dan
foto bertajuk: “UJIAN APAPUN, JALANI DENGAN TENANG”
Saya temukan ada pesan-pesan yang menarik dalam film pendek “Harap Tenang Ada Ujian!” karya sutradara Ifa Isfansyah, yang diproduksi tahun 2006 oleh Freemovie dan Fourcolours Films. Pesan utamanya tentang Xenophobia. Istilah xenophobia biasa dipakai untuk menggambarkan rasa ketakutan atas sesuatu yang dianggap asing. Dalam film tersebut (menurut persepsi sang bocah), sesuatu yang asing diasumsikan pasti jahat, sehingga harus dilawan.
Cerita bermula ketika gempa bumi berkekuatan 5,9 SR terjadi di Yogyakarta, pada tanggal 27 Mei 2006, yang telah mengakibatkan lebih dari 6.000 orang meninggal dunia selain kerusakan parah di daerah tersebut. Hari itu tepat sepuluh hari sebelum ujian sekolah dan empat belas hari sebelum Piala Dunia 2006. Ada seorang anak yang berhasil selamat dari bencana tersebut, dan dia harus menjalani ujian nasional tingkat SD. Dia tetap menunjukkan semangat belajarnya yang tinggi meski situasi dan kondisinya tidak mendukung.
Pada suatu hari datang ke daerahnya para sukarelawan Jepang untuk memberi bantuan. Anak itu mengira kalau para sukarelawan Jepang itu hendak kembali menjajah Indonesia berdasarkan persepsinya setelah ia membaca buku pelajaran sejarah. Maka dengan segala upayanya demi mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia, anak ingusan itu mencoba mengusir keberadaan orang asing bekas penjajah dari daerahnya. Ia merasa dalam dirinya telah bangkit rasa patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia, tentu saja menurut persepsinya.
Film ini ditutup dengan adegan yang sangat lucu, lucu sekali, sampai bikin saya tertawa namun sekaligus miris dibuatnya. Ya betapa tidak, pola pendidikan di negeri ini menjadikannya dia seorang xenophobic yang parah. Apapun kebaikan hati dari orang yang dianggapnya asing tersebut, selalu diterjemahkan dengan pikiran yang negatif. Kalau hal ini tertanam sejak dini dan terus terpelihara, kelak dikuatirkan akan membentuk kepribadian yang xenocentrism. Kasihan sekali.
Apakah Anda penasaran dengan adegan seperti apa di akhir film tersebut?
Mari kita nonton bareng film pendek ini yang hanya berdurasi 15 menit. Selamat menyaksikan.
Sumber film: di sini
Filmnya sangat menarik, bukan?!
Saya akui ide ceritanya sungguh cerdas, maka pantas saja film ini berhasil meraih gelar sebagai best movie baik di tingkat nasional maupun internasional.
Kesimpulan utama yang bisa saya ambil dalam film ini adalah adanya sebuah pesan kritik terhadap pola pendidikan di Indonesia dalam materi penyampaian pelajaran sejarah di sekolah yang berpotensi menimbulkan persepsi buruk dari anak didik terhadap negara bekas penjajah Indonesia. Perbedaan persepsi dalam mengolah pengetahuan pelajaran sejarah yang dangkal ini telah melahirkan rasa kebencian terhadap orang asing, terutama yang berasal dari negara bekas penjajah di Indonesia. Kemudian disusul dengan munculnya semangat nasionalisme yang sempit, rasa kebangsaan yang berlebihan. Kemasan pelajaran sejarah seperti inilah yang akhirnya melahirkan bibit-bibit xenophobia pada anak.
Bencana gempa bumi di Yogyakarta, tsunami di Aceh, Sumut, Sumbar, dan bencana Merapi secara menakjubkan telah menuai simpati dan kehadiran bala bantuan dunia. Hanya saja, kehadiran mereka sempat memicu kecemasan, kekhawatiran berlebihan, bahkan xenophobia dari pemerintah. Rasa xenophobia yang muncul ini awalnya saya anggap karena adanya sentimen agama atau adanya upaya kerusakan moral dan budaya, ternyata bukan karena itu pemicu sebenarnya. Yang kenyataannya dipicu oleh faktor rendah diri dan ilusi tentang nasionalisme yang semu.
Gejala xenophobia yang dianggap mengancam harga diri sudah bercokol lama di negeri ini sejak zaman Orba. Kecurigaan berlebihan atas bantuan asing dipolitisir sedemikian rupa sehingga masalah sentimen keagamaan dijadikan isu utama. Unsur agama itu hanya dijadikan topeng atas perasaan rendah diri, yang tak sanggup berkompetisi karena pihak asing lebih banyak dananya, lebih kaya sumber daya, dan lain-lain. Akhirnya sesuatu yang asing dianggap sebagai ancaman, dan rasa rendah diri itu terkadang keluar dalam bentuk permusuhan. Coba saja, seandainya yang membantu itu adalah bukan bangsa sekelas Jepang, Belanda, dan negeri kaya Asia atau Eropa lainnya; namun yang membantu adalah bangsa yang dianggap jauh lebih rendah dari kita, bisa jadi bantuan itu tidak akan dianggap sebagai ancaman, walaupun dari agama yang berbeda. Jadi, bagi saya xenophobia saat itu disebabkan rasa rendah diri yang kelewatan.
Salah satu arsip berita bisa disimak di sini: Pemerintah menolak bantuan asing untuk korban bencana.
