleh Pakar Hukum Pidana Andi Hamzah dinilai tidak bagus secara etika, sebab wewenang menahan seorang tersangka kasus pidana selama proses penyidikan berada di tangan Kejaksaan. Sementara, seorang Wamenkum HAM akan bertugas ketika sang tersangka, –setelah diproses di pengadilan–, dikirim ke penjara untuk menjalankan vonis hakim. Tentunya, penangguhan penahanan hanya bisa dilakukan oleh aparat Kejaksaan Agung yang bertanggung jawab atas kasus tersebut. Langkah Denny Indrayana ini bisa membuat si aparat bawahan Kejaksaan Agung kesulitan. [Okezone].

Namun, Denny Indrayana membantah telah melakukan intervensi dalam pembebasan Benny. Ia mengatakan bahwa memang kewenangan penangguhan ada di kejaksaan, ia hanya membantu komunikasi mempercepat proses penangguhan [Liputan6].

Klarifikasi yang dilakukan Denny tetap menuai kritikan, salah satunya dari anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum, Bambang Soesatyo, yang mengatakan bahwa Denny sebagai pejabat yang tidak paham etika demokrasi [Okezone]. Anda pun bisa menilainya sendiri setelah membaca twit Denny Indrayana: [Twit Denny]. Bagaimana nasib penegakan hukum pidana kalau seperti ini kondisinya?

Sekarang proses hukum sedang berjalan. Pihak Misbakhun tidak mungkin mencabut laporannya terhadap Benny Handoko. Pasalnya, berkas telah P-21 dan dilimpahkan ke persidangan.

.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus ini.

1. Jangan asal menuduh kalau tidak mempunyai bukti kuat.

Dalam kasus ini, tuduhan Benny tidak main-main, dengan mengatakan Misbakhun adalah perampok Bank Century, pembuat akun anonim penyebar fitnah, penyokong PKS, mantan pegawai Pajak di era paling korup.

Sebelumnya, Misbakhun memang pernah didakwa memalsukan Letter of Credit (L/C) Bank Century. Dia sempat dimasukkan ke dalam penjara. Pada tingkat Kasasi, divonis 2 tahun penjara dan dinyatakan bersalah. Setelah itu Misbakhun dibebaskan murni dari seluruh dakwaan setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali-nya. Dia dinyatakan tidak terbukti bersalah memalsukan L/C Bank Century. Nah, karena hal inilah Misbakhun berhak menuntut Benny lantaran dalam kasus Century dirinya telah dinyatakan tidak bersalah. Bila sudah diputuskan oleh MA, maka seharusnya setiap orang menghormati putusan hukumnya daripada menuduh perampok.

2. Bila dituduh, dan yakin bersih, segeralah minta si penuduh untuk mengklarifikasi.

Langkah Misbakhun sudah tepat yaitu segera meminta bertemu langsung dengan Benny agar ia bisa menjelaskan semuanya dengan baik ke Benny, namun Benny menolak dengan arogan. Simak percakapan berikut:
Misbakhun: “Saya tunggu kopdarnya. Ayooo..!!!”
Benny: “Maaf saya ga tertarik kopdar sama Misbakhun. Bukan tipe saya… sekali lagi, maaf ya.”

3. Saling maaf-memaafkan adalah lebih baik.

Mengakui kesalahan dan kemudian meminta maaf adalah perbuatan yang sangat elegan, terlebih lagi mampu memberi maaf, dan itu adalah salah satu karakteristik pemimpin yang berhasil. Dan mestinya semakin dewasa dan pintar seseorang, ia semakin tahu bagaimana cara meminta maaf atas kekhilafannya. Yang memberatkan seseorang meminta maaf atas khilaf dan salahnya adalah “ego” dan “kebodohan”. Logikanya sederhana, saat ada twit kita yang salah.. ya segera minta maaf. Jangan menjadikan nama besar atau jumlah followers sebagai pertimbangan untuk meminta maaf.

Dari chirpstory bisa kita lihat bahwa saat itu Misbakhun sudah memberikan kesempatan atau membuka ruang kepada Benny untuk minta maaf.
Misbakhun: “Saya beri kesempatan kepada Bung @benhan untuk mencabut isi tweetnya dan meminta maaf.”
Peringatan pertama ini diabaikan Benny. Kemudian Misbakhun mengulangi peringatannya kembali.
Misbakhun: “Bung @benhan, permintaan saya, Anda menarik isi tweet. Dan Anda minta maaf. Bukan meralat. #sangatserius”
Sayangnya, peringatan kedua ini pun tidak direspon dengan baik oleh Benny, yang ada adalah pernyataan-pernyataan Benny yang keras kepala dan muter-muter mengalihkan fokus ketika merasa tersudut. Ini artinya Benny telah menolak untuk meminta maaf. Sehingga, Misbakhun terpaksa menempuh jalur hukum.

Pengacara Misbakhun, Dewi Sartika, mengatakan selama ini Benny tidak menunjukkan itikad baik untuk mengklarifikasi ucapannya di jejaring sosial Twitter. Sejak kali pertama Benny menyampaikan tudingannya kepada Misbakhun melalui Twitter pada akhir 2012 lalu, pihaknya selalu membuka ruang lebar agar tudingan itu diklarifikasi. Akan tetapi, niat baik Misbakhun tak pernah terlihat dan malah menganggap klarifikasi tak penting dilakukan [Kompas].

4. Menempuh jalur hukum bila upaya poin ke-2 dan 3 gagal.

Dalam sebuah petisi untuk pembebasan Benny (#FreeBenhan) ada distorsi informasi yang menyesalkan tindakan Misbakhun yang dirasa begitu mudah membawa masalahnya ke jalur hukum [Petisi Change.org]. Padahal kalau Anda menyimak dengan seksama rekam jejak dalam chirpstory, Misbakhun sudah melapangkan dada untuk menawarkan langkah no. 2 dan 3 di atas, namun hal itu ditolak oleh Benny dengan sikap arogannya. Jadi, langkah yang dilakukan Misbakhun menurut saya adalah tepat, tidak bisa dibilang salah, dia telah menggunakan haknya. Pihak Polda Metro Jaya sebagai penegak hukum tentu wajib memproses pengaduan Misbakhun sebagaimana mestinya, sesuai hukum yang berlaku di republik ini.

