Uraian di bawah ini pernah disampaikan penulis (Mas J) pada saat penutupan kelas EU17 Batam (Entrepreneur University angkatan 17) pada 22 Februari 2009 lalu. Ngga nyangka juga kalau pertemuanku dengan keluarga Mas J pada 3 Februari lalu di Waroeng Pincoek Batam Center adalah yang terakhir sebelum pindah ke Bandung mendirikan Young Entrepreneur Academy (di daerah Dago). Thanks for your valuable advice, ya mas. Betul, semuanya butuh proses dan akan menjadi indah bila waktunya tiba.
OBAT KERESAHAN
Pada dasarnya manusia memiliki dua potensi kehidupan. Pertama adalah kebutuhan hidup. Sesuatu yang stimulusnya dari dalam, menuntut untuk dipenuhi, jika tidak dipenuhi, maka akan mati. Contohnya makan, minum, buang air, dll. Kedua adalah naluri. Sesuatu yang stimulusnya dari luar, menuntut untuk dipenuhi, jika tidak dipenuhi tidak menyebabkan kematian, namun menyebabkan ‘keresahan’. Contohnya naluri seksual, naluri eksistensi diri, naluri menuhankan sesuatu. Naluri seksual timbul karena rangsangan dari luar saat kita melihat lawan jenis kita. Jika tidak kita penuhi, tidak akan menyebabkan kematian, tapi diri kita akan resah gelisah, tak nyenyak tidurnya bahkan timbul rasa emosional. Adanya pernikahan adalah solusi dari kebutuhan naluri seksual. Naluri eksistensi diri contohnya jika kita diejek, dihina, diremehkan. Sebenarnya saat kita tidak membalas atau bereaksipun tidak mengakibatkan kematian, hanya saja kita akan resah, jengkel, dongkol bahkan sampai dendam, hal itu diakibatkan dari naluri eksistensi diri kita.
Kebutuhan akan Tuhan
Naluri yang ketiga timbul seringkali karena semua logika kita tidak dapat mencerna apa yang kita lihat, alami dan rasakan. Contohnya pada saat kita mendapatkan musibah, kematian orang dekat kita, yang kita tidak pernah sangka waktunya. Nah, saat itu kita akan berkata pada diri sendiri, ”Ada sesuatu yang menguasaiku”. Sama halnya pada saat panen gagal, para petani akan bertanya, ”Siapa sih yang membuat dan mengatur hujan”. Bisa juga saat kita memandang pegunungan atau lautan, “Siapa sih yang menciptakannya?”. Meskipun hasil dari pencarian naluri menuhankan berbeda-beda, intinya mereka mengakui bahwa ada suatu kekuatan yang ‘menguasai’ dirinya. Ada yang menyebutnya dewa, dewi sri, pohon besar, ataupun Allah. Bukan membandingkan, tapi itu hak masing-masing untuk meyakini. Ada juga yang pergi ke dukun atau ‘orang pinter’, karena sudah ‘putus asa’ dengan logikanya.
Lepas dari siapa yang akan kita Tuhankan, logika kita memiliki keterbatasan. Ada ‘faktor x’ yang akan membuat kita resah dan gelisah jika kita terlalu mengagungkan akal kita. Obat dari keresahan itu adalah Tuhan. Dengan memasrahkan diri sepenuhnya pada kekuatan yang Maha Kuasa, hati kita akan terasa tenang dan bisa jadi dari situlah kemudahan datang. Manusia memiliki keterbatasan untuk menilai mana yang benar, mana yang salah. Mana yang seharusnya, mana yang tidak seharusnya. Stress timbul karena manusia tidak memasrahkan kepada yang Maha Mengatur. Stress timbul karena manusia mengagungkan logika dan norma. Bukan masalah yang menjadi masalah, tapi respon kita dalam menghadapi masalah, seringkali menimbulkan masalah yang baru. Tidak ada yang sia-sia terjadi di dunia ini. Jika kita meyakini bahwa Ia Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka semuanya untuk kebaikan kita. Hanya saja, seringkali manusia tidak sabar akan prosesnya.
Kuminta kupu-kupu yang cantik, Engkau berikan ulat berbulu.
Kuminta kekayaan, Engkau berikan kebangkrutan
Kuminta kekuatan, Engkau berikan banyak ujian
Kuminta keimanan, Engkau berikan kebingungan.
FIGHT!
Jaya Setiabudi
Direktur Young Entrepreneur Academy
(Penulis buku “The Power of Kepepet”)
Sabar dalam beramal ada 3:
1. Sebelum beramal, berilmu dulu
2. Saat beramal, kontinyu
3. Setelah beramal, tdk sum’ah
Pelajaran penting. Menarik untuk direnungkan
“Ingkar” oleh ust Akmal Sjafril
https://www.facebook.com/notes/akmal-sjafril/ingkar/598412226935205