Membaca arsip berita tersebut, saya ikut merasa malu. Sudah sedemikian parahnyakah level xenophobia yang menjangkiti pemerintah kita? Kita terkadang seperti bangsa yang tidak mengenal budaya terima kasih. Bayangkan bila kita diposisi negara yang membantu, kemudian ditolak untuk membantu, dan disuruh pulang oleh negara yang mengalami bencana.
Kalo sikap pemerintah saja bisa seperti itu, maka wajar bila pola pendidikan di negeri ini juga dibiarkan untuk tidak menyentuh hal-hal pencegahan xenophobia, sehingga kisah dalam film yang kita tonton bareng ini akan sangat umum bakal terjadi nyata dimana-mana. Kemudian xenophobia dan nasionalisme sempit ini akan tetap terpelihara dan terus berkembang di negeri ini.
Saat ini, kita berada dalam era globalisasi. Kalau kita jeli memahami sejarah negeri ini, sudah bisa dibuktikan bahwa globalisasi sudah terjadi di negeri ini sejak ratusan tahun silam. Bangsa ini dari dulu sudah terbiasa dengan globalisasi. Hanya saja, sejak zaman Orba telah terjadi proses pembentukan budaya pembodohan dan ketergantungan. Mental yang dibangun adalah: kita seolah-olah punya pemerintahan yang selalu melindungi rakyat dari segala yang jahat. Pemerintahan yang otoriter hanya selalu dapat berkuasa bila bisa menerbitkan rasa ketakutan di masyarakat andaikan pemerintahan itu hilang.
Kini era sudah berubah. Mau tidak mau kita yang hidup dalam era globalisasi ini cepat atau lambat akan terlibat dalam pergaulan hidup dunia. Membaur dengan beranekaragam budaya, konflik, kerjasama yang harmonis. Demi masa depan yang lebih baik, yang melahirkan anak bangsa yang mempunyai kepribadian yang unggul, maka perlu kiranya meninjau dan memperbaiki pola ajar (sistem pendidikan) di negeri ini.
Belajar dari contoh kasus film di atas, guna mengikis mental inferior, inlander, xenophobia, dan xenocentrism, salah satu yang menjadi usulan saya adalah memasukkan unsur pendidikan perspektif global dalam berbagai macam mata pelajaran, misalnya memasukkannya dalam pelajaran sejarah, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan kebudayaan yang bersifat lokal, dan pendidikan sains. Muatan yang dimasukkan adalah menanamkan kepada anak didik sejak dini bahwa:
(1) Apa yang kita lakukan dan perbuat mempengaruhi dunia secara global.
(2) Kehidupan kita merupakan bagian dari kehidupan dunia.
(3) Perlu ditumbuhkan semangat kedewasaan berpikir.
(4) Perlu ditumbuhkan semangat rasa percaya diri.
Perspektif Global adalah suatu cara pandang dan cara berpikir terhadap suatu hal, masalah, kejadian, kegiatan dari sudut kepentingan global atau internasional. Suatu pandangan yang timbul akibat suatu kesadaran bahwa hidup dan kehidupan ini adalah untuk kepentingan global. Dalam berpikir seseorang harus berpikir global, dan dalam bertindak dapat secara lokal (Think Globaly and Act Localy).
Contoh sederhana dalam penyusunan buku pelajaran sejarah adalah: setelah mengupas masa lalu yang penuh kegelapan, penjajahan yang dilakukan bangsa lain terhadap Indonesia, di buku tersebut wajib ditambahkan satu bab khusus yang mengabarkan bahwa Indonesia saat ini sudah berdampingan damai dengan negara-negara tersebut, dibuktikan pula dengan membaiknya masing-masing hubungan bilateral kedua belah pihak. Bab khusus tersebut isinya boleh sama untuk dimasukkan dalam buku-buku pelajaran lainnya sebagai bentuk standarisasi isi. Bila materinya dirasa berat untuk anak sekolah dasar, maka beri label: “Bimbingan Orangtua” pada bab khusus tersebut.
.
Indikator keberhasilan program ini adalah meningkatnya prestasi anak bangsa dikancah internasional dalam bidang apapun, lahirnya banyak inovasi di dalam negeri. Dengan demikian bangsa-bangsa asing tidak lagi dianggap sebagai ancaman. Ini baru namanya upaya menumbuhkan semangat patriotisme dan nasionalisme yang benar. Dari dulu saya menantikan pemerintah kita mempunyai KPI (key performance indicator) dalam hal inovasi dan jumlah prestasi anak bangsa. Namun sampai sekarang belum terlihat programnya.
Namun, kita tidak perlu menunggu adanya perbaikan kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang berkaitan dalam pembahasan di atas. You can take action now. Kita bisa mulai terlebih dahulu pada keluarga kita masing-masing, terutama bagi yang sudah berkeluarga dan telah diberikan amanah untuk melahirkan generasi yang unggul. Kegiatan yang disarankan adalah: mendampingi saat-saat anak belajar dengan memberikan pemahaman yang benar atas yang dia pelajari, memotivasinya untuk berinteraksi sosial dengan baik, kemudian ada challenge program yang disertai reward yang menarik atas keberhasilan sang anak dalam challange tersebut.
Di sini, saya akan sharing sedikit. Dalam hal berinteraksi sosial, challenge program yang saya berikan ke anak, tidak melulu berinteraksi hanya di lingkungan yang terbatas, tapi lebih luas lagi. Saya challenge anak saya berani tampil di depan publik, di lingkungan yang dia sendiri minoritas. Anak saya, Nana, sejak usia 8 tahun, sudah berani tampil di depan publik untuk bermain piano. Lingkungan mayoritasnya pada kegiatan tersebut adalah suku Chinese, jadi dia minoritas di lingkungannya. Bahkan saat bersama-sama mereka, hanya Nana seorang yang mengenakan jilbab. Bulan depan di usianya yang ke-sebelas tahun, Insya Allah Nana akan menampilkan performance di Singapore, berhadapan dengan penguji yang tentunya multinasional.