Sayangnya, tiba-tiba banyak pihak yg meradang marah dengan penahanan Benny tersebut. Apakah mereka tahu persis kejadian dan fakta-faktanya sehingga membela membabi buta di Twitter dengan tagar #FreeBenhan?

Misalnya pembelaan yang datang dari Todung Mulya Lubis yang menuduh polisi tidak tahu perkembangan hukum pidana modern [Twit TMLubis 1], dan anehnya Todung Mulya Lubis menyebutkan Kasus @benhan sebagai kriminalisasi [Twit TMLubis 2]. Kemudian pembelaan dari jurnalis Andreas Harsono yang mengatakan bahwa delik penghinaan pada Kasus @benhan sama dengan Criminal Defamation in Democracy system [Twit Andreas].

Sungguh mengherankan pendapat mereka tersebut itu, seolah-olah mendukung atau melegitimasi penghinaan antar warga negara kepada warga negara lain.

Silakan pahami Article19 tentang Criminal Defamation, bahwa konteks “Criminal Defamation in Democracy system (CDIDS)” tidak dapat diterapkan pada Kasus @benhan. Mengapa? Karena tidak relevan dan tidak berdasar. Alasannya:
[Pertama] Penerapan CDIDS atau kriminalisasi itu hanya bisa relevan jika Misbakhun saat dihina dina dan dicemarkan nama baiknya MASIH menjabat sebagai pejabat negara. Faktanya: Misbakhun adalah rakyat biasa, bukan pejabat negara saat kasus ini.
[Kedua] Penerapan CDIDS itu hanya relevan jika kritik-kritik yang dilontarkan Benny Handoko terkait dengan tugas dan perilaku Misbakhun yang diduga menyimpang. Persoalannya adalah, selain substansi penghinaan oleh Benny itu tidak relevan, substansi penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut keliru karena sudah ada keputusan hukum tetap yang membebaskan Misbakhun dan merehabilitasi nama baiknya, yaitu putusan MA. Misbakhun adalah bukan pejabat negara, dia warga negara biasa, yang sudah dinyatakan tidak bersalah dan sudah direhabilitasi namanya oleh negara. Dengan demikian Kasus @benhan bukan kriminalisasi.

5. Kebebasan berpendapat bukan berarti bebas memfitnah.

Bagi mereka yang tidak menyimak rekam jejak chirpstory Benhan vs Misbakhum akan mudah beropini bahwa kasus ini lebay amat, ledek-ledekan di twitter kok berujung ke ranah hukum, Misbakhun cengeng, Misbakhun tukang wadul (gampangan melapor), Misbakhun tidak siap dengan kebebasan berpendapat, dan kesan negatif lainnya.

Hey, Kasus @benhan ini bukan soal kebebasan berpendapat, tapi jauh lebih dari itu yaitu berpendapat yang kebablasan alias tidak bertanggungjawab. Menuduh tanpa bukti, melecehkan orang di ranah publik. Misbakhun bukan cengeng, dia tidak serta merta melaporkan Benny ke Polda, namun dia sudah mencoba minta penjelasan Benny dan koreksi atas twit-twit yang keliru. Misbakhun terpaksa melaporkan Benny karena menilai tidak ada itikad baik dari Benny untuk meluruskan, koreksi apalagi minta maaf.

Kalau Anda paham isi chirpstory keseluruhan, Benny vs Misbakun adalah bukan twitwar, namun persoalan utamanya adalah tuduhan pencemaran nama baik, twitwar hanya lanjutannya, bukan penyebabnya. Istilah twitwar itu adalah adu argumentasi, masih masuk wilayah wacana, dan akan selesai di Twitter. Tapi pencemaran nama baik itu bukan wacana, karena itu masuk wilayah hukum, maka akan selesai bila dibawa ke ranah hukum. Maka sangat disayangkan bila ada media yang mendistorsi informasi melalui pengaburan judul seperti ini: “Ini “Perang Tweet” Benhan dan Misbakhun yang Berujung Penjara” [Kompas]. Hanya dari judul bisa mencuci otak pembaca, maka lihatlah betapa banyak mereka yang menulis di twitter dengan status: “Ditahan gegara twitwar?! Speechless” atau “Negara apa ini hanya gara-gara twitwar masuk penjara?!”. Sehingga mereka berpotensi mendukung #FreeBenhan secara membabi buta tanpa melihat akar masalahnya.

Deklarasi HAM Pasal 29 ayat 2 berbunyi:
“Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.”

Jelas bahwa sesuai pasal 29 Deklarasi HAM tersebut, kita boleh bebas berpendapat tetapi harus bertanggungjawab. Tidak boleh melanggar UU lain, seperti yang berlaku di Indonesia yaitu UU KUHP dan UU ITE.

Oleh karena itu, mari menggunakan kebebasan berpendapat di media sosial se-positif mungkin. Tidak menyakiti orang lain itu sama dengan menghargai diri sendiri. Menista dan merendahkan pribadi orang lain itu hanya menunjukkan betapa kerdil dan hinanya diri kita.

Jadi, bila Anda ingin mengkritik atau melawan seorang koruptor misalnya, maka lawanlah dengan cara yang pantas dan ksatria. Saya teringat pesan ust. Salim A. Fillah: “Di antara bukti iman pada Allah dan hari akhir adalah bicara baik, benar isinya, indah caranya, tepat waktunya, bermanfaat, dan berpahala, atau diam”.

6. Menuduh orang tanpa bukti atau memfitnah orang itu melanggar pasal 310 dan 311 KUHP.

Pada dasarnya, untuk dikatakan sebagai fitnah perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur pasal 311 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
Unsur-unsur tersebut adalah: [1]. Seseorang; [2] Menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan; [3]. Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut diketahuinya tidak benar.

Unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP ini harus merujuk pada ketentuan menista pada Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi:
“Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-“

Mengenai Pasal 311 ayat (1) KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, mengatakan bahwa kejahatan pada pasal ini dinamakan memfitnah. Atas pasal ini, R. Soesilo merujuk kepada catatannya pada Pasal 310 KUHP no. 3 yang menjelaskan tentang apa itu menista. Untuk dikatakan sebagai menista, penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu” dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Jadi, sepanjang tuduhan itu tidak tersiar atau diketahui orang banyak, maka perbuatannya itu tidak dapat dikatakan sebagai fitnah.