Di lingkungannya yang heterogen, dulu awalnya masih merasa malu-malu berinteraksi, tapi setelah terbiasa dan beradaptasi dengan baik, dia sudah tidak canggung lagi, bahkan dalam hal berkomunikasi bahasa Inggris sekalipun dengan mereka. Baginya perasaan xenophobia itu sudah hilang, kalaupun masih ada, kadarnya tipis sekali. Banyak hal lainnya yang Nana isi kegiatannya ketika berinteraksi dengan publik selain bermain piano. Dalam kegiatan lainnya pun, Alhamdulillah dia juga mampu mencetak prestasi, karena modal dasarnya adalah percaya diri. Ini juga diimbangi dengan prestasi pelajarannya di sekolah yang membuat kami sebagai orangtua bangga. Karena terbatasnya jurnal ini (sebagai bagian dari persyaratan lomba), Insya Allah akan saya sharing kegiatan lainnya tersebut dalam bab parenting.
Di awal dibuka dengan film: “Harap Tenang, Ada Ujian!”, Maka sebagai penutup, saya tampilkan sebuah foto bertajuk: “Ujian Apapun, Jalani Dengan Tenang”.
Foto ini adalah penampilan Nana waktu tampil di depan publik di salah satu mall di Batam bulan lalu sebagai bagian dari pemenuhan challenge tersebut.
Jurnal ini disusun untuk diikutsertakan pada LOMBA MENULIS TENTANG XENOPHOBIA yang diselenggarakan oleh mbak Lessy di sini: wayanlessy.multiply.com/journal/item/758
Salam hangat tetap semangat,
Iwan Yuliyanto
[…] dari tulisan Iwan Yulianto ⁽¹⁾ dalam blognya tentang film Harap Tenang Ada Ujian! dan Xenophobia membuat kita tersenyum kecut […]
nadareeda wrote on Sep 28
Sengaja meng-agendakan diri membaca tulisan ini hehehe ternyata emang bener2 bagus n layak jd juara …good good :d
afriantodaud wrote on Sep 5
Selamat mas Iwan 🙂 Selamat juga buat Nana!
luqmanhakim wrote on Sep 5
Good read! Good source! Thx Mas Iwan!
miapiyik wrote on Sep 3
Alhamdulillah, barakallah, selamat pak Iwan menang di lomba Xeno.
Sayangnya saya ol di hp ndak bisa liat videonya. Selamat utk Nana yg perform di Sgp, semoga sukses sampai besar. Salam utk ibunda Nana yg pasti berperan besar membuatnya percaya diri
bundel wrote on Sep 3
Anda memang layak jadi juaranya pak. SELAMAT YA!
fetryz wrote on Sep 3
woooowww.. tulisannya emang kereenn mas iwan…
ada cerita, akar masalah, dan solusi.. kereeennnn…
fefabiola wrote on Sep 3
Saya baru sempat baca dengan seksama tulisan Pak Iwan.
Tidak perlu pikir dua kali untuk menjuarakan tulisan ini setelah membacanya.
Banyak hal yang di dapat usai membaca tulisan Anda, Pak.
Ada rasa sedih saat tahu saya tak menang, tapi setelah membaca tulisan para pemenang, rasa-rasanya saya malu mendongakkan kepala. Saya masih harus terus memperbaiki kualitas diri saya jika ingin menghasilkan kerja yang lebih baik (baik itu dalam hal menulis ataupun hal lainnya)
Terima kasih sudah mem-follow saya di WP. Saya belum online lagi di WP dan masih gagap dengan WP, insyaallah nanti saya follow balik ya, Pak.
bimosaurus wrote on Sep 3
wah mas Iwan.. istilah game nya : “one shoot one killed” sekali mengarah langsung kena!!
Selamat mas!!
dydy wrote on Sep 3
Selamat mas Iwan! Semoga bisa ketemu lagi di WP 🙂
nonragil wrote on Sep 3
Selamat mas Iwan…..:)
wayanlessy wrote on Sep 3:
:)) sipp mas Iwan…pantas saya melihat ID mas iWan masih berkelindan di viewing history, tapi kok ya ndak mampir2 di pengumuman yg pemenang. haha..ternyata sdg asik membuat flipbook ya? waaaah keren, berhasil atau tidaknya eksplorasinya, membaca usaha untuk itu pun saya sudah senang sekali! Terimakasih. dan..sekali lagi selamat ya mas!
wayanlessy wrote on Sep 3
Selamat dan terima kasih atas sumbangan naskah yang menjadi pilihan terbaik kami (Cak Marto dan saya) sebagai juri, ya mas Iwan. Mohon perkenannya untuk memeriksa ke: wayanlessy.multiply.com/journal/item/795/Xenophobia-PEMENANG-Lomba-Menulis-Tentang-Xenophobia-2012
Sekali lagi terima kasih.
wayanlessy wrote on Sep 2
Mohon perkenannya untuk memeriksa ke: wayanlessy.multiply.com/journal/item/794/
Terima kasih.
onit wrote on Aug 28
Baru lihat filmnya, mas 🙂
Kalo menurut saya kejadian ini gak mungkin, kan? Krn film ini buat menyindir / lucu2an aja. ada org belanda ada yg takut ke indsa krn takut menghadapi org2 spt anak ini, dan kaget setelah di indsa malah org2 pada ramah 🙂 Begitu jg org korea banyak yg masih benci jepang sementara org indsa gak lagi benci jepang.
Setuju kalo ini bisa jd renungan utk pendidikan anak2. Gak cuma sejarah tp juga kisah seperti apa damainya skrg. Dan juga bisa diterapkan ke pendidikan lain spt kewarganegaraan.
eh gimana manggungnya si nana 10agt kmrn? Ada videonya?
zaffara wrote on Aug 28
Salut buat Nana, hal ini tentu tak lepas karena asuhan dan didikan orang tuanya yg arif dan bijak.
Filmya lucuuu …
Dan tulisan ini pantas utk menjadi pemenang, Voted *ehh, boleh ga Ɣǻ ?
wayanlessy wrote on Aug 28
Mohon perkenannya untuk memeriksa ke: wayanlessy.multiply.com/journal/item/791/Xenophobia-25-Besar-Naskah-Lomba-Tentang-Xenophobia
Terima kasih.
carrotsoup wrote on Aug 28
Keren! Jd inget jg dgn gaya bang luqmanhakim mendidik anaknya…
Boleh dibantu analisa semiotiknya, mbak Linda, jadi penasaran nih, kalo sebuah visualisasi ditangani dirimu yg suka bedah.
Yup, seharusnya itu selalu dibiasakan agar tidak sulit.mbak Fe, ayo ikutan lombanya juga, Ditutup sampe tgl 7 Agustus lho. Jadi, masih ada waktu.
like it a lot..think globaly and act localy
ternyata aku udah pernah nonton filmnya.. :Dkalo dianalisis pakek semiotik kayaknya seru,,, apalagi kerdusnya hehe…
berjuang nonton dulu,,, baru mau komen :D*modem lemot
sudah niat, tinggal eksekusi aja yg belom sempet, hehehe
Hehehe… Tau aja Mas Iwan…^_^ Apa aja deh, Dreaming aja Kim Soo Hyun Dream high ato Kyuhyun, Hope is a dream that doesn’t sleep 🙂 *laahhh jadi serius, hehehe
Boleh.. boleh.. boleh…Lagu apa? dari Bae Yong Joon? romance? atau dream high 🙂
Wahh, tulisannya keren Mas Iwan… Salut dengan gaya tulisan mas Iwan yang rapih, runut dan tidak ditemukan kesalahan ketikan, jadi walopun panjang tetap enak dibaca sampai abis…Oya, reques lagu ke Nana ya Mas Iwan, pake piano tentunya.. hehehe
insyaAllahdiinget2 dulu, karena adegannya sudah 8 tahun lalu 😀
Alhamdulillah… terimakasih, mbak Lessy 🙂
Wuanine ngejak koncooooo!!!!Gayane khas banget karo Cah Bantul cedhak Pasar Pundhong 🙂
Wah, pastinya bakal menarik kalo mbak Zen bikin postingan khusus terkait opini guru sejarahnya itu. Terutama poin-poin mana yg meragukan. Kemudian apa perasaannya dia saat mengajarkan sesuatu yg kemudian bertentangan dg batinnya.Ditunggu sharingnya ya di jurnal sampeyan ya, mbak 🙂
Jancuk aku jik ngakak pas tekan ending. wakakakak..
hmmm….bahkan guru sejarah saya saat sma meragukan kebenaran isi buku sejarah…
nah disini ku juga ngakak.. padahal ngajak relawan lain buat membantu..
ntar deh, kalo sempat saya cari part film Nagabonar pas dibagian xeno-nya. kalo dah ketemu saya posting di sini.
Betulll…. dipakai lagi dalam event yg berbeda.
Nahh.. itu scene film yg paling saya suka, menit 03.37 ~ 04.15, saat ia membaca buku sejarah, apa yg dibacanya itu ia bayangin persis situasi Jogya yg lagi gempa, seakan-akan chaos itu disebabkan ulah Jepang, sesuai persepsinya. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa itu adalah gempa bumi. Ya begitulah… xenophobic, setiap hal positif yang dilihatnya, namun dirasakan dan diolah dalam pikirannya menjadi sesuatu yg negatif. Negative thinking terus. Puncak xenophobia di akhir film, saat ia teriak (yg artinya):”BERANINYA NGAJAKIN TEMANNNN!!!!”
baru nonton filmnya.. kalu ga dijelasin m.iwan, ga nangkep deh pesan xenophobianya.. padahal ada teksnya ya..awal nonton, gempanya ga goyanggoyang, cuma kejatuhan balok dowang.. terus tiduran di kardus deh ada relawan jepang.. padahal abis baca buat ujian, soal penjajahan jepang.. dihubung2in deh.. jadi ngakak disitu..prihatin sama yang nyusun buku, sampe ada anak yang xeno sama jepang..tapi eh mas, pernah bahas habis gempa itu kan reuni akbar AMN di magelang, jadi ngobrol sama jendral2 deh.. kalu bantuan asing itu ada “unik”nya.. mereka juga mata2in kita.. konspirasi deh.. :Dga jadi bahas ah.. ntar panjang kali lebar..
itu kostumnya nana bikinan anty ya.. kereeenn..
hehe.. phobia ama jepangnya itu lho pak.. =Dqiqiqi.. begitu denger kata jepang langsung gaaaa mauuuuuu
Aamiin, terimakasih Mommy Tije, tepatnya tgl 10 Agustus.