Jika yang dituduhkan tersebut benar akan tetapi tersiarnya tuduhan tersebut bukan demi kepentingan umum atau membela diri sendiri (Pasal 310 ayat [3] KUHP), maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP tentang penistaan atau penghinaan. Jika tuduhan perbuatan tersebut terbukti tidak benar, maka dapat dipidana dengan Pasal 311 ayat (1) KUHP mengenai fitnah.

Dan bila mengacu isi twit Benny, tulisan tersebut juga memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP dan penulisnya dapat dijerat dengan pasal pencemaran nama baik.
Mengapa dikatakan memenuhi unsur? Karena dalam twit tersebut, Benny jelas menyebutkan nama orang beserta kalimat-kalimat penistaan dan tuduhan-tuduhannya, disiarkan di ranah publik, namun tidak bisa membuktikan tuduhan-tuduhannya tersebut.

7. Memfitnah orang dalam ranah social-media itu berpotensi melanggar pasal 27 UU ITE ayat 3.

Kepala Seksi Pidana Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Agung Ardiyanto mengatakan bahwa Benny Handoko terancam pidana maksimal 6 tahun bui atas pencemaran nama baik yang dilakukanya terhadap Misbakhun. Pasal yang diterapkan terhadap bersangkutan Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 1 UU No 11/2008 tentang ITE. Selain penjara 6 tahun bui, Benhan juga terancam denda Rp 1 Miliar. Penahanan Benhan pada Kamis (5/9) kemarin telah diatur dalam KUHAP Pasal 21 dan dikaitkan dengan UU ITE. [Skala News].

Bunyi Pasal 27 ayat 3 UU ITE seperti berikut:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”

Sedangkan pasal pidananya adalah pada pasal 45 ayat 1:
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Menurut saya, pasal ini seharusnya tidak perlu ada karena muatan “pencemaran nama baik” sudah dikandung dalam pasal 310 dan 311 KUHP. Dalam tulisan terpisah, akan saya jelaskan mengapa keberadaan pasal ini harus ditolak. Namun demikian, selama pasal dalam UU ITE ini sudah berlaku, maka wajib kita ikuti aturan mainnya sebagai bagian dari ketaatan hukum,

8. Hati-hati membaca berita di media massa, teliti dulu kebenarannya sebelum ikut menuduh secara membabi buta.

Saya tergelitik menulis poin ini karena membaca twit Misbakhun yang merespon Benhan:
Benhan: “Tempo: Diduga ada Suap di balik Vonis Bebas @Misbakhun [link berita Tempo]
Misbakhun: “Soal berita di Tempo silahkan saja diteruskan dg investigasi KY kenapa merujuk ke berita KONON. Fokus ke isi tweet.”

Kemudian dalam sebuah berita mengatakan bahwa istri Benny Handoko, Lola mengakui bahwa suaminya sering berkicau tentang politik melalui Twitter. Menurut Lola sejak awal kasus ini memanas, dirinya sudah meminta Benny untuk meminta maaf, namun Benny tidak mau karena dia merasa benar. [Tempo]

Jadi, jika kita ingin mengkritik, mengungkap kejahatan dan mengungkap kemunafikan, kita harus punya dasar / bukti yang kuat dari sumber yang bisa dipercaya. Kita harus memahami hukum dan etika dalam setiap aktivitas termasuk di social-media. Kasus Benny Handoko dan kasus-kasus sebelumnya mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati berpendapat di ruang publik. Bukan berarti berhenti menyuarakan perang terhadap korupsi atau ketidakadilan/kemunafikan, tetapi mengemasnya dengan lebih baik dan santun dengan disertai bukti yang kuat.

Pada halaman 2 jurnal ini saya buat kompilasi daftar kasus mereka yang terjerat UU ITE atas pencemaran nama baik.

Semoga kelak kita tidak mempunyai nasib seperti joke ini [Twit Misbakhun]:

Beberapa tahun kedepan akan bisa jadi terbit sebuah buku dengan judul: “Gara-gara Jempol. Aku Masuk Penjara” #JokeMalam

Salam hangat penuh semangat,
Iwan Yuliyanto
09.09.2013

=================================================
Lanjut ke halaman 2: Daftar Kasus Pencemaran Nama Baik
=================================================

.
Referensi:

Pages: 1 2


53 Comments

  1. Kantor Pengacara Perceraian says:

    I was able to find good information from your blog articles.

  2. titintitan says:

    yeaay! jadi tau duduk persoalannya.
    dari kemaren penasaran #FreeBenhan itu apa dan siapa.

    nuhuun pak iwan jurnalnya *meski telat baca 😀

    di twitter emang sangat berlaku mulutmu harimaumu yak.. eh bukan di twitter aja siy..

    setuju sekali dengan tausyiah Ust Salim itu ^^

  3. kasamago says:

    terlepas dari berbagai pelik masalah yg mengsimbiosisny, intinya kasus ini dpt mnjadi pelajaran para netter, meksi media bebas nmn wajib tetap menjaga koridor berduniamayaan yang bertanggung jawab.

  4. MartoArt says:

    Tambahan dikit..

    Iwan: Sampeyan pun bisa menyerang saya dengan dalih menyebarkan berita bohong, karena sajian pisang goreng sesungguhnya adalah fiktif. Dan sampeyan tuntut saya berdasar pasal 28 ayat 1 UU ITE

    _____

    Kalau saya membenhankan bung, itu bukan karena pembohngan suguhan, tapi karena judul tulisan ini saya pikir untuk kisah lain; Distorsi Istilah Dalam Kasus Vicky

    :))

  5. MartoArt says:

    Iwan: “Yang dilarang di Indonesia dalam berpendapat di negara demokrasi adalah:
    Berpendapat dg menghina atau mencemarkan nama baik (psl 27 ay 3);
    Berpendapat menyebarkan hoax (psl 28 ay 1);
    Berpendapat yg memicu kebencian atas dasar SARA (psl 28 ay 2)
    Sesuai prinsip keadilan, pasal-pasal tsb ada untuk melindungi orang yg dirugikan dalam dunia maya.”

    ____

    Lha terus apa yg salah? Bukankah kalau yg bung maksud hendak mengikuti aturan hukum positif bukankah kita tunggu saja hasilnya?