Terimakasih, semoga bermanfaat ya.Ayo ikutan lombanya juga, mas Aldi 🙂
Nahh… yaa itu adegan teriakan akhirnya, memang khas Bantul banget :)Aku mesakke tenan jane, cahe kok lugu byaaanget
Lho memang ada apa dg film Nagabonar jadi 2, mbak Jar?
waw nana hebaaaaatt semoga sukses nanti di singapura yaaaaa
mas Iwan, saya sangat-sangat suka tulisan ini. inspiring! 🙂
wanine ngejak kancaaa… =))))
koq jadi inget film nagabonar jadi 2 yah.. heheheheh =D
dan juga merupakan pengasingan tanpa perlu membuang. Jika pak Karno dan beberapa jagoan jaman dulu dihukum dengan cara diasingkan, kalau jaman Orba tinggal disetting dari mindset manusianya… keren sekaligus kejam
— LOCKED —
beberapa sya kunjungi jga baca di awal dan di akhir nya, smpe mkir gni “ko orang2 pda pinter2 bikin tulisan yak”, sambil getokin jidat sendiri, hehe ;))
Halahh… ini gak nyari menangnya kok, mbak Suly, just sharing aja.Meski belum sempat semuanya saya kunjungi, tapi lihat link peserta-nya mbak Lessy banyak tulisan2 yg lebih baik dari ini.Ayo ikut lombanya juga sebelum berangkat ke Jepang, biar gak kepikiran setelah nyampe di sana 🙂
Siip.. ditunggu partisipasinya, mas Heri, sampeyan khan biasanya banyak ide.
Pancen aku yo ra kenal dg ID itu, mas.Semoga beliau rindu kampung halaman (multipelayu)
Semoga bermanfaat ya :)Ayo… ikut lombanya juga dong, Mas Aris.
spertinya ini bakalan jdi pemenangnya pak #ada vote2 segala gak pak,sya vote dlu deh klo gitu, ^^ *
Memang ngeri banget kok, mas, pe-LABEL-an itu sudah menjadi senjata yg paling efektif untuk membunuh karakter.
Maksud saya “rendah diri yang kelewatan” itu istilah lain dari “gengsi” kok, mbak Rien.
Itulah seperti yg sampeyan bilang bahwa di akhir dari seperdua waktu adalah malam2 penuh barakah dan ide :)Sesuai dg judul di atas, itu masih film pertama yg di-sharing, so keep stay tune untuk pemutaran film berikutnya.
Didemo piye? Ada contoh kasusnya spt apa, mbak Niezt?
Saat THB, pagi, waktu jalan menuju sekolah sambil bawa buku, sesekali dibuka isinya, sambil mulut komat-kamit ngapalin sesuatu, siapa tahu nanti keluar di THB.*ikut membuka memori lama*
Orba memang identik dg pe-LABEL-an, untuk kemudian dijadikan senjata pembunuhan karakter yg dianggap paling efektif.
Waduhh… aku salah ngetik, Mas Trie, lha kok bisa-bisanya lari ke 2007 :)Yo wis aku edit dulu. Suwun yo, mas.
Apri-Joker ==> prey47.multiply.com dah lama absen dari MP dia…
Gempa Jogya bulan Mei 2007, bikin filmnya Oktober 2006 ==> reply comment Mas Iwan utk ID CawahBener itu tahunnya Mas..? tlg di check lagi deh, nuwun sewu lho… 😉
Bagian dari film itu yg paling saya suka adalah pada menit 03.37 ~ 04.15, saat ia membaca buku sejarah, apa yg dibacanya itu divisualisasikan lewat video sehingga seakan-akan itu mewakili bayangannya saat pendudukan Jepang, padahal dalam tayangan video yg muncul adalah kondisi gempa. Bisa jadi dlm persepsinya: bahwa kondisi berantakan di Jogya saat itu adalah akibat chaos yg ditimbulkan karena pendudukan Jepang. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa itu adalah gempa bumi. Ya begitulah… xenophobic, hal-hal positif yang dilihatnya, namun dirasakan dan diolah dalam pikirannya menjadi sesuatu yg negatif. Selalu saja berprasangka buruk. Apakah ini sudah masuk area personality disorder, bisa ya bisa tidak.Lantas, saya jadi teringat dg teori konspirasi yg mengatakan bahwa tsunami Aceh adalah buatan Amerika Serikat. He he he… ada – ada aja. Oiya, untungnya perasaan mbak Lessy yg sama spt itu di waktu SD segera dpt bimbingan dari ortu atau lingkungan sekitarnya. Kalo tidak, wah… Makanya itulah pentingnya pendampingan ortu saat anaknya belajar. Guna meluruskan imajinasi liar sang anak, agar tidak muncul sifat pembenci.
Maksudnya apa ini, mas? Setahuku ketentuan lombanya berdasarkan jumlah kata.
Memang menginspirasi, dan cepat banget ide bikin film itu datang.Gempa Jogya bulan Mei 2006, bikin film-nya Oktober 2006.
ada bagian yang membuat aku kok rodo merinding ya mas, tentang sejarah di jaman Orba:sejarah kita memang RAJIN MENGASINGKAN ORANG.. Bagaimana Ex-Tapol diberi label di mana-mana sehingga dia tidak sekedar diberi PHOBIA tapi juga pembatasan segala sisi kehidupannya.. Bagaimana orang keturunan TiongHoa juga dimana-mana diberikan surat khusus bahwa dia WNA padahal secara cultural dia sudah membaur…
penulisan yang panjaaang tapi asyik. engga cuma menggugat, tapi juga mencerahkan.
Sipp… semoga bermanfaat ya :)Ada baiknya mbak Indar juga berpartisipasi ikut memeriahkan lombanya mbak Lessy ini.
Ya mungkin saat itu lagi kehabisan stok penerjemah, mengingat wilayah Jogyakarta yg begitu luas, Mas Wik :)Oiya, sampeyan yg senior ditunggu juga lho partisipasinya di lombanya mbak Lessy ini. Bahan renungan hariannya sampeyan mantab – mantab.
Ternyata sampeyan juga se-almamater dg Ifa ya 🙂
Walah… sesama senior, mbak Febby kok pake merendah segala.Ayo, ikutan lombanya juga biar makin seru.mas Edwin sharingnya menarik, sudah submit meski not to compete.mas Luqman perlu dikomporin juga nih 🙂
Semoga jaringan inet-nya lancar ya, mbak Icho.Nyesel lho kalo gak bisa nonton, ide ceritanya kreatif.Oiya, mbak Icho juga ikutan lomba menulis ini dong, membaca jurnal2-nya yg menarik pasti ada banyak hal yg bisa dikemas lagi dari sana.
Terimakasih, sabar membacanya, mbak Tyas, semoga bermanfaat ya :)Ayo ikutan juga lomba menulis ini, pasti ada banyak hal yg bisa di-sharing dari mbak Tyas.
koneksi ndut2an, saya download dulu aja filmnyabiar nontonnya tenang
Exactly.
Oiya… Mas Rahman juga ISI ya, yo wis aku update sik komen-e :)Apri-Joker ki sopo? rung tau krungu.
Mas Ram, saya malah tahunya lebih dulu itu disampaikan oleh sejarawan Taufik Abdullah.Pemahaman saya cenderung membenarkan logika yg disampaikan beliau.Logikanya, apakah masuk akal kalau dikatakan bahwa Belanda langsung berkuasa ketika mereka baru saja datang di Banten?Pada abad ke-17 yg bisa dikatakan sbg zaman ketika berbagai kerajaan di Kepulauan Nusantara diperintah oleh raja-raja besar dan berkuasa. Abad ke-17 adalah masa berjayanya Sultan Iskandar Muda, yg meluaskan kekuasaannya ke tanah Semenanjung dan Pantai Barat Sumatera, demikian juga dengan Sultan Agung yg meluaskan kekuasaannya ke seluruh Jawa, kecuali Banten dan Batavia. Begitu juga dengan Raja Tallo yg sekaligus menjabat Perdana Menteri Kerajaan Gowa dan Sultan Hasanuddin, Raja Gowa. Mereka memerintah di kerajaan masing-masing dan biasa juga terlibat dalam kompetisi dan konflik sesama mereka. Pada masa itu pula mereka menghadapi dengan gagah berani infiltrasi kekuatan asing, seperti Belanda, Spanyol, dan Portugis. Lalu, bagaimana harus dipahami kalau di bawah kolonialisme Belanda memerintah, raja-raja di Nusantara itu memiliki kekuasaan yang cukup besar dan bahkan sibuk memperluas wilayah kekuasaan mereka masing2.Belanda tidak pernah menjajah dan menguasai wilayah Indonesia yg kita kenal sekarang sepenuhnya. Koloni yg disebut Hindia Belanda tidaklah permanen dlm jangka panjang dan penguasaanya tidak sepenuh Republik Indonesia menguasai teritorinya saat ini. Bengkulu dulu dikuasai Inggris, sementara Malaka dikuasai Belanda. Lalu mereka berdua tukar guling. Pernah juga Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis di bawah Gubernur Jenderal Daendels, karena negeri induknya, Belanda, diduduki Perancis. Tak lama sesudahnya, selama kur-leb 5 tahun, Hindia Belanda sempat diambil oper Inggris di bawah Sir Thomas Stamford Raffles.Ucapan Bung Karno “Indonesia dijajah selama 350 tahun” sepertinya hanya dimaksudkan untuk membangkitkan semangat patriotisme di masa perang kemerdekaan. Ada lagi ucapan “Lebih menderita dijajah Jepang selama 3,5 tahun dari pada dijajah Belanda 3,5 abad”, rangkaiannya kata berima 3,5 ini mudah diingat dan kemudian menjadi pembenaran.
Iya … menurut persepsi sang bocah itu 🙂
Semoga koneksi internetnya lancar jaya.Saya ucapin Selamat juga telah berpartisipasi dalam lomba ini. Kolaborasi komik-nya keren, mbak Gita 🙂
Alhamdulillah, mbak Anty sudah pernah menontonnya.Iya, kebanyakan kasusnya memang berasal dari rasa rendah diri dan trauma psikologis. Kalo arogansi lebih cenderung ke chauvinism.Ayo, mbak Anty, ditunggu juga lho partisipasinya ikut lombanya mbak Lessy. *komporin juga
Ditunggu lho partisipasinya mbak Nina ikut juga lomba menulis. Pasti banyak hal yg bisa disharing.
Semoga lancar jaya koneksinya, mbak Tuty :)Nyesel lho kalo gak bisa nonton *kompor
Iya betul, Ummu Yusuf 🙂
Alhamdulillah mbak Larass bisa ngelihat filmnya, keren, khan?! Singkat, padat, namun menyentil :)Betul, dorongan / dukungan lingkungan sekitar memang diperlukan krn hal itu tidak mudah. Apalagi saat ini begitu mudahnya semua orang dijejali informasi-informasi yg negatif yg meracuni pikirannya.
Rupanya ajaran dan modernisasi Jepang yg telah menyatu dan mendarah daging menumbuhkan suatu nasionalisme yg “chauvinisme” dgn kemampuannya menguasai banyak dunia industri saat ini. Apalagi dg latar belakang sebelumnya yg tidak pernah dijajah oleh bangsa Eropa.