    Kenapa seolah memosisikan saya sebagai orang yg melawan hukum?
    Yg saya lawan (Tolong dicermati) adalah esensi dari pasal2 itu. Anda tahu itu ada namanya proses Judicial Review. Mengajukan hal ini bukan berarti melawan hukum. Hal ini bahkan diridlohi dlm negara berprinsip demokrasi.

    Dan mana pisang gorengnya kok belom keluar?

    • Okey, akhirnya saya paham dasar pijakannya, sepertinya diantara kita sama visi-nya, hanya saja start-nya yg berbeda, begini … cmiiw ya …

      Pijakan start Bung Marto:
      #FreeBenhan yg sampeyan dukung adalah sebagai upaya juga untuk men-trigger gerakan dukungan/desakan terhadap judicial review atas pasal pencemaran nama baik. Jadi keduanya berjalan paralel.

      Sedangkan pijakan start saya adalah keduanyanya berjalan serial.
      Pertama, membiarkan proses hukum pidana terhadap Benhan berjalan sesuai hukum yg berlaku. Tanpa harus ikut #FreeBenhan. Karena Benhan sudah secara sadar diberikan ruang klarifikasi oleh pelapor. Karena ia menolak, semoga menjadi pelajaran baginya. Saya berharap bisa selesai dengan islah / damai antara keduanya.
      Kemudian kedua, di sisi lainnya, saya mendukung upaya judicial review atas pasal pencemaran nama baik di UU ITE.

      Mengapa saya mendukung?

      Pasal penghinaan dalam UU ITE harus dihapuskan via MK atau Revisi UU oleh DPR. Pasal penghinaan UU ITE ini punishmentnya puluhan kali lebih berat dari pasal penghinaan dalam KUHP dengan alasan widespread (luas jangkauan penyebarannya) karena menggunakan jalur internet / telekomunikasi.
      Namun nyatanya, pasal penghinaan dalam UU ITE ini sekarang sudah mulai menjadi senjata tak terkendali, dipakai untuk menyerang siapapun.
      Seperti yang saya tulis dalam jurnal di atas (poin 7) tentang ketidak-setujuan saya terhadap pasal penghinaan dalam UU ITE, unsur delik ‘tanpa hak’ dibiarkan lepas ditafsirkan oleh aparat sendiri. Maka pasal ini harus segera diperbaiki atau ditarik.

      Pasal tersebut bisa tak terkendali, bisa berbalik menyerang diri atau teman sendiri. Sampeyan pun bisa menyerang saya dengan dalih menyebarkan berita bohong, karena sajian pisang goreng sesungguhnya adalah fiktif. Dan sampeyan tuntut saya berdasar pasal 28 ayat 1 UU ITE

      Saya rasa kalau kesimpulan penafsiran ini benar, maka mari salaman, meski beda start 🙂

    • MartoArt says:

      Boleh jadi begitu bung. Saya tak kenal Benhan. Meski juga tak kenal, saya bbrp kali diskusi bareng sama Bakhun. Ini sekadar menegaskan keberpihakan yg saya pilih bukan berdasar kedekatan. Tak ada dlm kamus saya.

      Hanya tak henti mengingatkan bahwa fasisme bisa menyamar lewat apa saja, lewat siapa saja. Ini yg kita lawan sejak di MP dulu.

      Pan-kapan kita lanjut lagi. Nurokne Anak. 🙂

      Trims undangannya.

    • bimosaurus says:

      Duh aku telat.. sadar-sadar wis ngantuk….

  6. MartoArt says:

    Iwan: “Nah, yang saya belum paham adalah mengapa Bung Marto mendukung #FreeBenhan? Seakan-akan membolehkan warga negara menghina warga negara lainnya. Maaf, jawaban sampeyan sebelumnya belum kena substansinya.
    Kalau Benhan dibela, bukankah itu sama dengan mengangkangi hukum / UU yang berlaku?
    Tanpa UU itu, bagaimana prinsip keadilan thd orang yg merasa dirugikan di dunia maya? Ekses buruk dari sebuah tulisan negatif itu dahsyat.
    Pasal dalam HAM yg saya rujuk sudah tepat, tidak bertentangan dengan prinsip keadilan”.

    ____

    Pertama bung lupa bahwa sejak awal saya telah menjelaskan tak peduli siapapun orangnya, Benhan atau Budi. #FreeBenhan saya ikuti karena hal yg sudah saya jelaskan sebelumnya. Tak perlu saya ulang.

    Ke dua, Mekanisme hukum yg ada sudah benar, tak perlu bung salah membaca pernyataan saya sehingga muncul omongan mengangkangi hukum. Tapi tak apalah, ini hanya membuat saya juga bisa mengerti kenapa bung tak mengerti substansinya.

    Sepertinya bung juga tak menhiraukan kata ‘ketertundukan’ yg saya sertakan dalam diskusi ini. Bukankah jelas ketertundukan terhadap apa?

    Tak ada kontradiksi sekali lagi. Tolong cermati.

  7. Ini lanjutan dari diskusi di bawah ini:

    MartoArt said:
    Tentang DUHAM, kontradiksi mana yg Anda maksudkan dgn pernyataan saya bung? coba dicopast dan diperbandingkan.

    Deklarasi HAM Pasal 29 ayat 2 berbunyi:

    “Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.”

    Pernyataan Bung MartoArt yang kontradiksi dengan di atas:

    MartoArt said:
    HAM pada fitrahnya digagas oleh sikap melawan penindasan atas manusia. Penggagasnya adalah mereka yg memahami ketertindasan. HAM harus menjadi semangat pertama kebebasan kemanusiaan. Itulah kenapa saya mencoba setia di jalan ini.

    Kemudian kalau ada yg bertanya siapa yg menindas dan ditindas di kasus Bakhun Vs Benhan (BvB) ini? saya akan menjawab yg ditindas adalah kebebasan orang bicara. Saya tak peduli isiya apalagi pelakunya. Saya hanya peduli akan eseni orang untuk berbicara. Saya menjunjung falsafah itu.

    Mau menghujat, mau mendukung, blasphemy, opini, sekadar nyonthong, pernyataan tolol, kasar, santun, sopan, sampah, dst terserah saja. Ada ruang hukum buat mengujinya: Pengadilan positif.

    Yang saya garis bawahi adalah untuk perbandingan.