Terimakasih, mbak Shanti.Alhamdulillah, yg saya perhatikan dia udah biasa mulai pembicaraan dan mencairkan suasana. Karena lama belajar di medan yg berat (sbg minoritas di lingkungan yg heterogen), dan kenyataannya lingkungan yg berat itu mendukung & menyukainya. Ia berlatih bagaimana berlomba untuk lebih awal memberikan energi yg positif di sekelilingnya. Sesuai prinsip fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan). Ia belajar untuk tidak mengikuti pikirannya yg negatif (was-was). Kalopun toh itu terjadi, sudah preventif duluan dg sikap baik spt apa yg diberikan sbg reaksi. Jadi, bisa tenang dlm segala hal.
Lho, mbak Helene belum nyetor ya.Ayo, mbak, mumpung lagi jalan-jalan pulang kampung di negeri yg penuh kompleksitas ini pasti banyak hal menarik yg bisa di-sharing.Gak usah mikirin menang-kalahnya, diniatin just sharing aja 🙂
Just sharing aja kok, Mas Rifki 🙂
Begitulah, masyarakat kita memang masih terkotak-kotak dan begitu sensitifnya. Sehingga mudah curiga antar sesama, persis dg sikap sang bocah dlm film itu ketika sukarelawan Jepang masuk membantu. Padahal dalam kondisi bencana, yg menjadi prioritas utama adalah urusan logistik, kelayakan sandang, pangan, dan papan.Terkait dg isu adanya upaya penyebaran agama tertentu, kalau dilihat dari sudut pandang warga setempat, isu tsb justru melecehkan mereka. Seolah-olah mereka sedemikian mudahnya dikondisikan seperti itu, dan pastinya mereka warga setempat akan marah (tersinggung) sekali dengan isu seperti ini, karena mereka seakan tidak punya iman saja.
Aku liat film ini udah lama, kok aku gak kepikir buat artikel Xenopobia ya, kelewat deh :)) (berhubung lagi nyari-nyari, bahan apa yg bisa masuk…)
Minta maaf, mbak Lessy, barusan sempat nyetor link. Kemaren habis posting langsung persiapan buka puasa, … setelah tarawih, eh malah tenggelam troubleshooting kompie-nya istri semaleman. Terimakasih telah mengingatkan 🙂
”sesama negara dgn mayoritas penduduk muslim”*maaf…saya koreksi kalimat terakhir pada koment sebelumnya 😀
Bahasannya dalem mas. Padat berisi. Satu kata: keren!Btw, ketakutan pemerintah dalam menerima bantuan dari negara kaya (karna minder) bisa jadi banyak benernya tapi ga bisa digeneralisir juga (maaf). Kan (kalo ga salah) pemerintah jg mengembangkan tangan lebar2 juga menerima bantuan dana dari negara2 Arab yg kaya. Dana2 itu kini ada yg berwujud RS, sekolah, dll. Memang sih bisa jadi karna alasan sesama negara muslim. Tapi kan tetep bukan karna minder 🙂
kok bisa-bisanya menemukan film pendek keren. Pas banget buat lomba xenophobia
bicara tentang konten filmnya,saya ada pertanyaan ni,pak Iwan. soalnya terkait sejarah.ada yang bilang -seingat saya Buya Syafi’i Ma’arif- kalau sejarah yang mengatakan Indonesia itu dijajah Belanda selama 3,5 abad itu adalah kebohongan. apakah bapak tau?*malah bahas sejarah* hehe
Jangankan Jepang, denger kata komunis ajah langsung didemo hingga saat ini, entah sampai kapan…
Oh ya,kalimat ini mengingatkanku saat SD dulu,Dimana setiap caturwulan ada THB (test Hasil Belajar) SELALU ada tulisan “HARAP TENANG ADA THB” dengan huruf besar n kapital dipapan tulis, trus tuh papan tulis ditaruh di pintu gerbang SD. Sama halnya saat EBTANAS. “Harap tenang ada EBTANAS..!*membuka memori lama*
tag dulu ah… bacanya nanti, masih riweh sekarang 🙂
Komentar artikele:Tak jauh beda ketika aku kecil dulu, kalo liat orang dah di cap PKI n punya tanda KTP Organisasi Terlarang itu bikin kesel n nyesek…. Padahal Pakdheku dhewe..Kita dah “di blingerke” oleh sejarah…. (utamane orba)
*barusan nonton filmnya dan selesai baca ulang naskahnya*Ya ampun mas Iwan kok bisa aja dapat film ini? keren..saya sempet terharu, miris tapi juga ketawa. Tragic comedy yg jadi bahan renungan. 🙂 saya pernah seperti anak itu waktu SD, dan karena belum selesai belajar pelajaran sejarah bangsa. Saya ikut bangga dengan rasa percaya diri Nana, tak hanya berprestasi, Nana juga tumbuh jadi gadis cilik yg supel dan open minded. Salut saya kepada kedua orang tuanya. 🙂 Nana siap menjadi bangsa Indonesia, warga Indonesia dan juga warga dunia.Terima kasih banyak atas dukungan dan sumbangannya membagi buah pemikiran dalam kegiatan menulis tentang Xenophobia ini ya mas Iwan. Semoga pelajaran, hikmah dari naskah ini sampai ke banyak orang..Oh ya, agar memudahkan akses teman2 yg lain untuk menuju ke tulisan ini, saya minta tolong mas Iwan memasukan link jurnal ini ke:http://wayanlessy.multiply.com/journal/item/757/Daftar-Peserta-Lomba-Menulis-Tentang-Xenophobia-2012Terima kasih
Apri-Joker ki nek ra kleru angkatane Kang Seblat kuwi taa…?
*titik beratnya di jumlah huruf*
baru nonton sekali ini…gempa jogja thn itu benar2 menginspirasi ya….dger2 crita2 temen2 langsung bs membuat haru …wuaaa kalah sama nana…8thn dah puede euy…
*senyum2 baca keterangan ini, saya memang sempat deg deg an kuatir, dan krn sdg pakai HP jd blm bs menghitung jumlah kata..ah ternyata mas Iwan sdh mawas akan hal ini. Makasi mas!*
kereeen. harus nafas panjang membacanya. panjang pikiran juga buat mencernanya. 🙂
lagian salah jepangnya sendiri, sih … tidak memperkenalkan diri baik2, pake penerjemah kek :))
lupa baca, malah keasikan nonton pilemnya 😛 (pdhl internet lemot)
Ini para senior pada turun gunung ikutan lomba mba lessy.*aku jiper* hahahaha. Dr cak marto, mas iwan, mas seblat.Eh mas edwin dah nulis belom? Om luqman tau ga yah lomba ini?
Blm pernah nonton,ntar nonton di rmh deh. Tulisan yg panjang dan menarik,menang dong ya .:)
berarti indonesia masih dijajah jepang ya mas 🙂
Waaaw, tulisan mas iwan kereeen.Ntar kalo buka lappie, nonton filmnya aaah 🙂
Panjaaaaang -_-Eh iya ud pernah nonton film ini duluHmmm tp imho xenophobia apakah slu brawal dr jiwa rendah diri? Kayaknya macem2 deh mas, bs arogansi, bisa trauma, dll cmiiw
Tulisannya lumayan panjang 😀 sukses untuk lombanya ya, mas.
keren om 🙂
nandain dulu deh, filmnya mesti nonton di lapie 🙂
itu putrinya ya pak
iya film nya keren, ampe belajar di dalam kardus yah trus lihat orang jepang jadi takut….untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial emang semua membutuhkan dorongan dari ortu yah…salut untuk nana
Sebenarnya pemerintah Jepangpun pernah melakukan hal yang sama, mas Iwan, pada saat terjadi bencana Tsunami, hingga terjadinya bencana nuklir di sana. Pada saat itu, pemerintah Perancispun mengirimkan bantuan dengan robot-robotnya, tapi pertolongan itu ditolak. Walaupun alasannya bukan karena xenophobia tapi lebih kearogannya sebagai bangsa yang maju.
komen potonya Nana : cakep …go Nana, makin sering berinteraksi dengan banyak orang, semoga makin tipis lagi xenophobianya, kami-kami harus mencontoh Nana niy 🙂
Seperti biasa tulisan mas Iwan yang penuh dengan informasi dan mencerahkan, jadi keder ikutan lombanya Lessy :))
Monggo, mas Catur, Selamat berbuka puasa ya.Di sini buka puasa bentar lagi, saya juga mau logout dulu, ntar malam baru dilanjut ngeMPi-nya 🙂
wah…. calon pemenang nih 🙂
And the Joker.
Internally, it was formed in many places and all levels. Even in 2010 Merapi crisis I heard reports from various volunteer teams that there were some elements who shouted “Kristenisasi!!” when they learned that non-Muslims were helping Muslims (and vice versa). Why can’t they just see the other people as just people regardless of their different beliefs?
KLIMAXBUKA PUASA DULU BARU BACA hehehehe…met buka semuanya 🙂
^_^CATUR
ketigax
Panjang tulisan = 1602 kata. Sah !
Komentar PERTAMAX untuk keterangan film.Sutradara Ifa Isfansyah adalah alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Fakultas Seni Media Rekam tahun 2007 ini lebih dulu dikenal sebagai sutradara film pendek dan aktif di komunitas film ‘independen’ Indonesia. Bersama beberapa temannya (salah satunya sutradara Eddie Cahyono), Ifa mendirikan Fourcolours Film pada tahun 2001 — kelompok komunitas film di Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi rumah produksi dan telah menghasilkan beberapa film pendek, videoklip, iklan, dan sinetron. Pada tahun 2006, Ifa terpilih dalam Asian Film Academy (Pusan International Film Festival) dan mendapatkan program beasiswa pendidikan di Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts. Film pendeknya “Harap Tenang, Ada Ujian!” (2006) memperoleh penghargaan Film Fiksi Terbaik di Festival Film Pendek KONFIDEN 2006, Film Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2006, dan Film Pendek Terbaik di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2006. Harapan saya (dan tentunya kita semua), dengan berhasilnya film “Harap Tenang, Ada Ujian!”, semoga mampu memacu sineas muda Indonesia untuk terus berkarya dengan membuat film yang berakar pada seni dan budaya Indonesia, dan mampu mengharumkan nama Indonesia di pentas perfilman internasional.Oiya, setelah menyelesaikan pendidikannya, Ifa memulai debutnya sebagai sutradara film cerita panjang lewat Garuda di Dadaku (2009). Kemudian sebagai Penulis Skenario Film “Rindu Purnama” (2010). Namanya terus berkibar, lewat karya film “Sang Penari”, dia dinobatkan sebagai sutradara terbaik FFI 2011. Tahun ini dia menggarap karya film anak-anak “Ambilkan Bulan”.* rupanya Ifa Isfansyah itu satu almamater dengan Bung MartoArt dan Bung Rahman (Seblat) 🙂