    • MartoArt says:

      Oh itu. Kalau Anda baca sedikit lebih jeli mengenai esensi akan kebebasan orang berbicara, dengan ketertundukan orang pada UU yg mengadili isi pembicaraan, maka tak ada kontradiksi sama-sekali.

      Negara demokrasi yg benar adalah membuka siapapun untuk bebas bicara, berpendapat, bahkan jika berbeda pandangan tentang apa itu demokrasi itu sendiri. Kalau pernah dengar istilah demokrasi memakan induknya sendiri, atau demokrasi membunuh dirinya sendiri, seperti itulah gambarannya.

      Kenapa HTI bisa tumbuh di Indonesia? di Inggris? Karena demokrasi. Kenapa polisi tak mencokok khotbah orang FPI yg ancam bunuh orang lain? Itu bukan demokrasi. Jadi sebaiknya dikit jeli dlm membaca kalimat saya.

      Semoga membantu yg lain juga.

    • MartoArt said:
      … mengenai esensi akan kebebasan orang berbicara, dengan ketertundukan orang pada UU yg mengadili isi pembicaraan, maka tak ada kontradiksi sama-sekali.

      Saya coba urutkan case-nya begini:

      1. Ada KUHP, di dalamnya mengandung pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.
      2. Ada UU ITE, yg sudah ditetapkan th 2008, di dalamnya mengandung pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.
      3. Suatu hari Benhan mengeluarkan statement, sbg warga negara ia mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat.
      4. Namun pendapat yg Benhan keluarkan itu menabrak dinding poin 1 dan 2 diatas, yaitu dengan menghina dan mencemarkan nama baik Misbakhun, padahal nama Misbakhun sudah di-rehabilitasi oleh MA.
      5. Karena jalan damai gagal, Misbakhun menuntut Benhan dg dasar poin 2
      6. Polisi mempelajari kasusnya, proses penyidikan menetapkan Benhan bersalah, kemudian Benhan ditahan atas dasar pasal 21 KUHAP.

      Nah, yang saya belum paham adalah mengapa Bung Marto mendukung #FreeBenhan? Seakan-akan membolehkan warga negara menghina warga negara lainnya. Maaf, jawaban sampeyan sebelumnya belum kena substansinya.
      Kalau Benhan dibela, bukankah itu sama dengan mengangkangi hukum / UU yang berlaku?
      Tanpa UU itu, bagaimana prinsip keadilan thd orang yg merasa dirugikan di dunia maya? Ekses buruk dari sebuah tulisan negatif itu dahsyat.
      Pasal dalam HAM yg saya rujuk sudah tepat, tidak bertentangan dengan prinsip keadilan.

    • Lanjut atas komentar sampeyan:

      MartoArt said:
      Negara demokrasi yg benar adalah membuka siapapun untuk bebas bicara, berpendapat, bahkan jika berbeda pandangan tentang apa itu demokrasi itu sendiri.

      Memang tidak ada larangan di negeri ini untuk berbeda pandangan tentang apa itu demokrasi. Dalam kasus ini tidak ada masalah soal itu.
      Yang dilarang di Indonesia dalam berpendapat di negara demokrasi adalah:

      • Berpendapat dg menghina atau mencemarkan nama baik (psl 27 ay 3);
      • Berpendapat menyebarkan hoax (psl 28 ay 1);
      • Berpendapat yg memicu kebencian atas dasar SARA (psl 28 ay 2)

      Sesuai prinsip keadilan, pasal-pasal tsb ada untuk melindungi orang yg dirugikan dalam dunia maya.

  8. MartoArt says:

    Kok ga bisa reply lagi? Ga ada tombol reply di tempat sampeyan. Test.. Test..

  9. debapirez says:

    wuih…mantaf. akhirnya jadi juga tulisan ini supaya teman-teman yang mau tahu kasus ini memiliki data yg cukup lengkap.

    Dalam kasus twitar BvB saya ikut memantau. Dan terlihat keegoisan Benhan untuk meminta maaf kalau apa yg di-twit-kannya salah.

    Sbnrnya sich banyak jg yg sebel sm Benhan. Cuma karena do’i jd simpatisan SRI makanya banyak yg bela xixixi….

  10. araaminoe says:

    Suka sekali dengan jurnal ini, terutama untuk point pointnya, tapi we’re living in such “amburadul” world, siapa yang “mewadulkan” siapa, siapa yang benar dan siapa yang salah [grey area], hmmm… mungkin saling memaafkan adalah point yang terpenting..

    • Betul, masalah selesai kalau mereka islah atau damai.
      Benny bersedia minta maaf dan mencabut segala tuduhannya; kemudian Misbakhun bersedia menerima maafnya dan mencabut tuntutannya, meski agak repot prosesnya karena berkasnya sudah P21.
      Sementara proses hukum masih berlangsung, kita tunggu saja kabarnya.

      Ini juga pelajaran penting buat mbak Asmie agar hati-hati kalo meng-kritisi bosmu atau siapapun di ranah publik, lebih baik disamarkan penyampaiannya 🙂

    • araaminoe says:

      Jiaaah… ha ha ha *kena deh saya* 😆
      Lha niku Pak, dalem sudah tidak bisa berhati hati lagi untuk mengkritisi pimpinan saya lagi, dalem pun “mblenger” menyampaikannya, disampaikan secara nyata saja tidak digubris apalagi secara samar.. jadi sekarang dalem memilih menyerah saja, dan resign.. 😦

  11. Reblogged this on Breaking the Limit! and commented:
    Izin reblog ya Mas

  12. MartoArt says:

    Seperti biasa, bung menulis sesuatu dengan tuntas. Trims atas undangan diskusinya bung.

    1. Ga tahu kenapa saya diundang. Apakah karena saya yg bung tuju untuk melihat poin ‘Wadulan’ itu?

    2. Tulisan bung ini lebih berfokus di wilayah mana? Jurnalisme atau hukum? Pertanyaan ga penting sih, tapi sekadar mo meraba dari mana ketertarikan ngajak diskusinya.

    3. Dari situ nanti bung mungkin akan tahu kenapa saya ikut mencuit #FreeBenhan.

    Itu aja dulu, Anyway, bukannya tulisan ini ga menarik, tapi semoga sampeyan paham bila saat ini ada hal lain yg lbh menarik untuk saya perhatikan. 🙂

    • Terimakasih atas penerimaan undangannya.

      Begini …
      (1) Karena selama kenal tulisanmu di MP, Bung MartoArt sering concern masalah HAM. Saya pengen tahu pandangan HAM dari sampeyan dalam kasus ini. Dalam kasus ini, Misbakhun telah menggunakan hak-nya.
      Soal “wadulan”, memang salah satunya bung Marto pernah bilang gitu, tetapi bukan sampeyan saja yang bilang. Dengan kalimat senada itu yang saya jelajahi dan temukan dari membaca komentar-komentar di petisi #FreeBenhan & yang cuap-cuap di Twitter.

      (2) Mencoba menariknya dari sisi jurnalisme dengan latar belakang persoalan hukum, yaitu bagaimana menampilkan materi pemberitaan masalah hukum dengan baik agar pembaca tidak salah menyikapinya. Makanya saya tampilkan link masing-masing mereka yang bercuap di ranah socmed.

      (3) Nah, ini yang saya tunggu-tunggu spt poin 1. Ditunggu penjelasan atau kultwit-nya, bung.

      Untuk hal lain yang lebih menarik untuk diperhatikan, dengan senang hati bila ikut berdiskusi juga 🙂

    • MartoArt says:

      Semoga jawaban saya ini nantinya cukup membuat kita bisa saling bersepakat akan beberapa hal dan mengakui kebenaran lawan diskusi. Saya akan berbagi hal yg barangkali Anda luput dari pemikiran ttg saya dalam berpihak kepada HAM

      1. HAM pada fitrahnya digagas oleh sikap melawan penindasan atas manusia. Penggagasnya adalah mereka yg memahami ketertindasan. HAM harus menjadi semangat pertama kebebasan kemanusiaan. Itulah kenapa saya mencoba setia di jalan ini.

      Kemudian kalau ada yg bertanya siapa yg menindas dan ditindas di kasus Bakhun Vs Benhan (BvB) ini? saya akan menjawab yg ditindas adalah kebebasan orang bicara. Saya tak peduli isiya apalagi pelakunya. Saya hanya peduli akan eseni orang untuk berbicara. Saya menjunjung falsafah itu.

      Mau menghujat, mau mendukung, blasphemy, opini, sekadar nyonthong, pernyataan tolol, kasar, santun, sopan, sampah, dst terserah saja. Ada ruang hukum buat mengujinya: Pengadilan positif. Selama belum divonis bersalah, seseorang belum bersalah. Saya tak tahu apakah kasus BvB ini udah sampai di tahap vonis? Kalau toh sudah, saya juga tak peduli siapa yg bersalah, saya hanya peduli bahwa hukum harus berhenti pada isi pernyataan yg digugat (misalnya). Hukum tak boleh beranjut mengadili kebebasan bicara. Itu esensi saya. Lha kenapa ikutan #FreeBenhan? Karena yg berkasus bukan Komeng. Kenapa ga bikin aja #FreeBicara? Karena melebarkan kasus.

      Demikian juga twit saya tentang ‘Wadulan’ n ‘Tumbakcucukan’, saya melihat yg melakukan itu Bakhun, bukan Budi, kalau Budi yg berkasus, saya juga akan bilang orang semacam Budi ini Wadulan bin tumbakcucukan. Wadulan adalah sikap Sangkuni, kata bapak saya. Sikap dikit2 lapor. Tidak sehat buat komunikasi, buat kemaslahatan bersama. Dalam era Orba, situasi seperti ini subur, kondisinya ga sehat dlm kebebasan rakyat bersikap. Suasana semacam ini yg kita lawan dari dulu. Saya tak tertarik berteman dgn org semacam ini.

      2. Pasal 27 ayat 3 UU ITE?

      Sebagaimana Bimo dan para penentang sikap fasis lain ada pada posisi yg sama; Menentang.

      Dengan sikap itu saya tak tertarik bila mengadili orang atas nama UU yg saya gak suka, hanya saja terlanjur jadi hukum positif. Kami kalah ketika berusaha menggagalkan itu. UU itu bukan kelompok sipil yg menggagas, melainkan sisa2 kekuatan fasis yg masih berkelindan di repiblik ini. Coba cermati isinya. Isinya adalah hal2 yg senada dengan muatan2 yg dulu kita sama2 tentang jaman melawan Sopa-Pipa.

      Tentang penguasaan alur informasi, tentang hak kita berkomunikasi, dan tentang hal sumir muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Tanpa sadar kita diseret kembali ke era Orba. Dan dengan senang hati kita mengamininya, membawa2 ayat itu untuk mengadili kebebasan bicara yg kemarin kita kibarkan. Para pakar hukum, bukan saya, mengatakan KUHP kita sudah cukup untuk itu dan tak perlu direcokin oleh UU baru yg bikin ruwet kenaan hukum (Masyarakat).

      Sementara itu dulu.

    • Kasus @benhan ini belum sampai ditahap vonis, masih P-21, makanya penangguhan penahanan bisa diupayakan oleh pihak @benhan.

      Masalah UU ITE pasal 27 ayat 3 itu saya juga menentangnya, selain gak perlu ada karena sudah ada di KUHP, juga sifatnya multi tafsir. Nah… masalahnya hukum positif sudah berlaku. Artinya bagaimanapun juga sebagai warga negara yang baik adalah taat pada hukum dengan segala konsekuensinya. Tidak mengangkanginya.

      Namun demikian (di luar kasus @benhan) upaya judicial review untuk pasal ini sebaiknya tetap diperjuangkan, untuk menghilangkan pasal ini. Saya amati perkembangannya, LBH Jakarta sedang menyiapkan hal ini. Insya Allah, nanti saya juga siapkan materinya setajam silet.

      Kembali ke soal HAM.
      Bagaimana penafsiran Bung Marto tentang bunyi Deklarasi HAM Pasal 29 ayat 2?
      Yang saya amati komentar sampeyan di atas itu sepertinya kontradiktif dengan pasal tersebut. Mohon klarifikasinya.

      Anyway, terimakasih sebelumnya telah berbagi pandangan.

    • MartoArt says:

      Oh, ternyata belum vonis to? Ya udah, kita tunggu saja hasilnya tanpa perlu menyimpulkan siapa benar siapa salah.

      Termasuk menunggu keberhasilan judicial review, meski sepertinya tak berlaku surut bila Pasal 29 UU ITE itu berhasil dicabut.

      Tentang DUHAM, kontradiksi mana yg Anda maksudkan dgn pernyataan saya bung? coba dicopast dan diperbandingkan.

      [Anyway, saya sampai di fitur bisa replay ini juga ga tahu tadi jalannya dari mana ;( . tiba2 aja sampai sini ]

    • Perbandingannya sudah kusampaikan dalam komen terbaru, coba sampeyan refresh jurnal ini.

  13. Luar biasa ulasannya pak Iwan. Masyarakat kita suka latah dengan kata “bebas”. Bebas diartikan bebas sebebas2nya alias sak enak udel e dewe. Pdhl pd kenyataannya kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, termasuk kebebasan berpendapat. Tragisnya, kejadian ini terjadi pada orang terdidik. Beda ceritanya kalo yang ngomong tukang sapu atau tukang2 lainnya. Sukses pak Iwan.

    • Makin terdidik seseorang, ada yang mempunyai kecenderungan makin tinggi egonya, sehingga bebas bicara apa saja meski itu menabrak kehormatan orang lain.
      Semoga kita terhindar dari sifat seperti itu.

    • Audzubillahimindzalik ya pak. Berarti ndak pake prinsip ‘padi” ya pak

    • celia siura says:

      Masyarakat berperan untuk melakukan kontrol sosial kepada pemerintah. yang benny lakukan adalah bentuk kontrol sosial karena dia dari kalangan terdidik dan peduli dengan negara. bersyukur masih ada masyarakat yang aware dengan ini. Kalau tukang sapu atau tukang – tukang lainnya spt yang ibu katakan, ya jelas mereka tidak akan peduli dengan apa yang terjadi di dunia politik, wong nyari duit aja susah ya, mana punya waktu untuk peduli dengan negaranya.

      Apakah anda pernah baca bagaimana misbakhun juga melakukan tudingan kepada politikus yang lain? sayangnya ini tidak dilaporkan saja.

  14. tinsyam says:

    penutupnya bikin ngakak mas, jempol bikin masuk penjara..
    ini benerbener masiwan banget, postingan mencerahkan dengan data pula..
    iya soal gini kudu tahu ujung pangkalnya, ga bisa asal komen dan kalupun “hak mengeluarkan pendapat” [suka istilah ini deh, thank indres] adalah hak kita, apa yang ada dipikiran kita, tetep kudu bisa dipertanggungjawabkan..
    itu todung mulya lubis & para pembela @benhan musti baca ini.. “hak mengeluarkan pendapat” yang keren dari masiwan..

    • Silakan inden buku Jempol itu mulai sekarang 🙂

      Yup, semoga menjadi pelajaran berharga bagi kita yang memegang kendali akun kita masing-masing di ranah social media.

  15. bimosaurus says:

    Saya tertarik untuk menandai apa yang mas Iwan obrolkan dengan saya di Japri. Ya benar, saya adalah penolak PASAL 27 ayat 3 UUITE dengan berbagai sebab:

    1. Kerancuan penafsiran yang dapat menjadikan senjata yang tidak tepat bagi orang yang terjerat. Mengingat di negara kita masih rentan dengan jual beli pasal, baik proses pembuatannya maupun penggunaan penjeratannya. Mengingat kasus yang telah mas Iwan singgung juga termasuk kasus mbak Prita Mulyasari.

    2. Tumpang tindihnya dengan pasal 310 KUHP dimana disana sudah dijelaskan pasal tentang pencemaran nama baik, seperti yang telah dijelaskan mas Iwan di atas. Justru pada UUITE bisa digunakan untuk lebih berat hukumannya, sehingga memiliki dampak hukum atau kedendaman lebih besar

    Di sisi lain akan ada kerancuan lain yaitu jika pasal 27 ayat 3 UUITE ini dihapuskan (bukan diganti), maka salah satu dilematika umum yang kita lakukan: menghilangkan satu hal akibat kemadorotannya, dan kita juga menghilangkan fungsinya sekaligus.. Namun semoga ada kebijaksanaan orang-orang pandai mengenai hal ini tentang hitung untung rugi bagi keadilan..

    • Muatan pasal 310 dan 311 KUHP tentang penistaan dan pencemaran nama baik saya rasa sudah cukup jelas definisi dan ruang lingkupnya dibandingkan dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE, hanya saja memang punishment-nya jauh lebih ringan.

      Karena sudah ada KUHP yang telah mengaturnya duluan, maka saya SETUJU dan MENDUKUNG pasal pencemaran nama baik di UU ITE itu masuk dalam Judicial Review untuk dihilangkan, apalagi definisi dan ruang lingkupnya dalam UU ITE itu bisa multi tafsir. Jadi, hanya berdasarkan pasal dalam KUHP itu sudah cukup.

      Seharusnya gelombang penolakan ini disuarakan nyaring sebelum pasal UU ITE ini memakan korban yang lebih banyak.

      Namun demikian, selama pasal dalam UU ITE ini sudah berlaku, maka wajib kita ikuti aturan mainnya sebagai bagian dari ketaatan hukum, sambil tidak berhenti menyuarakan penolakan pasal dalam UU ITE ini demi melindungi konsumen atau mereka yang ter-dzalimi agar mempunyai hak mengeluarkan pendapat.

      Saya juga merasakan bahwa pasal dalam UU ITE ini membuat orang yang yakin bahwa dirinya benar (karena sudah mempunyai dukungan fakta dan barang bukti) itu akan tidak berani menggunakan hak-nya dalam mengeluarkan pendapat, karena bayang-bayang jeratan hukum bila orang yang digugatnya itu mempunyai “kekuasaan” yang lebih tinggi.

      Kembali ke Benhan …

      Dalam kasus ini kalo Benhan dituntut oleh Misbakhum berdasar pasal 27 ayat 3 UU ITE maka itu sudah menjadi bagian resiko dia, karena ayat ini sudah lama berlaku, dan ia berani menabraknya.
      Solusinya adalah islah, Benhan meminta maaf, dan Misbakhun menerimanya, kemudian permintaan maaf tersebut disiarkan ke publik.

    • celia siura says:

      Solusinya adalah islah, Benhan meminta maaf, dan Misbakhun menerimanya, kemudian permintaan maaf tersebut disiarkan ke publik -> dari mana anda tahu benny belum meminta maaf? anda tidak bisa membuktikan dengan fakta dan data, kalau hanya anda mencari informasi dari media, terkadang media tidak berperan netral dalam menyajikan informasi.
      Apakah anda tahu bagaimana penolakan dari pihak satu lagi? hukum dinegara ini bisa dibayar bung, asal punya banyak duit informasi disamarkan.

  16. Titik Asa says:

    Salut dg tulisan yg mencerahkn ini. Boleh dan harus kita berpendapat. Itu hak kita sbg insan yg berpikir. Tapi pijakan no. 5 tetap harus dipegang teguh yg Mas Iwan sebut sbg Kebebasan berpendapat bukan berarti bebas memfitnah….

    Salam,

    • Terimakasih, mas. Seharusnya memang demikian apalagi sudah ada pasal yang mengaturnya, maka wajib kita ikuti aturan mainnya sebagai bagian dari ketaatan hukum.

      Tidak ada pasal itu pun juga akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akherat untuk setiap ucapan/tulisan yang kita keluarkan.

      Salam.

    • Titik Asa says:

      Paragraf kedua itu yg menurut saya sangat dahsyat. Semoga itu tidak kita lupakan ya Mas…

      Salam,

  17. Dyah Sujiati says:

    Menurut sy kayaknya kalau baca berita yg beredar d masyarakat scr luas harus dibaca terbalik deh! Yg nampak benar bs jd dialah yg salah dan sebaliknya

    • Santai aja baca berita-berita yang beredar sambil mengasah otak, pasti ada ilmu dibaliknya.
      Ini belum seberapa dibandingkan kelak berada di era fitnah dajjal 🙂

  18. Denny Indrayana Dituding Intervensi Kasus Pemilik Akun Twitter @Benhan [Gatra, 9/9/2013]

    Yusril: Tindakan Denny Indrayana Bebaskan Benny Handoko Tak Etis [Republika, 9/9/2013]

  19. felis catus says:

    IMO, boleh saja benhan punya pendapat seperti itu, tapi apakah pendapat sebaiknya disimpan dalam hati, dikatakan di lingkungan terbatas, atau dibuat jadi pernyataan umum (seperti tweet publik), masing-masing kondisi ada aturannya sendiri dan tanggung jawab,

    Bahkan dengan pasangan hidup sekalipun, tidak bisa kan mengharapkan semua yang ada di hati dan kepala begitu saja bisa dikatakan tanpa adanya konsekuensi reaksi dari pasangan.

    Anyway, mungkin mesti diubah istilah “kebebasan mengeluarkan pendapat” dengan “hak mengeluarkan pendapat” karena memang mengeluarkan pendapat itu adalah hak yang dibatasi dengan aturan-aturan tertentu agar tidak melanggar hak yang lain. Kalau ditulisnya kebebasan, mungkin nih ada orang yang mengartikan boleh menyatakan apapun (termasuk fitnah).

    • Saya setuju sekali dengan istilah yang mbak sampaikan: “hak mengeluarkan pendapat”.
      Sehingga ada ruang untuk membatasinya, mengikuti koridor hukum.

      Alasan jurnal ini saya tulis adalah karena berlatar-belakang informasi di media yang cenderung menyesatkan pembaca tentang “kebebasan berpendapat”, tidak ada unsur edukasinya, dan mengaburkan masalah yang sebenarnya; yaitu salah satunya terdapat pada berita ini:

      http://news.detik.com/read/2013/09/06/111817/2351012/10/benhan-vs-misbakhun-berlebihan-karena-pencemaran-nama-baik-ditahan

      Terkesan kelihatannya wise, namun kabur dalam setiap paragrafnya (cenderung menyesatkan).

      Begitu juga di ranah socmed, contoh salah satunya adalah blogger yang dulu pernnah bersinggungan di socmed dg Andrea Hirata, dalam kasus ini bilang seperti ini: [Twit Damar Juniarto] :

      “#FreeBenhan #FreeBenhan Benny Handoko telah dipenjara karena isi twitnya. Selamatkan kebebasan berpendapat kita. #FreeBenhan #FreeBenhan”

  20. bimosaurus says:

    Khas tulisan mas Iwan.. data dan sumber sangat kuat.. Pada poin-poin saran, ini yang banyak sekali dilanggar oleh para pengkicau. Memang social media menghadirkan euforia yang sungguh aneh, karena tak ada hentinya, seakan memiliki gaya tarik hati untuk selalu beralasan galau dan merasa bebas melakukan semuanya. Akhirnya ketika semua orang merasa butuh membela ke-tidakpentingan (kepentingan yang tidak penting) dirinya, dia mengaku Liberalisme sebagai ideologinya.. dengan merasa sah mengaku diri “nyinyir”, sampai akhirnya mereka harus kelabakan bahwa ada gawang peraturan yang selama ini membatasi kebebasannya, demi hak orang lain

    • Gaya tarik hati ini kalau tidak dikelola dengan baik memang bisa berpotensi membinasakan diri. Seakan-akan telah menempatkan pedang di ujung jempolnya (atau lidahnya) untuk membunuh orang lain dan membunuh dirinya sendiri.

      Kebebasan mengeluarkan pendapat itu sah-sah saja asal tidak menabrak dinding-dinding hukum yang juga melindungi hak orang lain.

  21. jampang says:

    yang ‘memvonis’ bukan pihak yang berhak melakukannya.

    jaman sekarang modal jempol bisa gampang memvonis….. fyuuuhhhh

    • Betul. Yang pada akhirnya, jempol pun bisa mengantarkan pemiliknya ke gerbang pintu neraka. Balasan bagi para pem-fitnah sungguh luar biasa dahsyat-nya di akherat kelak.

      Maka dari itu, nge-twit itu yang bisa bawa manfaat dunia akherat. *note to myself*

    • jampang says:

      iya… jempol bisa bikin masuk neraka. semoga kita terhindar dari yang demikian.

Leave a reply to MartoArt Cancel reply

Let me share my passion

””

My passion is to pursue and share the knowledge of how we work better with our strengthen.
The passion is so strong it can do so much wonder for Indonesia.

Fight For Freedom!
Iwan Yuliyanto

Kantor Berita Umat